Maret 25, 2015

Tuhan, Dia Siapaku?


“Bu, aku jatuh cinta,” dengan ekspresi sumringah kuungkapkan perasaanku kepada Ibu. Ibu mengernyitkan dahi, ini pertama kalinya aku bercerita tentang perasaan yang terus bergejolak. Hatiku berbunga-bunga.

“Serius? Cowok mana yang berhasil melumerkan hatimu, Sayang?” Ibu menghentikan bacaannya, memasang muka kepo di hadapanku. Sangat antusias.

“Ibu..., santai dulu, jangan bikin Putri grogi. Besok akan Putri buatkan jadwal khusus untuk Ibu bertemu dengannya.”

“Oke kalau mau kamu begitu. Hati-hati sama cowok jaman sekarang, banyak yang kamuflase,” begitu wangsit yang selalu Ibu berikan padaku.

“Dia bukan cowok, Bu, dia pria dewasa,” kataku mengakhiri.
***
Kupandangi langit-langit kamar yang remang. Mataku susah terpejam. Ada wajah-wajah yang bersliweran di khayalanku. Wajahnya bergantian, semakin banyak dan semakin cepat. Tak jelas. Aku mencoba tenang, mencoba memperjelas dengan lebih lambat. Ah, hasil akhir dari semua itu sama saja, selalu wajah Mas Yoga yang hadir. Pria yang beberapa bulan terakhir membuat hatiku sesak karena rindu. Pria ini yang ingin sekali kukenalkan dengan Ibu.

Mas Yoga, begitulah aku memanggilnya. Pria tiga puluh tujuh tahun yang umurnya lima belas tahun lebih tua di atasku. Aku mengenalnya melalui dunia maya. Dia membuatku jatuh cinta sebelum temu terealisasi. Aku kelimpungan tiap kali mengingatnya. Degubku mendadak tak beraturan, dan Tuhan, di saat seperti ini aku kerapkali terbayang tentang sosok  yang belum pernah kutemui. Ayah. Aku ingin tau seperti apa wajah ayahku. Aku ingin tau bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Tuhan, kasih jalan untukku bertemu dengan ayah. Setelah merapal doa seperti itu, aku akan terpejam dengan sendirinya. Aku percaya, Tuhan ingin aku menebak di mana ayahku tinggal, melalui mimpi.
***
Pagi yang muda. Cerah bergairah. Aku mengingat mimpiku semalam. Bukan sosok ayah seperti yang kuinginkan, tetapi lagi-lagi Mas Yoga yang kembali hadir mengisi mimpiku. Meski begitu, aku tak kecewa, aku senang, setidaknya dari mimpi itu aku bisa meyakini kalau Tuhan sedang menunjukkan padaku bagaimana keseriusan Mas Yoga menjalin hubungan denganku.

Secangkir teh dan beberapa potong pisang goreng krispy tersedia di meja makan. Ibu memang paling bisa membuat pagiku menjadi semangat untuk bekerja, semangat juga untuk menanyakan suatu hal.
“Bu, Putri boleh nanya sesuatu?” tanyaku hati-hati.
“Apa, Sayang?” Ibu memasang wajah dengan seksama.

Aku terdiam sejenak, mengatur napas karena merasa canggung dengan pertanyaanku sendiri. “Di mana Putri bisa menemui ayah?” Aku menelan ludah setelahnya.

Ibu menunduk. Selalu begitu. Aku tau pasti, Ibu sedang menahan air matanya agar tak membanjiri pipinya, tapi selalu gagal. Aku belum juga mengerti kenapa sampai aku sedewasa ini Ibu belum mau mengatakan apa pun tentang ayah. Aku tak tau kenapa Ibu justru menangis sampai tersedu-sedu ketika aku mendesak agar Ibu bercerita. Kesakitan apa yang telah ditorehkan ayah kepada Ibu? Ah!

“Bu, minggu depan Mas Yoga akan kemari, dia ingin bertemu dengan Ibu,” akhirku mengalihkan pembicaraan. Ibu menyeka air matanya yang terlanjur meluap.

“Oh ya? Bagus dong, berarti rasa penasaran Ibu akan segera berakhir. Ibu ingin tau pria seperti apa yang membuatmu tak pernah berhenti untuk menceritakannya,” kata Ibu dengan penuh tekanan di setiap katanya, mungkin sedang menetralkan perasaannya sendiri.
***
Mas Yoga telah sampai, aku menjemputnya di stasiun. Sebenarnya ini bukan kali pertama dia menginjakkan kaki di kotaku. Sudah sering, hanya saja dia tak pernah siap ketika aku mengajaknya ke rumah. Katanya butuh banyak waktu, perlu strategi untuk berkenalan dengan Ibu. Aku mencoba memahami. Lewat cerita-cerita yang kupunya, sejauh ini keinginan Ibu untuk bertemu dengan Mas Yoga begitu menggebu, dan itu sangat memudahkanku.
              
Perkenalanku dengan Mas Yoga berawal dari kehadirannya yang tak pernah absen mengomentari status-status yang kutulis. Beberapa kali hingga dia mengirimkan pesan pribadi padaku. Entah sekedar prihatin atau memang dia menaruh perhatian kepadaku atas status-status yang kubuat. Aku cuek, tapi lambat laun aku merasakan kenyamanan yang tak pernah kudapat sebelumnya. Dia bisa memberiku solusi. Terkadang cukup bercerita dengannya membuat hatiku lega. Umurku dan dia memang terpaut jauh, tetapi ketika dia memintaku untuk menjalin hubungan yang serius, aku tak bisa menolak. Jarak antara Jakarta dan Semarang juga tak kupedulikan.
***
Senja tengah merona, pada akhirnya pertemuan itu terlaksana. Mas Yoga dan Ibu begitu hangat, seperti sudah mengenal sejak lama. Entah kenapa aku jadi membayangkan bagaimana bahagiaku bisa berumahtangga dengan Mas Yoga, dia pasti akan sangat menyayangi Ibu, begitupun sebaliknya.

Gelak tawa nyata terdengar di ruang tamu ini. Aku, Ibu, dan Mas Yoga saling bertukar cerita. Sesekali kulihat raut wajah Ibu masam, sesekali terlihat malu dan kesal. Mas Yoga lebih sering menunjukkan ekspresi terkejut dan kagum, dia memuji kehebatan Ibu yang mampu mengurusku dari kecil hingga dewasa seperti ini seorang diri. Pertemuan pertama yang mengesankan.
 
Tik.. Tok.. Tik.. Tok...
Suara jarum jam mendadak mendominasi ruangan ini. Mas Yoga dan Ibu terdiam. Aku menatap satu dengan yang lainnya. Mereka seperti mendalami perasaan masing-masing. Menyadari sesuatu yang tak beres, aku berpamitan ke toilet, sekedar memancing obrolan apa yang akan mereka buka.

“Apa kabar, Ningsih?” Pertanyaan Mas Yoga membuatku terlonjak. Apa kabar? Ningsih? Mereka sudah saling mengenal? Aku masih berdiri di balik skat antara ruang tamu dengan ruang tengah. Obrolan mereka masih bisa kudengar meskipun dengan suara yang dibuat lirih.

“Tak usah basa-basi. Kamu pasti tau siapa Putri. Kamu ingin menghancurkan dia setelah beberapa tahun silam menghancurkanku? Jangan bodoh, Yog! Dia anakmu, kamu pasti tau soal itu. Berhenti memberikan harapan yang tak seharusnya kamu berikan untuk Putri.” Suara Ibu bagikan petir yang menyambar tubuhku. Persendian-persendian kakiku melemas. Pikiranku kacau, hatiku ngilu mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut Ibu. Saat itu juga, aku ingin sekali  telingaku dibuat tuli.

“Aku tau, Ningsih, maka dari itu aku berada di sini. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya kepada Putri. Maaf untuk masa lalu kita,” suara Mas Yoga terdengar berat.

Dengan langkah ragu aku ikut memasuki dunia mereka. Hening hingga tangisku mulai pecah. Air mataku jauh lebih jago mengekspresikan luka hatiku. Aku belum mampu berkata-kata. Ini terlalu menyakitkan. Cintaku ternyata salah kaprah. Bayangkan saja bagaimana kecewanya aku mengetahui kenyataan cinta pertamaku jatuh di orang yang tak seharusnya.

Mas Yoga menggenggam tanganku. Siap tak siap, aku harus berbesar hati dengan apa yang akan dia katakan.

“Putri, kamu sudah mendengar semuanya? Maafkan aku. Ini di luar dugaanku. Aku jujur padamu, aku mencintaimu dengan tulus. Hanya saja, beberapa waktu lalu ketika kamu mengunggah fotomu dengan Ibu, seketika itu semua perasaanku berubah. Ada bahagia karena akhirnya aku bisa menemukan kebahagiaan kalian, hadir juga luka, karena sudah pasti aku harus membunuh perasaanku padamu. Aku kalap, bingung apa yang harus kulakukan. Tak tau bagaimana harus memberitaumu yang sejujurnya. Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semua ini. Maaf, aku terlalu lamban mengambil keputusan.”

“Kamu sengaja membuatku membangun mimpi indah denganmu, lalu membuatnya rubuh seketika? Kamu tau kan bagaimana perasaanku padamu? Bertambah setiap waktunya! Apa maksudmu melakukan ini padaku?!” Aku gagal mengontrol suaraku.

Ibu menangis. Mas Yoga, yang ternyata adalah ayah kandungku berusaha meredam kemarahan pada dirinya sendiri. Aku masih dengan ketidakpercayaanku, “Tuhan, dia siapaku?” Lalu aku teringat tentang status yang kutulis.
Tuhan, aku butuh ayah. Segeralah, pertemukanku dengan ayah. Bagaimanapun caranya.
Dan Mas Yoga meninggalkan jejak di kolom komentar.
Bersabarlah, Tuhan punya waktu sendiri untuk itu.

AKU JUJUR PADAMU
Penerbit   : Kinomedia
Cetakan I : Maret 2015
ISBN  : 978-602-71914-6-4

Tidak ada komentar: