Na na na na .. aku melihatnya .. dia tersenyum melihatku ..
nanana
.. Pak Achmad mendendangkan lagu dengan nada tak beraturan, liriknya
diganti-ganti sesuka hatinya.
Setiap pagi, ketika masih
segelintir siswa siswi di SMA Negeri 20 Semarang datang ke sekolah, Pak Achmad
sudah berhasil membereskan semua pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di
sekolah.
Dia
tinggal di ruangan kecil di bawah tangga sekolah. Entah kenapa setiap kali
diminta untuk pindah, Pak Achmad tak pernah mau, padahal pihak sekolah sudah
membuatkan rumah untuknya di belakang kantin. Setiap pagi dia selalu
membersihkan tiap sudut-sudut sekolah, dari ujung ke ujung hingga bersih.
Sikapnya
yang ramah dan tak banyak bicara membuat para warga di sekolah menghormatinya. Tapi,
beberapa hari ini memang Pak Achmad tampak berbeda. Dia seperti orang linglung.
Suka bernyanyi-nyanyi sendiri bahkan terkadang suka berbicara sendiri.
“Pagi,
Pak,” sapaku ketika bertemu dengannya di tempat pembuangan sampah sekolah ketika
aku mendapat jatah piket kelas.
Pak
Achmad tak menghiraukan sapaanku, beliau langsung meninggalkanku dengan langkah
terbirit. Aku sanksi melihat tingkah Pak Achmad yang ketakutan melihatku.
Padahal, selama ini beliau sangat akrab denganku.
***
Jam
tanganku menunjukkan pukul 7 pagi. Matahari tak juga menyemangatiku di jam
pertama pelajaran. Membuatku malas untuk mengikuti pelajaran Matematika di awal
masuk sekolah setelah beberapa minggu liburan kenaikan kelas. Apalagi, aku
duduk sendiri di depan meja guru. Nadia, teman yang menjadi teman sebangkuku
tak juga hadir ketika Bu Tika, guru mata pelajaran Matematika sudah memulai
pelajarannya.
***
Aku
melihat Pak Achmad menyapu koridor di depan kelasku. Entah apa yang di sapunya,
aku rasa lantainya telah bersih sejak pagi tadi. Dia menatap bangku kosong di
sebelahku, tatapannya sangat sinis. Bu Tika menutup pintu kelas, mungkin merasa
terganggu dengan mematungnya Pak Achmad di depan kelas. Sebelum pintu benar-benar
tertutup, aku melihat Pak Achmad melirik tajam ke arah Bu Tika. Kemudian beliau
berlalu dengan mendendangkan lirik yang hampir sama dengan nada yang masih tak
beraturan seperti sebelum-sebelumnya.
Entah
kenapa aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lirik yang dilagukan Pak
Achmad. Merasa ada pesan dari tatapan sinis Pak Achmad, lirikan tajamnya yang
tertuju kepada Bu Tika. Tapi entahlah.
***
“Nadia!”
suara Ulfa membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Tatapan Ulfa masih saja
mengarah di bangku kosong sebelahku.
“Mana
Nadia?” Nufus yang duduk sebangku dengan Ulfa di deretan pojok menanyakan
keberadaan Nadia yang satu bulan dari hari pertama masuk sekolah tak juga hadir.
Ulfa
mengerjap-ngerjapkan matanya, sedangkan aku menoleh ke arah bangku di
sebelahku. Kosong. “Aku tadi lihat
Nadia duduk di sebelah kamu, Nin. Dia senyum ke arahku,” aku Ulfa kepada seisi
kelas.
“Nadia
sudah pindah, Ulfa. Jangan ngaco kamu!” Bu Tika memperingatkan Ulfa yang
berkali-kali ngotot kalau dia baru saja melihat Nadia melempar senyum padanya.
Seisi kelas bengong, mereka baru
saja mendengar kabar bahwa Nadia telah pindah sekolah. Aku kecewa dengan kabar
itu, karena pasalnya, Nadia tak memberikan kabar apa pun padaku.
“Nadia pindah? Pindah kemana,
Bu?” Nufus memberi pertanyaan ke Bu Tika.
“Mana ibu tau. Sudah, kita
lanjutkan koreksi PR kalian.”
Aku ragu kalau Bu Tika
benar-benar tak tau kepindahan Nadia. Ada gugup yang terselip dari sorot
matanya. Seketika itu kipas angin di kelas perlahan berhenti berputar, mengeluarkan
denyit suara yang menyeramkan, kemudian mati.
Bu Tika melihat ke kelas
sebelah, memastikan bahwa listrik sekolah memang sedang padam, tapi ternyata
hanya di kelas ku saja yang mengalami kipas angin mati.
Bu Tika kembali ke kelas, duduk
di tempatnya yang berada tepat di depan bangkuku. Aku meliriknya, matanya
melotot tajam pada bangku kosong di sebelahku. Bibirnya begetar, sepertinya
beliau merapal nama Nadia. Terang saja aku menengok ke arah bangku kosong di
sebelahku. Tiba-tiba aku merasakan buluku berkidik.
“Nina! Apa yang kamu lihat?!”
suara Bu Tika lantang kudengar. Aku kaget setengah mati, membuat napasku setengah
tersendat.
“Emm, ti .. ti .. tidak ada,
Bu,” jawabku terbata.
Bu Tika menatapku tajam, aku
menundukkan kepala. Suasana di dalam kelas seketika hening. Dan tiba-tiba sepoi
angin berhasil membuat pintu kelas menutup dengan sangat keras. Brak!!! Jantungku benar-benar hampir
lepas dibuatnya.
***
Pak Achmad menikmati kopi hitam
di kebun yang berada tepat di belakang ruang OSIS. Beliau baru saja selesai
memungut daun-daun kering di sekitar kebun. Aku memerhatikannya sedang
memandangi kebun itu dengan seksama. Sesekali dia tertawa, sesekali dia terlihat
marah.
Pemandangan seperti ini tak
biasa kulihat. Aku mendekatinya seperti biasa ketika aku masih bersama Nadia.
Aku ingin menyeritakan tentang kepindahan Nadia, karena memang selama ini aku
dan Nadia terbiasa nongkrong di kebun ini ketika jam istirahat, itulah yang
menyebabkan aku dan Nadia menjadi akrab dengan Pak Achmad.
“Permisi, Pak,” pelan kusapa Pak
Achmad.
Pak Achmad membiarkanku duduk di
sampingnya. “Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Pak Achmad dengan nada sinis.
Pertanyaan beliau tak membuatku
lantas menjawab. Untuk apa? Bukankah tak ada apa-apa pun aku akan tetap mengunjungi
kebun ini seperti biasanya? Pertanyaan itu hanya mampu kulontarkan dalam
hati, selanjutnya aku hanya bercerita tentang kepindahan Nadia.
“Pak
Achmad tau kalau Nadia pindah sekolah? Kira-kira kenapa ya, Pak? Masalahnya
Nadia nggak ngasih kabar apa pun ke aku.”
Pak Achmad tak bersuara, aku
menoleh ke arah beliau. Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, aku melihat sosok
Nadia ada di diri Pak Achmad. Dia tersenyum sangat cantik. Aku sangat ketakutan,
aku mencoba berlari sekencang-kencangnya. Bruk!!!
Tubuhku terjatuh menabrak Bu Tika ketika aku berbelok dari arah kebun
menuju kelasku yang berada di lantai dua. Raut wajah Bu Tika terlihat gugup,
seperti seseorang yang tengah tertangkap basah ketika sedang menguntit. Aku tak
menghiraukan, meski setelah kejadian itu, semua terekam di otakku dan membuatku
penasaran.
***
Pagi beraromakan tanah basah.
Gerimis masih dengan manis menghiasi halaman sekolahku. Aku baru saja
menginjakkan kakiku di koridor sekolah. Aku melihat ke dalam kelas yang sudah
hampir penuh dengan teman-temanku. Tapi tunggu! Ada yang menduduki bangkuku.
Iya, aku tau siapa dia. Itu Nadia!
Aku berlarian kecil menuju ke
dalam kelas. Dengan semangatnya kusapa Nadia dengan nada yang keras.
“Nadiaaaaa, aku kangen,”
teriakku di pintu kelas. Seketika aku terbengong bersamaan dengan teman-temanku
yang menatap heran ke arahku.
“Kangen ya kangen, tapi nggak
teriak-teriak gitu juga kale..., emang Nadia bakal denger,” ucap Nufus.
“Lah, Nadia kemana?” tanyaku
bingung ketika mendapati bangkuku sudah kosong.
“Heloh, Nadia udah pindah keles. Kamu amnesia?” terang Nufus.
“Serius, aku lihat Nadia duduk
di bangkuku,” aku ngotot. Jelas-jelas Nadia duduk di bangkuku, entah apa yang
dilakukannya di situ.
“Itu sih karena kamu lagi kangen
aja, Nin.” Nufus mencoba menenangkanku.
Lagi-lagi aku mendengar Pak
Achmad berdendang. Nadanya masih tak beraturan. Dia datang kembali.. merindukanmu.. ingin mengajakmu pergi.. Na na naa,
dia ingin kamu tau.. Jelas itu membuatku semakin yakin bahwa Pak Achmad
mengirim pesan tersirat dari lagu yang didendangkannya.
***
Suara adzan Dhuhur terdengar
samar-samar karena nada hujan berhasil menguasai lingkungan sekolah.
Aku memasuki ruang guru untuk
mengumpulkan buku tugas Matematika di meja Bu Tika. Aku melihat Pak Achmad
sedang mengantar teh hangat untuk setiap meja di ruang guru itu.
Tepat ketika Pak Achmad
memberikan teh hangat di meja Bu Tika, aku melirik Pak Achmad menatap Bu Tika
dengan tatapan penuh amarah, sedangkan Bu Tika mengalihkan pandangannya ke buku
absensi.
“Pak Achmad itu bagaimana! Kalau
lagi kerja, fokus dong!” suara Bu Tika sempat menghentikan langkahku ketika aku
akan beranjak dari ruang guru. Aku menoleh. Pak Achmad terlihat mengelap meja Bu
Tika yang basah karena teh hangat untuknya tumpah, atau memang sengaja
ditumpahkan oleh Pak Achmad?
***
“Nad?” aku melihat sosoknya di
pojok pintu toilet ketika aku keluar dari salah satu bilik toilet itu. Meski
ragu, aku mencoba meraihnya. Hilang! Sosok
Nadia hilang bersamaan dengan suara petir di luar sana. Secepat mungkin
kutinggalkan toilet dan keluar dari sana. Lagi-lagi aku terkejut karena ketika membuka
pintu, aku hampir saja menabrak Pak Achmad yang kebetulan masuk untuk
membersihkan toilet.
“Pak Achmad!” teriakku karena gugup.
“Kenapa kamu terlihat
ketakutan?”
“Aku melihat Nadia, Pak. Tapi,
ketika aku akan meraihnya, dia menghilang.”
“Ah, itu hanya halusinasimu
saja,” Pak Achmad menyakinkanku, lantas pergi begitu saja. Meninggalkan alat-alat
kebersihannya di depan toilet.
***
Ada satu hal yang membuatku
yakin, dari semua rentetan kejadian yang aku jumpai, semuanya pasti sedang
tidak baik-baik saja. Keyakinanku semakin kuat ketika berkali-kali kutemui
Nadia dalam bentuk bayangan.
Sore ini aku mengikuti ekstra
kurikuler cheerleader, aku memang
terbiasa pulang senja di hari Kamis. Menjadi penghuni paling akhir karena pintu
basecamp cheer aku yang mengunci.
Nad, aku kangen kita main cheer bareng. Lirihku. Aku benar-benar
merindukan sahabatku itu. Ketika aku berjalan di koridor antara basecamp dengan lapangan, aku melihat
Nadia di sana, mengenakan kostum cheer,
tapi tak kuhiraukan, karena kupastikan aku hanya sedang berhalusinasi.
Tapi tidak, itu benar Nadia. Aku
melihatnya menatapku, memintaku untuk mengikutinya pergi. Antara percaya dan
tidak, aku terus saja mengikuti arahnya. Sampai pada akhirnya, dia berhenti di
kebun.
Terdengar suara gaduh di kebun.
Aku melangkahkan kaki dengan pelan, mengintip apa yang tengah terjadi di sana.
Nadia, Pak Achmad, dan Bu Tika? Apa yang mereka lakukan di sana?
Aku bertanya-tanya dalam hati. Mencoba mengerti apa yang sedang Nadia tunjukkan
kepadaku.
***
Dari tempatku mengintip, aku
melihat punggung Pak Achmad mengamati Bu Tika yang sedang menggali tanah di
kebun belakang. Di sampingnya terlihat Nadia yang tergeletak di sana.
“Pak Achmad tidak berhak ikut
campur urusan saya!” kalimat itu yang keluar dari mulut Bu Tika ketika beliau
memergoki Pak Achmad.
Bu Tika mencoba membunuh Pak Achmad. Tangannya
terlihat berlumuran darah dari tubuh Nadia. Tubuh Nadia berada dalam liang yang
tadi digali oleh Bu Tika. Nadia mati dengan seragam putih abu-abunya.
Lambat laun semua yang terlihat
jelas nampak perlahan kabur. Kemudian kosong. Di sana tak ada siapa-siapa. Aku
seperti disajikan sebuah kejadian yang menuntunku untuk mengetahui apa yang
terjadi.
***
Aku menikmati semilir angin yang
menerpaku di jendela yang menghadap ke kebun. Pikiranku melayang, kembali
tersuguh kejadian janggal ketika kulihat kebun itu.
Hari ini di sekolah telah rame.
Sesosok mayat yang tertutup lembaran koran menjadi trending topic pagi ini. Nadia ditemukan meninggal.
Kabar kepindahan Nadia yang
disampaikan oleh Bu Tika ternyata hanya cerita fiktif yang dikarang oleh Bu
Tika sendiri sebagai pelaku pembunuhan Nadia.
***
Bu
Tika membunuh Nadia karena ternyata Nadia adalah anak dari seorang ibu yang dinikahi
oleh mantan suami Bu Tika, Pak Dewo. Mereka berpisah lantaran Pak Dewo terbukti
selingkuh dengan ibu Nadia. Ada dendam yang diam-diam mengepung hati Bu Tika.
Bu
Tika meluapkan kekesalannya dengan membunuh Nadia. Kejadian itu telah diketahui
oleh Pak Achmad. Karena Bu Tika takut rencananya disebarkan oleh Pak Achmad,
dia mengancam Pak Achmad untuk tutup mulut, karena kalau tidak, Pak Achmad akan
meninggal ditangannya seperti Nadia.
Kini kepergian Nadia telah
jelas, tak ada lagi teka-teki yang memaksaku untuk dipecahkan.
Potongan-potongan kejadian yang seperti puzzle itu telah runtut dan utuh. Nadia
telah berpindah dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar