Sinar, Bulan, dan Bintang
Layaknya surga
Layaknya surga
Tempat pengharapan setiap insan
Tentang keindahan alam yang tak tertandingi
Tentang semua keajaiban di dalamnya
Aku rindu tanah surga, Tuhan ...
Bukan!
Bukan, aku!
Tapi...,
bumiku.
Aku
mendengarnya membacakan puisi di depan para pengungsi yang lain. Suaranya lantang, padahal usianya baru
beranjak delapan tahun.
Satu minggu ini
aku dan kelompok relawan dari gabungan beberapa universitas di Indonesia berada
dalam pengungsian korban meletusnya Gunung Merapi, tempatnya beberapa kilometer
dari desa Kinahrejo, Jogja. Menjadi relawan itu menyenangkan. Membuat mata dan
hatiku sedikit terbuka, karena ketika aku berhadapan dengan mereka yang
beraneka ragam, aku mengerti bahwa bisa jadi hidup dan matinya Bumi ini ada di
genggaman mereka para makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Hari ini,
tanggal 22 April, kami selaku kelompok relawan memperingati Hari Bumi di posko
pengungsian. Tujuan kami sederhana, kami hanya ingin menciptakan kebahagiaan
untuk mereka yang tengah menghadapi musibah. Kami membuat acara dengan agenda
pembacaan puisi yang ditulis oleh anak-anak pengungsian itu sendiri,
mendongeng, bernyanyi, dan berdoa bersama di akhir acara.
Bagiku satu
minggu menjadi pengungsi itu sangat membosankan. Bayangkan, mereka hanya
menanti bantuan yang terkadang datang terlambat. Kehabisan air bersih, tidak
ada pakaian ganti, dan lain-lain. Tidak ada yang dikerjakan selain duduk-duduk
di posko pengungsian.
Tapi, tunggu!
Lihatlah anak pembaca puisi itu. Dia terlihat menonjol sendiri dibandingkan
dengan anak-anak lainnya. Dia berani, tak mau berdiam diri di pangkuan ibunya.
Ada saja tingkahnya yang membuatku kagum.
***
“Hei,” sapaku
kepada anak pembaca puisi yang entah sedang menggambar apa di kertas lusuhnya.
Dia menoleh ke
arahku, tersenyum. Senyum yang seakan-akan mengajakku untuk berteman.
“Hei juga,
Kak,” balasnya. Kini dia berdiri tepat di hadapanku.
“Siapa namamu?”
tanyaku padanya.
“Namaku Bulan. Nama Kakak, siapa?”
“Nama kakak,
Bintang,” jawabku ramah.
Dia tertawa
mendengar namaku. “Nama Kakak, Bintang, dan namaku Bulan. Kita sama, Kak.”
Entah itu
kebetulan atau bagaimana, yang jelas nama kami sama-sama seperti benda langit
yang tampak terang di langit malam.
“Kak, mau jadi
temanku?” tawarnya seketika. Aku bahkan tak mengira kalau dia akan melempar
tawaran seperti itu padaku.
“Tentu saja
mau.”
Dia
mengacungkan jari kelingkingnya, menunggu jari kelingkingku. Kemudian aku
mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Sejak hari itu aku
menemukan sorang teman kecil bernama Bulan, anak pembaca puisi.
“Hei, apa yang
kamu gambar?” aku melirik kertas lusuh di tangan kirinya. Dia
memperlihatkan gambarnya. Sebuah gambar yang menceritakan tentang Bumi di masa
depan. Mengenai hamparan hijau yang membentang luas dialiri air jernih di bawah
pegunungan yang biru. Langit-langit yang cerah dengan sepasang gambar petani
yang tengah tersenyum.
“Bagus sekali
gambarmu,” tentu saja aku memuji hasil gambarnya.
“Terima kasih,
Kak,” katanya tersenyum sambil memandangi gambarnya sendiri. “Ini adalah dua
orang petani yang sedang berbahagia karena sawahnya tumbuh subur, warnanya
terlihat hijau, itu berarti mereka akan menghasilkan panen yang baik, Kak.
Lihat gunung sama langitnya, Kak. Cantik, kan? Aku mau, setelah musibah Gunung
Merapi ini berakhir, keadaan desaku semakin baik, Kak, seperti di gambar ini.
Jadi, nanti Bumi kita tidak lagi terasa panas.” Lanjutnya menjelaskan isi dari
gambar yang tercipta dari tangannya sendiri.
Pengharapan
dari seorang anak yang cerdas untuk Bumi tercinta. Aku membelai-belai rambutnya
yang sedikit kusut, merasa bangga bisa mengenal anak seperti dia.
***
Suara-suara
kicauan burung, embun-embun yang menetes dari dedaunan, dan Bulan yang tengah
menyinari pagi. Tak ada pagi seindah itu selama aku menjadi relawan di tempat
itu.
Ketika semua
anak seusia Bulan masih terlelap, Bulan sudah terjaga dari tidurnya. Menanti
kami para relawan yang akan membagikan sebungkus nasi untuk sarapan mereka.
“Pagi, Kak
Bintang,” sapanya dengan senyum merekah. “Aku menunggu Kakak sejak subuh tadi,”
lanjutnya.
“Oh, ya? Nunggu
kakak atau nunggu nasi bungkus ini? Hayo ngaku...,” aku menggodanya. Aku pikir
dia sedang kelaparan, lantas kuberikan nasi bungkus dan teh hangat untuknya.
“Nungguin
kakak-kakak relawan, kok.” Jawabnya dengan menerima nasi bungkus dan teh hangat
yang kuberikan. Langsung saja dia menghampiri seorang nenek yang sedang
memijit-mijit kakinya sendiri di ujung posko pengungsian. Aku melihat Bulan
memberikan nasi bungkus dan teh hangat yang kuberikan padanya kepada nenek itu,
kemudian dia kembali lagi menemuiku.
“Kenapa kamu
kasih ke nenek itu? Itu kan buat kamu sarapan, Bulan,” protesku. Sedikit kecewa
karena ketika aku sedang mengutamakan kepentingan Bulan, tapi justru dia
memberikannya ke orang lain.
“Bulan
sarapannya nanti aja kalau semua pengungsi di sini sudah dapat jatah sarapan.
Sekarang Bulan mau bantu kakak-kakak relawan membagi-bagikan nasi bungkusnya
dulu.
Bolehkan, Kak? Boleh yaaa?” Bulan memohon. Aku masih terbengong dengan
permintaan sederhana itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia bahkan mengerti
tentang arti berbagi. Sungguh, anak ini membuatku jatuh cinta.
“Oh, tentu saja
boleh. Ayok,” aku menggandengnya.
Bulan
bersemangat sekali. Dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang sedang
mengalami musibah.
***
Kini, Bulan
berada di tengah-tengah kami, para relawan. Dia mengajak beberapa teman
seusianya. Malam ini kami sekedar berkumpul, menghilangkan rasa bosan dengan
bernyanyi atau sekedar bercerita.
Ada satu obrolan
dari salah seorang anak bernama Sinar yang membuat kami para relawan berpikir
untuk lebih melindungi Bumi.
“Kak, besok
kalau aku sudah tidak lagi menjadi korban bencana gunung meletus, kakak-kakak
ini akan tetap mengunjungi kami, kan?” pertanyaan dari Sinar dilontarkan untuk
kami para relawan. Kami saling menatap, mengangkat bahu.
“Pasti akan
mengunjungi kalian semua,” jawabku meski tak yakin. Karena di luar dari
kegiatan sosial ini, kami mempunyai kesibukan masing-masing yang tentunya akan
sulit untuk kembali berkumpul.
“Iya, Kak.
Kakak-kakak ini harus sering mengunjungi kami. Nanti kita bareng-bareng menanam
pepohonan di samping rumahku, nanti bisa juga kita bikin kolam ikan,” lanjut
Sinar.
Oh, rupanya tak
hanya Bulan yang kritis di sini, ada Sinar juga, anak laki-laki yang berbadan
tinggi kurus. Dia memiliki harapan yang sama seperti harapan Bulan.
“Kita bikin
kebun! Kita tanam semua jenis tanaman di desa ini. Bikin tempat kita menjadi
tempat yang rindang, biar tidak melulu panas. Nanti kita bikin rumah pohon
juga. Ah, pasti seru.” Bulan menimpali ucapan Sinar. Cara Bulan menyampaikan
keinginannya agar desa mereka kembali hijau terlihat sangat bersemangat.
Sepertinya dua anak ini mengharap desanya kembali hijau seperti dulu. Yang tak
gersang, yang hamparan hijaunya bisa dinikmati dari sisi manapun.
***
Sepuluh tahun
bukanlah waktu yang singkat untukku berpisah dengan mereka para korban
meletusnya Gunung Merapi. Aku kembali menapaki tempat yang pernah mengenalkanku
pada anak-anak yang cerdas, anak-anak yang terus menerus membuatku jatuh cinta
dengan semua pemikiran-pemikiran tentang kemajuan desanya, tentang keindahan
isi Bumi.
Lihatlah, desa
ini benar-benar terlihat berbeda dari pertama kali ketika aku datang ke sini.
Tak ada lagi sampah berserakan, tak ada lagi tanah tandus berdebu, dan tak ada
lagi muka-muka ditekuk dari warga desa sini. Semua terlihat memesona.
Sinar dan Bulan
benar-benar mencapai harapan yang mereka inginkan.
“Wah, bakal ada
yang panen ikan, nih,” basa-basiku ketika aku melihat Sinar sedang memberikan
makanan pada ikan-ikan di kolam yang berhasil dia wujudkan. Ya, dia benar-benar
merealisasikan keinginannya sepuluh tahun yang lalu.
Sinar menoleh,
seketika bengong melihat kehadiranku bersama dua orang temanku. Mungkin sedikit
terkejut, atau sedang mengingat-ingat siapa yang sedang berdiri di hadapannya
sekarang.
“Masihkah kau
mengingatku, Sinar yang kini telah tumbuh menjadi remaja?”
“Ingat kok,
ingat. Kak Bintang! Iya, Kak Bintang. Apa kabar, Kak? Wah, aku tak menyangka
kalau kakak akan mengunjungi desa ini lagi.”
“Tepat sekali.
Senang kembali bertemu denganmu, Sinar,” aku mengajaknya bersalaman. Rasanya senang
sekali masih dikenali oleh Sinar. Dia mengajakku bertemu dengan Bulan. Sama
seperti Sinar sebelumnya, ekspresi Bulan menunjukkan keterkejutan ketika
melihat kedatanganku.
Mereka
mengajakku dan ke dua temanku mengelilingi desa mereka. Menunjukkan rumah pohon
yang kokoh. Menunjukkan koperasi desa yang dipawangi oleh mereka. Dan pada
akhirnya kami beristirahat di gubuk yang berada di tengah-tengah sawah sambil
menikmati es kelapa muda. Sejuk sekali.
“Kalian hebat
ya, apa yang menjadi harapan kalian, kini menjadi kenyataan. Kakak salut sama
kalian,” pujiku yang juga disetujui oleh kedua temanku.
Mereka tersenyum,
kemudian menyeritakan proses hingga mereka mencapai apa yang menjadi harapan
mereka untuk desa mereka.
Awalnya kita memang cuma mengkhayal – berharap –
mengkhayal – berharap, Kak. Tapi kami pikir, itu tidak mengubah keadaan desa
ini. Maka suatu hari, kami bersepakat untuk mewujudkan harapan kami. Kami
menemui kepala desa, menyampaikan apa yang ada di pikiran kami untuk masa depan
desa kami. Alhamdulillahnya, pak kepala desa merespon dengan baik. Tak butuh
waktu lama, beliau menggerakkan semua warga di desa ini. Remaja-remaja sini tak
kalah semangatnya. Kami senang sekali, Kak. Meski ada juga halangan karena
pernah kita mengalami kekurangan dana, tapi pada akhirnya semua terlewati.
Lambat laun kehidupan warga di sini semakin membaik. Kakak bisa lihat sendiri,
atas kerjasama yang baik dari semua individu di sini, desa kami terlihat
cantik. Dan Kakak bisa merasakan, setidaknya di Bumi ini masih ada tempat yang
sejuk.
***
Terkadang
memang butuh kesadaran untuk bisa menjadikan Bumi ini menjadi seperti surga.
Dengan cara melindungi alam itu sendiri dan tidak menyalahgunakan kekayaan alam
yang kita miliki.
Kekuatan Bumi
ini berada di tangan para penghuninya. Bukan menyalahkan siapa yang menjadi
sebab atas semua musibah yang menimpa Bumi ini, jelas itu semua sebab dari
manusia-manusia itu sendiri yang merusaknya. Dan pada akhirnya Bumi kita akan
kembali alami ketika nurani dari setiap individu berjanji untuk melindungi dan
tidak merusaknya.
Selesai
![]() |
#TantanganMenulis dengan Tema #FreeDay :D |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar