“Bu, aku jatuh
cinta,” dengan ekspresi sumringah kuungkapkan perasaanku kepada Ibu. Ibu
mengernyitkan dahi, ini pertama kalinya aku bercerita tentang perasaan yang
terus bergejolak. Hatiku berbunga-bunga.
“Serius? Cowok mana yang berhasil
melumerkan hatimu, Sayang?” Ibu menghentikan bacaannya, memasang muka kepo di hadapanku. Sangat antusias.
“Ibu..., santai dulu, jangan bikin
Putri grogi. Besok akan Putri buatkan jadwal khusus untuk Ibu bertemu dengannya.”
“Oke kalau mau kamu begitu.
Hati-hati sama cowok jaman sekarang, banyak yang kamuflase,” begitu wangsit
yang selalu Ibu berikan padaku.
“Dia bukan cowok, Bu, dia pria
dewasa,” kataku mengakhiri.
***
Kupandangi
langit-langit kamar yang remang. Mataku susah terpejam. Ada wajah-wajah yang
bersliweran di khayalanku. Wajahnya bergantian, semakin banyak dan semakin
cepat. Tak jelas. Aku mencoba tenang, mencoba memperjelas dengan lebih lambat.
Ah, hasil akhir dari semua itu sama saja, selalu wajah Mas Yoga yang hadir.
Pria yang beberapa bulan terakhir membuat hatiku sesak karena rindu. Pria ini
yang ingin sekali kukenalkan dengan Ibu.
Mas
Yoga, begitulah aku memanggilnya. Pria tiga puluh tujuh tahun yang umurnya lima
belas tahun lebih tua di atasku. Aku mengenalnya melalui dunia maya. Dia
membuatku jatuh cinta sebelum temu terealisasi. Aku kelimpungan tiap kali
mengingatnya. Degubku mendadak tak beraturan, dan Tuhan, di saat seperti ini aku kerapkali terbayang tentang sosok yang belum pernah kutemui. Ayah. Aku ingin tau
seperti apa wajah ayahku. Aku ingin tau bagaimana rasanya memiliki seorang ayah.
Tuhan, kasih jalan untukku bertemu dengan ayah. Setelah merapal doa seperti
itu, aku akan terpejam dengan sendirinya. Aku percaya, Tuhan ingin aku menebak
di mana ayahku tinggal, melalui mimpi.
***
Pagi yang muda. Cerah bergairah. Aku
mengingat mimpiku semalam. Bukan sosok ayah seperti yang kuinginkan, tetapi
lagi-lagi Mas Yoga yang kembali hadir mengisi mimpiku. Meski begitu, aku tak
kecewa, aku senang, setidaknya dari mimpi itu aku bisa meyakini kalau Tuhan sedang
menunjukkan padaku bagaimana keseriusan Mas Yoga menjalin hubungan denganku.
Secangkir teh dan beberapa potong
pisang goreng krispy tersedia di meja makan. Ibu memang paling bisa membuat
pagiku menjadi semangat untuk bekerja, semangat juga untuk menanyakan suatu
hal.
“Bu, Putri boleh nanya sesuatu?”
tanyaku hati-hati.
“Apa, Sayang?” Ibu memasang wajah
dengan seksama.
Aku terdiam sejenak, mengatur napas
karena merasa canggung dengan pertanyaanku sendiri. “Di mana Putri bisa menemui
ayah?” Aku menelan ludah setelahnya.
Ibu menunduk. Selalu begitu. Aku tau
pasti, Ibu sedang menahan air matanya agar tak membanjiri pipinya, tapi selalu
gagal. Aku belum juga mengerti kenapa sampai aku sedewasa ini Ibu belum mau
mengatakan apa pun tentang ayah. Aku tak tau kenapa Ibu justru menangis sampai
tersedu-sedu ketika aku mendesak agar Ibu bercerita. Kesakitan apa yang telah
ditorehkan ayah kepada Ibu? Ah!
“Bu, minggu depan
Mas Yoga akan kemari, dia ingin bertemu dengan Ibu,” akhirku mengalihkan
pembicaraan. Ibu menyeka air matanya yang terlanjur meluap.
“Oh ya? Bagus dong, berarti rasa
penasaran Ibu akan segera berakhir. Ibu ingin tau pria seperti apa yang
membuatmu tak pernah berhenti untuk menceritakannya,” kata Ibu dengan penuh
tekanan di setiap katanya, mungkin sedang menetralkan perasaannya sendiri.
***
Mas Yoga telah sampai, aku
menjemputnya di stasiun. Sebenarnya ini bukan kali pertama dia menginjakkan
kaki di kotaku. Sudah sering, hanya saja dia tak pernah siap ketika aku
mengajaknya ke rumah. Katanya butuh banyak waktu, perlu strategi untuk berkenalan
dengan Ibu. Aku mencoba memahami. Lewat cerita-cerita yang kupunya, sejauh ini
keinginan Ibu untuk bertemu dengan Mas Yoga begitu menggebu, dan itu sangat memudahkanku.
Perkenalanku dengan Mas Yoga berawal
dari kehadirannya yang tak pernah absen mengomentari status-status yang kutulis.
Beberapa kali hingga dia mengirimkan pesan pribadi padaku. Entah sekedar
prihatin atau memang dia menaruh perhatian kepadaku atas status-status yang
kubuat. Aku cuek, tapi lambat laun aku merasakan kenyamanan yang tak pernah
kudapat sebelumnya. Dia bisa memberiku solusi. Terkadang cukup bercerita
dengannya membuat hatiku lega. Umurku dan dia memang terpaut jauh, tetapi
ketika dia memintaku untuk menjalin hubungan yang serius, aku tak bisa menolak.
Jarak antara Jakarta dan Semarang juga tak kupedulikan.
***
Senja tengah merona, pada akhirnya
pertemuan itu terlaksana. Mas Yoga dan Ibu begitu hangat, seperti sudah
mengenal sejak lama. Entah kenapa aku jadi membayangkan bagaimana bahagiaku
bisa berumahtangga dengan Mas Yoga, dia pasti akan sangat menyayangi Ibu,
begitupun sebaliknya.
Gelak tawa nyata terdengar di ruang
tamu ini. Aku, Ibu, dan Mas Yoga saling bertukar cerita. Sesekali kulihat raut wajah
Ibu masam, sesekali terlihat malu dan kesal. Mas Yoga lebih sering menunjukkan
ekspresi terkejut dan kagum, dia memuji kehebatan Ibu yang mampu mengurusku
dari kecil hingga dewasa seperti ini seorang diri. Pertemuan pertama yang
mengesankan.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok...
Suara jarum jam mendadak mendominasi
ruangan ini. Mas Yoga dan Ibu terdiam. Aku menatap satu dengan yang lainnya. Mereka
seperti mendalami perasaan masing-masing. Menyadari sesuatu yang tak beres, aku
berpamitan ke toilet, sekedar memancing obrolan apa yang akan mereka buka.
“Apa kabar, Ningsih?” Pertanyaan Mas
Yoga membuatku terlonjak. Apa kabar? Ningsih? Mereka sudah saling mengenal? Aku masih berdiri di balik skat
antara ruang tamu dengan ruang tengah. Obrolan mereka masih bisa kudengar
meskipun dengan suara yang dibuat lirih.
“Tak usah basa-basi. Kamu pasti tau
siapa Putri. Kamu ingin menghancurkan dia setelah beberapa tahun silam
menghancurkanku? Jangan bodoh, Yog! Dia anakmu, kamu pasti tau soal itu.
Berhenti memberikan harapan yang tak seharusnya kamu berikan untuk Putri.”
Suara Ibu bagikan petir yang menyambar tubuhku. Persendian-persendian kakiku
melemas. Pikiranku kacau, hatiku ngilu mendengar kata demi kata yang terlontar
dari mulut Ibu. Saat itu juga, aku ingin sekali
telingaku dibuat tuli.
“Aku tau, Ningsih, maka dari itu aku
berada di sini. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya kepada Putri. Maaf untuk
masa lalu kita,” suara Mas Yoga terdengar berat.
Dengan langkah ragu aku ikut
memasuki dunia mereka. Hening hingga tangisku mulai pecah. Air mataku jauh
lebih jago mengekspresikan luka hatiku. Aku belum mampu berkata-kata. Ini
terlalu menyakitkan. Cintaku ternyata salah kaprah. Bayangkan saja bagaimana
kecewanya aku mengetahui kenyataan cinta pertamaku jatuh di orang yang tak
seharusnya.
Mas Yoga menggenggam tanganku. Siap
tak siap, aku harus berbesar hati dengan apa yang akan dia katakan.
“Putri, kamu sudah mendengar
semuanya? Maafkan aku. Ini di luar dugaanku. Aku jujur padamu, aku mencintaimu
dengan tulus. Hanya saja, beberapa waktu lalu ketika kamu mengunggah fotomu
dengan Ibu, seketika itu semua perasaanku berubah. Ada bahagia karena akhirnya
aku bisa menemukan kebahagiaan kalian, hadir juga luka, karena sudah pasti aku
harus membunuh perasaanku padamu. Aku kalap, bingung apa yang harus kulakukan.
Tak tau bagaimana harus memberitaumu yang sejujurnya. Aku hanya mencari waktu yang
tepat untuk mengatakan semua ini. Maaf, aku terlalu lamban mengambil
keputusan.”
“Kamu sengaja membuatku membangun mimpi
indah denganmu, lalu membuatnya rubuh seketika? Kamu tau kan bagaimana
perasaanku padamu? Bertambah setiap waktunya! Apa maksudmu melakukan ini padaku?!”
Aku gagal mengontrol suaraku.
Ibu menangis. Mas Yoga, yang ternyata
adalah ayah kandungku berusaha meredam kemarahan pada dirinya sendiri. Aku
masih dengan ketidakpercayaanku, “Tuhan,
dia siapaku?” Lalu aku teringat tentang status yang kutulis.
Tuhan, aku butuh ayah. Segeralah, pertemukanku dengan ayah. Bagaimanapun caranya.
Dan Mas Yoga meninggalkan jejak di
kolom komentar.
Bersabarlah, Tuhan punya waktu sendiri untuk itu.
AKU JUJUR PADAMU
Penerbit : Kinomedia
Cetakan I : Maret 2015
ISBN : 978-602-71914-6-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar