“Puncak kangen paling dahsyat ketika dua orang tak saling telepon, SMS, BBM, tapi keduanya diam-diam saling mendoakan.”- Sudjiwo Tedjo
Ah,
sampai sekarang aku belum bisa membuktikan kalimat dari Mbah Sudjiwo Tedjo itu.
Bagaimana tidak, masih SMS-an saja, rinduku masih dahsyat, lebih dahsyat malah.
Doa-doa dariku juga masih terus mengalir untuknya, semoga saja dia juga
melakukan hal yang sama. Bahkan satu bulan sekali aku masih bisa bertemu
dengannya, menghabiskan waktu dengannya dengan cara menyicip berbagai macam es
krim atau sekedar berceloteh dengan bahan obrolan yang sama di setiap bulannya.
Tidak! Tidak! Ada yang berbeda setiap bulannya, ya itu tadi, rindu. Rinduku
semakin memuncak justru setelah bertemu dengannya dan aku masih selalu merasai rindu
sekalipun detik itu aku sedang mendengarkan dia berceloteh di hadapanku. Aku
rindu! Aku rindu!
Kenyataannya
memang begitu, rindu untuk Si Kapur, teman kesayanganku semasa putih abu-abu
tak pernah menemui titik habis meski setiap hari komunikasiku dengannya tak pernah
putus. Aku ingin sekali menyampaikan rinduku kepadanya. Rindu yang bernyawa,
memiliki detak, hidup dan tumbuh setiap harinya. Tapi entah kenapa aku tak
pernah berhasil menyampaikannya. Ada yang menahan suaraku saat aku ingin membisikkan
rinduku di telinganya. Ada yang mencegah ketikanku saat aku ingin menyampaikan
rinduku melalui pesan di ponselku. Ragu.
Ragu
telah mendominasi otakku, meski tak sampai menggoyahkan hatiku yang bersikeras
untuk tetap mengatakan rindu padanya. Tapi aku malu. Aku malu! Aku malu! Lantas
kutuliskan saja semuanya lewat pena.
Untuk kamu, Kapur Warna yang Mencipta BahagiakuHalo Kapur. Hehe, aku lagi nggak pingin basa basi, takut semuanya malah menjadi basi. Hmm, pada akhirnya aku menulis juga untukmu, ya, itung-itung buat memenuhi permintaanmu. Kamu pernah memintaku agar aku menulis untukmu, bukan? Masih ingat? Ini, aku kabulin.Kapur, banyak yang pingin aku sampein ke kamu, hanya saja aku takut kamu menertawaiku. Tapi, memang akhirnya aku nggak bisa lama-lama memendam rasa rinduku buat kamu.Aku merindukanmu, Kapur. Sangat merindukanmu. Berhenti tertawa, aku tau ini konyol. Ada rindu di sesendok es krim yang kamu ambil dari es krim milikku. Ada rindu di mata sayuku yang kamu benci. Ada rindu di setiap pertemuan kita. Aku merindukanmu setiap hari di setiap detiknya. Kamu, berasakah?Ternyata rindu tak senikmat yang kamu bilang. Kalau bagimu rindu itu nikmat, bagiku rindu itu jahat, terlebih kalau rindu itu untukmu. Dia menyiksaku, mengurungku seperti burung dalam sangkar. Ingin terbang bebas, tapi tak ada pintu yang bisa membebaskan. Seperti aku, terkurung oleh batasan-batasan yang aku buat sendiri, kamu tak perlu tau, karena memang tak ada cara yang bisa kutempuh untuk merindukanmu secara legal. Haha.Kapur, merindukanmu itu candu, meski terkadang aku merasai pilu kerenanya. Semoga kamu tau, ada doa yang selalu terucap untukmu, dalam rindu yang terus melaju.Aku, perempuan yang kamu panggil Cungkring
Tliring
... Tliring ...
Ponselku
berdering ketika aku menuliskan kata terakhir. Si Kapur telepon.
“Haloh,
Kapur,” sapaku seperti biasa.
“Lagi
apa? Ngopi, yuk?” ajaknya. Sebelumnya dia tak pernah mengajakku keluar selain ke
kedai es krim. Kopi?
“Ngopi?
Sejak kapan kamu suka ngopi?” tanyaku penasaran.
“Sejak
kamu menyeruput kopi dengan ekspresi muka yang manis,” terangnya. Dia selalu
menjawab pertanyaanku dengan asal, tak masuk akal, tak berkorelasi, tapi aku
tak pernah protes.
“Terserah,
dah. Ayo, jam berapa?” tanyaku meski aku tau jawaban apa yang akan dia
lontarkan.
“Enggak
sekarang, minggu depan aja, yak? Hari ini aku sibuk,” sudah kutebak!
“Oke.
Selamat bersibuk ria.”
“Bye.
Met ngapain aja. Keep smile, keep spirit,
keep ...,” aku menutup sambungan telepon sebelum dia melanjutkan keep-keep lainnya yang tak aku mengerti.
Tak
apa kalau dia memintaku untuk bertemu dengannya minggu depan. Aku bisa mengumpulkan
keberanian untuk mengungkapkan kerinduanku. Akan kupastikan dia terharu membaca
surat rindu yang kutulis.
***
Hari-hari
berjalan seperti biasanya, berjalan sampai pada waktuku bertemu dengannya. Aku
sudah berada di tempat yang dia janjikan, warung kopi yang menyuguhkan
keindahan senja. Aku dan dia memang selalu berangkat sendiri-sendiri ketika
akan bertemu. Dia tak pernah menjemputku di rumah, karena memang baiknya
seperti itu.
Telah kusiapkan sepucuk surat untukmu, Kapur.
Lirihku.
“Kangennnnn,”
katanya yang baru saja datang lantas langsung memelukku dengan sekejap. Aku tak
menolak, karena terkadang dia suka bertingkah demikian ketika sikap manjanya
mendadak kumat. Ah, aku iri padanya, dia bisa dengan bebas mengeksplor perasaannya
tanpa rasa canggung padaku. Sedangkan aku? Terkurung oleh batasan-batasan yang
aku buat sendiri.
“Iyalah
kangen, aku pan emang ngangenin. Lama banget, sih,” kataku kesal.
“Sori,
tadi nganter nyonya kerja dulu, dia shift
tiga gitu.”
Kalau
sudah begitu, aku tak bisa protes lebih lanjut. Bagaimanapun juga pacarnya memang
berada di tingkatan paling atas dibandingkan kepentingan lainnya.
***
Senja
berubah menjadi langit pekat, tiba-tiba turun tetesan-tetesan bening dari
langit. Hujan. Aku suka! Aku suka! Dia selalu berhasil membuat setiap momen menjadi
romantis. Terima kasih, hujan.
Si Kapur masih
asik dengan kopi hitamnya. Aku rasa dia baru saja jatuh cinta pada kopi yang
aku pesankan untuknya. Kulirik, dia sedang berkaca pada secangkir kopi, entah
apa yang ada di pikirannya, mungkin dia baru saja menemukan alasan kenapa aku
sangat menyukai kopi setelah es krim.
“Ternyata,
kopi tuh enak ya, pantes aja kamu mencumbuinya setiap pagi. Setiap saat malah,”
katanya berasumsi.
Aroma
kopi melebur menjadi satu dengan aroma hujan. Aku dan dia berceloteh seperti
biasanya, dengan tema yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tentang kuliahku,
tentang pekerjaannya, tentang keluargaku, tentang keluarganya, tentang hubungan
asmaranya, dan tentang status jombloku. Nyeh!
Rinduku
juga masih seperti sebelum-sebelumnya. Selalu hidup dan tumbuh setiap kali
bertemu dengannya. Dia ada di tengah-tengah obrolan yang tak berarah di antara
aku dan dia, membaur menjadi nyawa, menghidupkan suasana.
***
Hujan
mulai mereda, dia mengajakku pulang, takut kalau kemalaman dia tak bisa
mengantarku sampai ke rumah. Aku menurutinya. Hari ini cukup puas, meski akan ada
penantian-penantian lagi untuk bertemu dengannya kembali.
“Kapur,
aku ada sesuatu untukmu,” aku menyodorkan sepucuk surat untuknya.
“Kejutan
lagi?” tebaknya. Aku memang suka memberi hadiah-hadiah kecil untuknya. Kalau
ditanya kenapa, aku tak pernah berhasil menemukan jawaban yang tepat, karena aku
hanya bisa bilang, ‘suka aja ngasih hadiah untuknya.’
Aku
menganggukkan kepala, “Tapi dibaca di rumah aja, ya, biar aku nggak malu,”
kataku meminta.
Dia
menurut. Pada akhirnya jarak kembali tercipta di antara aku dan dia. Kami
kembali berjalan sendiri-sendiri.
***
Triling ... Triling ...
Ponselku
berdering. Si Kapur telepon.
“Haloh,
Cungkring. Wuoh, niat banget sih ngasih beginian doang ke aku. Kirain tuh wasiat,
atau tulisan apa gitu, mana aku udah yang deg-degan. Wuu, dasar Cungkring,
bikir GR aja.”
“Akakakkk,
berharap yaa aku bakal nulis panjang lebar buat kamu? Aku sih, sayang aja sama
tintaku kalau cuma buat nulis surat panjang lebar buat kamu. Makanya jadi orang
jangan suka GR,” kataku meledek, lebih tepatnya ingin mengelak.
Meskipun
dia bilang ‘beginian doang’, aku tau pasti dia mengerti apa yang sebenarnya
ingin aku sampaikan. Aku memberinya sepucuk surat yang hanya bertuliskan ‘KAMU
MAKIN JELEK’ di atas kertas putih yang sudah dia terima. Aku mengurungkan
niatku untuk memberikan surat asli yang sudah aku tulis sebelumnya. Tapi, aku
percaya kalau dia masih bisa membaca jejak-jejak tulisan surat asliku lantaran
aku menuliskannya dengan tekanan yang kuat, sampai tulisan itu hampir menembus
kertas di bawahnya yang kini sudah terbaca olehnya.
Semoga
dia tau kalau ada rindu yang bernyawa, memiliki detak, hidup dan tumbuh setiap
harinya. Hanya untuknya, selalu untuknya, dan selamanya untuknya.
Untuk Kapur
Semarang, Juli 2014
KALA SURAT ITU TIBA
Penerbit : Infinite Publisher
Cetakan I : 2015
ISBN : 978-602-284-027-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar