Maret 12, 2015

#TantanganMenulis - Free Day


Sinar, Bulan, dan Bintang

Layaknya surga
Tempat pengharapan setiap insan
Tentang keindahan alam yang tak tertandingi
Tentang semua keajaiban di dalamnya
Aku rindu tanah surga, Tuhan ...
Bukan!
Bukan, aku!
Tapi...,
bumiku.

Aku mendengarnya membacakan puisi di depan para pengungsi yang lain. Suaranya lantang, padahal usianya baru beranjak delapan tahun.

Satu minggu ini aku dan kelompok relawan dari gabungan beberapa universitas di Indonesia berada dalam pengungsian korban meletusnya Gunung Merapi, tempatnya beberapa kilometer dari desa Kinahrejo, Jogja. Menjadi relawan itu menyenangkan. Membuat mata dan hatiku sedikit terbuka, karena ketika aku berhadapan dengan mereka yang beraneka ragam, aku mengerti bahwa bisa jadi hidup dan matinya Bumi ini ada di genggaman mereka para makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. 

Hari ini, tanggal 22 April, kami selaku kelompok relawan memperingati Hari Bumi di posko pengungsian. Tujuan kami sederhana, kami hanya ingin menciptakan kebahagiaan untuk mereka yang tengah menghadapi musibah. Kami membuat acara dengan agenda pembacaan puisi yang ditulis oleh anak-anak pengungsian itu sendiri, mendongeng, bernyanyi, dan berdoa bersama di akhir acara. 

Bagiku satu minggu menjadi pengungsi itu sangat membosankan. Bayangkan, mereka hanya menanti bantuan yang terkadang datang terlambat. Kehabisan air bersih, tidak ada pakaian ganti, dan lain-lain. Tidak ada yang dikerjakan selain duduk-duduk di posko pengungsian.

Tapi, tunggu! Lihatlah anak pembaca puisi itu. Dia terlihat menonjol sendiri dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Dia berani, tak mau berdiam diri di pangkuan ibunya. Ada saja tingkahnya yang membuatku kagum.
***
“Hei,” sapaku kepada anak pembaca puisi yang entah sedang menggambar apa di kertas lusuhnya.

Dia menoleh ke arahku, tersenyum. Senyum yang seakan-akan mengajakku untuk berteman.

“Hei juga, Kak,” balasnya. Kini dia berdiri tepat di hadapanku.

“Siapa namamu?” tanyaku padanya.

“Namaku Bulan. Nama Kakak, siapa?”


“Nama kakak, Bintang,” jawabku ramah.

Dia tertawa mendengar namaku. “Nama Kakak, Bintang, dan namaku Bulan. Kita sama, Kak.”

Entah itu kebetulan atau bagaimana, yang jelas nama kami sama-sama seperti benda langit yang tampak terang di langit malam.

“Kak, mau jadi temanku?” tawarnya seketika. Aku bahkan tak mengira kalau dia akan melempar tawaran seperti itu padaku.

“Tentu saja mau.”

Dia mengacungkan jari kelingkingnya, menunggu jari kelingkingku. Kemudian aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Sejak hari itu aku menemukan sorang teman kecil bernama Bulan, anak pembaca puisi.

“Hei, apa yang kamu gambar?” aku melirik kertas lusuh di tangan kirinya. Dia memperlihatkan gambarnya. Sebuah gambar yang menceritakan tentang Bumi di masa depan. Mengenai hamparan hijau yang membentang luas dialiri air jernih di bawah pegunungan yang biru. Langit-langit yang cerah dengan sepasang gambar petani yang tengah tersenyum.

“Bagus sekali gambarmu,” tentu saja aku memuji hasil gambarnya.

“Terima kasih, Kak,” katanya tersenyum sambil memandangi gambarnya sendiri. “Ini adalah dua orang petani yang sedang berbahagia karena sawahnya tumbuh subur, warnanya terlihat hijau, itu berarti mereka akan menghasilkan panen yang baik, Kak. Lihat gunung sama langitnya, Kak. Cantik, kan? Aku mau, setelah musibah Gunung Merapi ini berakhir, keadaan desaku semakin baik, Kak, seperti di gambar ini. Jadi, nanti Bumi kita tidak lagi terasa panas.” Lanjutnya menjelaskan isi dari gambar yang tercipta dari tangannya sendiri.
Pengharapan dari seorang anak yang cerdas untuk Bumi tercinta. Aku membelai-belai rambutnya yang sedikit kusut, merasa bangga bisa mengenal anak seperti dia.
***
Suara-suara kicauan burung, embun-embun yang menetes dari dedaunan, dan Bulan yang tengah menyinari pagi. Tak ada pagi seindah itu selama aku menjadi relawan di tempat itu.
Ketika semua anak seusia Bulan masih terlelap, Bulan sudah terjaga dari tidurnya. Menanti kami para relawan yang akan membagikan sebungkus nasi untuk sarapan mereka.

“Pagi, Kak Bintang,” sapanya dengan senyum merekah. “Aku menunggu Kakak sejak subuh tadi,” lanjutnya.

“Oh, ya? Nunggu kakak atau nunggu nasi bungkus ini? Hayo ngaku...,” aku menggodanya. Aku pikir dia sedang kelaparan, lantas kuberikan nasi bungkus dan teh hangat untuknya.

“Nungguin kakak-kakak relawan, kok.” Jawabnya dengan menerima nasi bungkus dan teh hangat yang kuberikan. Langsung saja dia menghampiri seorang nenek yang sedang memijit-mijit kakinya sendiri di ujung posko pengungsian. Aku melihat Bulan memberikan nasi bungkus dan teh hangat yang kuberikan padanya kepada nenek itu, kemudian dia kembali lagi menemuiku.

“Kenapa kamu kasih ke nenek itu? Itu kan buat kamu sarapan, Bulan,” protesku. Sedikit kecewa karena ketika aku sedang mengutamakan kepentingan Bulan, tapi justru dia memberikannya ke orang lain.

“Bulan sarapannya nanti aja kalau semua pengungsi di sini sudah dapat jatah sarapan. Sekarang Bulan mau bantu kakak-kakak relawan membagi-bagikan nasi bungkusnya dulu. 

Bolehkan, Kak? Boleh yaaa?” Bulan memohon. Aku masih terbengong dengan permintaan sederhana itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia bahkan mengerti tentang arti berbagi. Sungguh, anak ini membuatku jatuh cinta.

“Oh, tentu saja boleh. Ayok,” aku menggandengnya.

Bulan bersemangat sekali. Dia sama sekali tak terlihat seperti orang yang sedang mengalami musibah.
***
Kini, Bulan berada di tengah-tengah kami, para relawan. Dia mengajak beberapa teman seusianya. Malam ini kami sekedar berkumpul, menghilangkan rasa bosan dengan bernyanyi atau sekedar bercerita.

Ada satu obrolan dari salah seorang anak bernama Sinar yang membuat kami para relawan berpikir untuk lebih melindungi Bumi.

“Kak, besok kalau aku sudah tidak lagi menjadi korban bencana gunung meletus, kakak-kakak ini akan tetap mengunjungi kami, kan?” pertanyaan dari Sinar dilontarkan untuk kami para relawan. Kami saling menatap, mengangkat bahu.

“Pasti akan mengunjungi kalian semua,” jawabku meski tak yakin. Karena di luar dari kegiatan sosial ini, kami mempunyai kesibukan masing-masing yang tentunya akan sulit untuk kembali berkumpul.

“Iya, Kak. Kakak-kakak ini harus sering mengunjungi kami. Nanti kita bareng-bareng menanam pepohonan di samping rumahku, nanti bisa juga kita bikin kolam ikan,” lanjut Sinar.

Oh, rupanya tak hanya Bulan yang kritis di sini, ada Sinar juga, anak laki-laki yang berbadan tinggi kurus. Dia memiliki harapan yang sama seperti harapan Bulan.

“Kita bikin kebun! Kita tanam semua jenis tanaman di desa ini. Bikin tempat kita menjadi tempat yang rindang, biar tidak melulu panas. Nanti kita bikin rumah pohon juga. Ah, pasti seru.” Bulan menimpali ucapan Sinar. Cara Bulan menyampaikan keinginannya agar desa mereka kembali hijau terlihat sangat bersemangat. Sepertinya dua anak ini mengharap desanya kembali hijau seperti dulu. Yang tak gersang, yang hamparan hijaunya bisa dinikmati dari sisi manapun.
***
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untukku berpisah dengan mereka para korban meletusnya Gunung Merapi. Aku kembali menapaki tempat yang pernah mengenalkanku pada anak-anak yang cerdas, anak-anak yang terus menerus membuatku jatuh cinta dengan semua pemikiran-pemikiran tentang kemajuan desanya, tentang keindahan isi Bumi.

Lihatlah, desa ini benar-benar terlihat berbeda dari pertama kali ketika aku datang ke sini. Tak ada lagi sampah berserakan, tak ada lagi tanah tandus berdebu, dan tak ada lagi muka-muka ditekuk dari warga desa sini. Semua terlihat memesona.

Sinar dan Bulan benar-benar mencapai harapan yang mereka inginkan.
“Wah, bakal ada yang panen ikan, nih,” basa-basiku ketika aku melihat Sinar sedang memberikan makanan pada ikan-ikan di kolam yang berhasil dia wujudkan. Ya, dia benar-benar merealisasikan keinginannya sepuluh tahun yang lalu.

Sinar menoleh, seketika bengong melihat kehadiranku bersama dua orang temanku. Mungkin sedikit terkejut, atau sedang mengingat-ingat siapa yang sedang berdiri di hadapannya sekarang.

“Masihkah kau mengingatku, Sinar yang kini telah tumbuh menjadi remaja?”

“Ingat kok, ingat. Kak Bintang! Iya, Kak Bintang. Apa kabar, Kak? Wah, aku tak menyangka kalau kakak akan mengunjungi desa ini lagi.”

“Tepat sekali. Senang kembali bertemu denganmu, Sinar,” aku mengajaknya bersalaman. Rasanya senang sekali masih dikenali oleh Sinar. Dia mengajakku bertemu dengan Bulan. Sama seperti Sinar sebelumnya, ekspresi Bulan menunjukkan keterkejutan ketika melihat kedatanganku.

Mereka mengajakku dan ke dua temanku mengelilingi desa mereka. Menunjukkan rumah pohon yang kokoh. Menunjukkan koperasi desa yang dipawangi oleh mereka. Dan pada akhirnya kami beristirahat di gubuk yang berada di tengah-tengah sawah sambil menikmati es kelapa muda. Sejuk sekali.

“Kalian hebat ya, apa yang menjadi harapan kalian, kini menjadi kenyataan. Kakak salut sama kalian,” pujiku yang juga disetujui oleh kedua temanku.

Mereka tersenyum, kemudian menyeritakan proses hingga mereka mencapai apa yang menjadi harapan mereka untuk desa mereka.

Awalnya kita memang cuma mengkhayal – berharap – mengkhayal – berharap, Kak. Tapi kami pikir, itu tidak mengubah keadaan desa ini. Maka suatu hari, kami bersepakat untuk mewujudkan harapan kami. Kami menemui kepala desa, menyampaikan apa yang ada di pikiran kami untuk masa depan desa kami. Alhamdulillahnya, pak kepala desa merespon dengan baik. Tak butuh waktu lama, beliau menggerakkan semua warga di desa ini. Remaja-remaja sini tak kalah semangatnya. Kami senang sekali, Kak. Meski ada juga halangan karena pernah kita mengalami kekurangan dana, tapi pada akhirnya semua terlewati. Lambat laun kehidupan warga di sini semakin membaik. Kakak bisa lihat sendiri, atas kerjasama yang baik dari semua individu di sini, desa kami terlihat cantik. Dan Kakak bisa merasakan, setidaknya di Bumi ini masih ada tempat yang sejuk.
***
Terkadang memang butuh kesadaran untuk bisa menjadikan Bumi ini menjadi seperti surga. Dengan cara melindungi alam itu sendiri dan tidak menyalahgunakan kekayaan alam yang kita miliki.

Kekuatan Bumi ini berada di tangan para penghuninya. Bukan menyalahkan siapa yang menjadi sebab atas semua musibah yang menimpa Bumi ini, jelas itu semua sebab dari manusia-manusia itu sendiri yang merusaknya. Dan pada akhirnya Bumi kita akan kembali alami ketika nurani dari setiap individu berjanji untuk melindungi dan tidak merusaknya.

Selesai

#TantanganMenulis dengan Tema #FreeDay :D

Tidak ada komentar: