November 25, 2017

Puzzle Kepergian Nadia


Na na na na .. aku melihatnya .. dia tersenyum melihatku .. nanana .. Pak Achmad mendendangkan lagu dengan nada tak beraturan, liriknya diganti-ganti sesuka hatinya.

Setiap pagi, ketika masih segelintir siswa siswi di SMA Negeri 20 Semarang datang ke sekolah, Pak Achmad sudah berhasil membereskan semua pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di sekolah.

Dia tinggal di ruangan kecil di bawah tangga sekolah. Entah kenapa setiap kali diminta untuk pindah, Pak Achmad tak pernah mau, padahal pihak sekolah sudah membuatkan rumah untuknya di belakang kantin. Setiap pagi dia selalu membersihkan tiap sudut-sudut sekolah, dari ujung ke ujung hingga bersih.

Sikapnya yang ramah dan tak banyak bicara membuat para warga di sekolah menghormatinya. Tapi, beberapa hari ini memang Pak Achmad tampak berbeda. Dia seperti orang linglung. Suka bernyanyi-nyanyi sendiri bahkan terkadang suka berbicara sendiri.

“Pagi, Pak,” sapaku ketika bertemu dengannya di tempat pembuangan sampah sekolah ketika aku mendapat jatah piket kelas.

Pak Achmad tak menghiraukan sapaanku, beliau langsung meninggalkanku dengan langkah terbirit. Aku sanksi melihat tingkah Pak Achmad yang ketakutan melihatku. Padahal, selama ini beliau sangat akrab denganku.
***
Jam tanganku menunjukkan pukul 7 pagi. Matahari tak juga menyemangatiku di jam pertama pelajaran. Membuatku malas untuk mengikuti pelajaran Matematika di awal masuk sekolah setelah beberapa minggu liburan kenaikan kelas. Apalagi, aku duduk sendiri di depan meja guru. Nadia, teman yang menjadi teman sebangkuku tak juga hadir ketika Bu Tika, guru mata pelajaran Matematika sudah memulai pelajarannya.
***
Aku melihat Pak Achmad menyapu koridor di depan kelasku. Entah apa yang di sapunya, aku rasa lantainya telah bersih sejak pagi tadi. Dia menatap bangku kosong di sebelahku, tatapannya sangat sinis. Bu Tika menutup pintu kelas, mungkin merasa terganggu dengan mematungnya Pak Achmad di depan kelas. Sebelum pintu benar-benar tertutup, aku melihat Pak Achmad melirik tajam ke arah Bu Tika. Kemudian beliau berlalu dengan mendendangkan lirik yang hampir sama dengan nada yang masih tak beraturan seperti sebelum-sebelumnya.

Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lirik yang dilagukan Pak Achmad. Merasa ada pesan dari tatapan sinis Pak Achmad, lirikan tajamnya yang tertuju kepada Bu Tika. Tapi entahlah.
***
“Nadia!” suara Ulfa membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Tatapan Ulfa masih saja mengarah di bangku kosong sebelahku.

“Mana Nadia?” Nufus yang duduk sebangku dengan Ulfa di deretan pojok menanyakan keberadaan Nadia yang satu bulan dari hari pertama masuk sekolah tak juga hadir.

Ulfa mengerjap-ngerjapkan matanya, sedangkan aku menoleh ke arah bangku di sebelahku. Kosong. “Aku tadi lihat Nadia duduk di sebelah kamu, Nin. Dia senyum ke arahku,” aku Ulfa kepada seisi kelas.

“Nadia sudah pindah, Ulfa. Jangan ngaco kamu!” Bu Tika memperingatkan Ulfa yang berkali-kali ngotot kalau dia baru saja melihat Nadia melempar senyum padanya.

Seisi kelas bengong, mereka baru saja mendengar kabar bahwa Nadia telah pindah sekolah. Aku kecewa dengan kabar itu, karena pasalnya, Nadia tak memberikan kabar apa pun padaku.

“Nadia pindah? Pindah kemana, Bu?” Nufus memberi pertanyaan ke Bu Tika.
“Mana ibu tau. Sudah, kita lanjutkan koreksi PR kalian.”
                
Aku ragu kalau Bu Tika benar-benar tak tau kepindahan Nadia. Ada gugup yang terselip dari sorot matanya. Seketika itu kipas angin di kelas perlahan berhenti berputar, mengeluarkan denyit suara yang menyeramkan, kemudian mati.
                
Bu Tika melihat ke kelas sebelah, memastikan bahwa listrik sekolah memang sedang padam, tapi ternyata hanya di kelas ku saja yang mengalami kipas angin mati.
                
Bu Tika kembali ke kelas, duduk di tempatnya yang berada tepat di depan bangkuku. Aku meliriknya, matanya melotot tajam pada bangku kosong di sebelahku. Bibirnya begetar, sepertinya beliau merapal nama Nadia. Terang saja aku menengok ke arah bangku kosong di sebelahku. Tiba-tiba aku merasakan buluku berkidik.
                
“Nina! Apa yang kamu lihat?!” suara Bu Tika lantang kudengar. Aku kaget setengah mati, membuat napasku setengah tersendat.
“Emm, ti .. ti .. tidak ada, Bu,” jawabku terbata.
               
Bu Tika menatapku tajam, aku menundukkan kepala. Suasana di dalam kelas seketika hening. Dan tiba-tiba sepoi angin berhasil membuat pintu kelas menutup dengan sangat keras. Brak!!! Jantungku benar-benar hampir lepas dibuatnya.
***
Pak Achmad menikmati kopi hitam di kebun yang berada tepat di belakang ruang OSIS. Beliau baru saja selesai memungut daun-daun kering di sekitar kebun. Aku memerhatikannya sedang memandangi kebun itu dengan seksama. Sesekali dia tertawa, sesekali dia terlihat marah.
                
Pemandangan seperti ini tak biasa kulihat. Aku mendekatinya seperti biasa ketika aku masih bersama Nadia. Aku ingin menyeritakan tentang kepindahan Nadia, karena memang selama ini aku dan Nadia terbiasa nongkrong di kebun ini ketika jam istirahat, itulah yang menyebabkan aku dan Nadia menjadi akrab dengan Pak Achmad.
                
“Permisi, Pak,” pelan kusapa Pak Achmad.
                
Pak Achmad membiarkanku duduk di sampingnya. “Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Pak Achmad dengan nada sinis.
                
Pertanyaan beliau tak membuatku lantas menjawab.  Untuk apa? Bukankah tak ada apa-apa pun aku akan tetap mengunjungi kebun ini seperti biasanya? Pertanyaan itu hanya mampu kulontarkan dalam hati, selanjutnya aku hanya bercerita tentang kepindahan Nadia.

“Pak Achmad tau kalau Nadia pindah sekolah? Kira-kira kenapa ya, Pak? Masalahnya Nadia nggak ngasih kabar apa pun ke aku.”

Pak Achmad tak bersuara, aku menoleh ke arah beliau. Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, aku melihat sosok Nadia ada di diri Pak Achmad. Dia tersenyum sangat cantik. Aku sangat ketakutan, aku mencoba berlari sekencang-kencangnya. Bruk!!! Tubuhku terjatuh menabrak Bu Tika ketika aku berbelok dari arah kebun menuju kelasku yang berada di lantai dua. Raut wajah Bu Tika terlihat gugup, seperti seseorang yang tengah tertangkap basah ketika sedang menguntit. Aku tak menghiraukan, meski setelah kejadian itu, semua terekam di otakku dan membuatku penasaran.
***
Pagi beraromakan tanah basah. Gerimis masih dengan manis menghiasi halaman sekolahku. Aku baru saja menginjakkan kakiku di koridor sekolah. Aku melihat ke dalam kelas yang sudah hampir penuh dengan teman-temanku. Tapi tunggu! Ada yang menduduki bangkuku. Iya, aku tau siapa dia. Itu Nadia!
                
Aku berlarian kecil menuju ke dalam kelas. Dengan semangatnya kusapa Nadia dengan nada yang keras.
                
“Nadiaaaaa, aku kangen,” teriakku di pintu kelas. Seketika aku terbengong bersamaan dengan teman-temanku yang menatap heran ke arahku.       
“Kangen ya kangen, tapi nggak teriak-teriak gitu juga kale..., emang Nadia bakal denger,” ucap Nufus.
“Lah, Nadia kemana?” tanyaku bingung ketika mendapati bangkuku sudah kosong.
“Heloh, Nadia udah pindah keles. Kamu amnesia?” terang Nufus.
“Serius, aku lihat Nadia duduk di bangkuku,” aku ngotot. Jelas-jelas Nadia duduk di bangkuku, entah apa yang dilakukannya di situ.
“Itu sih karena kamu lagi kangen aja, Nin.” Nufus mencoba menenangkanku.
                
Lagi-lagi aku mendengar Pak Achmad berdendang. Nadanya masih tak beraturan. Dia datang kembali.. merindukanmu.. ingin mengajakmu pergi.. Na na naa, dia ingin kamu tau.. Jelas itu membuatku semakin yakin bahwa Pak Achmad mengirim pesan tersirat dari lagu yang didendangkannya.
***
Suara adzan Dhuhur terdengar samar-samar karena nada hujan berhasil menguasai lingkungan sekolah.
                
Aku memasuki ruang guru untuk mengumpulkan buku tugas Matematika di meja Bu Tika. Aku melihat Pak Achmad sedang mengantar teh hangat untuk setiap meja di ruang guru itu.
                
Tepat ketika Pak Achmad memberikan teh hangat di meja Bu Tika, aku melirik Pak Achmad menatap Bu Tika dengan tatapan penuh amarah, sedangkan Bu Tika mengalihkan pandangannya ke buku absensi.
                
“Pak Achmad itu bagaimana! Kalau lagi kerja, fokus dong!” suara Bu Tika sempat menghentikan langkahku ketika aku akan beranjak dari ruang guru. Aku menoleh. Pak Achmad terlihat mengelap meja Bu Tika yang basah karena teh hangat untuknya tumpah, atau memang sengaja ditumpahkan oleh Pak Achmad?
***
“Nad?” aku melihat sosoknya di pojok pintu toilet ketika aku keluar dari salah satu bilik toilet itu. Meski ragu, aku mencoba meraihnya. Hilang! Sosok Nadia hilang bersamaan dengan suara petir di luar sana. Secepat mungkin kutinggalkan toilet dan keluar dari sana. Lagi-lagi aku terkejut karena ketika membuka pintu, aku hampir saja menabrak Pak Achmad yang kebetulan masuk untuk membersihkan toilet.
               
“Pak Achmad!” teriakku karena gugup.
“Kenapa kamu terlihat ketakutan?”
“Aku melihat Nadia, Pak. Tapi, ketika aku akan meraihnya, dia menghilang.”
“Ah, itu hanya halusinasimu saja,” Pak Achmad menyakinkanku, lantas pergi begitu saja. Meninggalkan alat-alat kebersihannya di depan toilet.
***
Ada satu hal yang membuatku yakin, dari semua rentetan kejadian yang aku jumpai, semuanya pasti sedang tidak baik-baik saja. Keyakinanku semakin kuat ketika berkali-kali kutemui Nadia dalam bentuk bayangan.

Sore ini aku mengikuti ekstra kurikuler cheerleader, aku memang terbiasa pulang senja di hari Kamis. Menjadi penghuni paling akhir karena pintu basecamp cheer aku yang mengunci.
                
Nad, aku kangen kita main cheer bareng. Lirihku. Aku benar-benar merindukan sahabatku itu. Ketika aku berjalan di koridor antara basecamp dengan lapangan, aku melihat Nadia di sana, mengenakan kostum cheer, tapi tak kuhiraukan, karena kupastikan aku hanya sedang berhalusinasi.
                
Tapi tidak, itu benar Nadia. Aku melihatnya menatapku, memintaku untuk mengikutinya pergi. Antara percaya dan tidak, aku terus saja mengikuti arahnya. Sampai pada akhirnya, dia berhenti di kebun.
                
Terdengar suara gaduh di kebun. Aku melangkahkan kaki dengan pelan, mengintip apa yang tengah terjadi di sana.
                
Nadia, Pak Achmad, dan Bu Tika? Apa yang mereka lakukan di sana? Aku bertanya-tanya dalam hati. Mencoba mengerti apa yang sedang Nadia tunjukkan kepadaku.
***
Dari tempatku mengintip, aku melihat punggung Pak Achmad mengamati Bu Tika yang sedang menggali tanah di kebun belakang. Di sampingnya terlihat Nadia yang tergeletak di sana.
                
“Pak Achmad tidak berhak ikut campur urusan saya!” kalimat itu yang keluar dari mulut Bu Tika ketika beliau memergoki Pak Achmad.

Bu Tika mencoba membunuh Pak Achmad. Tangannya terlihat berlumuran darah dari tubuh Nadia. Tubuh Nadia berada dalam liang yang tadi digali oleh Bu Tika. Nadia mati dengan seragam putih abu-abunya.
                
Lambat laun semua yang terlihat jelas nampak perlahan kabur. Kemudian kosong. Di sana tak ada siapa-siapa. Aku seperti disajikan sebuah kejadian yang menuntunku untuk mengetahui apa yang terjadi.
***
Aku menikmati semilir angin yang menerpaku di jendela yang menghadap ke kebun. Pikiranku melayang, kembali tersuguh kejadian janggal ketika kulihat kebun itu.
                
Hari ini di sekolah telah rame. Sesosok mayat yang tertutup lembaran koran menjadi trending topic pagi ini. Nadia ditemukan meninggal.
                
Kabar kepindahan Nadia yang disampaikan oleh Bu Tika ternyata hanya cerita fiktif yang dikarang oleh Bu Tika sendiri sebagai pelaku pembunuhan Nadia.
***
Bu Tika membunuh Nadia karena ternyata Nadia adalah anak dari seorang ibu yang dinikahi oleh mantan suami Bu Tika, Pak Dewo. Mereka berpisah lantaran Pak Dewo terbukti selingkuh dengan ibu Nadia. Ada dendam yang diam-diam mengepung hati Bu Tika.

Bu Tika meluapkan kekesalannya dengan membunuh Nadia. Kejadian itu telah diketahui oleh Pak Achmad. Karena Bu Tika takut rencananya disebarkan oleh Pak Achmad, dia mengancam Pak Achmad untuk tutup mulut, karena kalau tidak, Pak Achmad akan meninggal ditangannya seperti Nadia.


                
Kini kepergian Nadia telah jelas, tak ada lagi teka-teki yang memaksaku untuk dipecahkan. Potongan-potongan kejadian yang seperti puzzle itu telah runtut dan utuh. Nadia telah berpindah dunia.


HOROR & FABEL
Penerbit   : 2A Dream Publishing
Cetakan I : Cilacap, Desember 2014
ISBN   : 978-602-1649-34-3

Tidak ada komentar: