![]() |
Foto oleh Fernando Cabral dari Pexels |
Aku terbangun dari mimpi-mimpi yang entah. Mimpi-mimpi itu seperti memperjelas dugaanku belakangan ini. Aku merasa Bapak akan mati dalam waktu dekat. Bayangan kematian Bapak semakin nampak nyata kala Ibu tiba-tiba saja menghubungiku melalui pesan singkat. Ibu memintaku mengirim sejumlah uang untuk pengobatan Bapak. Belasan tahun sudah, aku meninggalkan rumah dan memilih tinggal sendirian di sebuah kosan. Selama itu pula komunikasiku dengan Bapak dan Ibu hampir tidak pernah. Kini aku mendadak dibebani dengan sejumlah nominal rupiah yang tidak sedikit. Bahkan, sebenarnya aku kerap lupa kalau aku memiliki keluarga yang masih utuh. Bapak, Ibu, dan Rena, adik perempuanku yang kini duduk di bangku ‘putih abu-abu’. Kalau saja Rena tak menanyakan kabarku meski hanya sesekali, mungkin ingatanku tentang keluarga ini benar-benar tak bersisa.
Jam
dinding menunjukkan pukul setengah delapan. Masih terlalu pagi untuk aku yang
hanya seorang freelance. Aku bangkit
dari kasur dan membuka gorden jendela. Tak ada sinar matahari menyorot. Perkiraanku,
hujan akan turun lagi hari ini. Dan itu berarti, sepanjang hari adalah
bermalas-malasan untukku.
Benar saja, merangkak agak siang, aroma hujan mulai tercium. Anehnya, aku tak bisa menikmati waktu-waktu syahdu seperti biasanya. Puzzle-puzzle tentang Bapak mengusik perasaanku. Perasaan yang campur aduk, yang berkali-kali ingin mematahkan segala tudingan burukku terhadap Bapak.
***
Keputusanku resign dari perusahaan BUMN membuat
Bapak kecewa. Memoriku merekamnya dengan genap, di mana Bapak dengan suara
lantangnya meledakkan seluruh isi pikiran dan perasaanku.
“Kamu
gagal menjadi anak Bapak.” Bapak berlalu meninggalkan meja makan malam itu. Ibu
mengusap-usap lembut pundakku, tak mengucap sepatah kata pun, kemudian menyusul
bapak menuju kamar tidur. Suara itu masih terdengar jelas. Raut wajah kecewa
bapak masih terpampang nyata meski dalam bentuk bayang di kepalaku. Embusan
napas ibu yang sempat menyentuhi kulitku, juga masih terasa hangat hingga kini.
Malam itu menjadi momen terburuk yang sebelumnya tak pernah terbayang olehku.
Aku
menatap diriku di cermin, terlihat pincang meski kedua kakiku berdiri dengan
sempurna. Namun demikian, akhirnya aku keluar dari rumah. Menyumpah-serapahi
diriku sendiri, bahwa aku akan menjadi anak yang sukses dan bisa menjadi
kebanggaan di keluarga. Meski nyatanya, dalam belasan tahun terlewat, aku masih
begini-begini saja. Seringkali hampir menyerah malah. Ha-ha.
Mengingat
itu semua, aku menganggap bayang-bayang kematian Bapak adalah kode alam agar
aku kembali berkumpul dengan keluarga. Lalu
aku merasa kalah meski sebenarnya aku tak pernah serius berusaha untuk membuktikan
apa pun dan kepada siapa pun.
***
Kalo nggak bisa kirim uang, Ibu minta kamu
buat pulang ke rumah. Masih setengah sadar aku membaca pesan masuk dari
Rena. Mungkin Ibu kesal karena tiap pesan yang terkirim tak pernah kubalas,
sebab itu Ibu mengutus Rena.
Aku
semakin meyakini kode alam tadi, Ibu memintaku pulang untuk memulai lagi hidup
baru yang lebih ‘urup’ bersama keluarga. Namun, bersamaan dengan keyakinan
tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuatku seketika gelisah. Apakah benar nantinya akan berkumpul bersama
kembali atau kedatanganku ke rumah justru untuk mengantar Bapak ‘pulang’?
Mulanya
aku senang kalau Bapak benar akan mati dalam waktu dekat. Aku tak perlu takut membuatnya
kecewa lagi ketika harus menolak permintaannya yang tak sesuai dengan kata
hatiku. Kenanganku terpental belasan tahun silam, merunut momen demi momen
bersama Bapak. Rasa benci yang begitu meledak-ledak dalam perasaanku semakin samar
seiring runutan itu sampai pada momen hari ini.
Aku
bersiap. Kembali. Pulang. Ke Rumah. Berkumpul. Keluarga.
***
Sopir
travel berkali-kali meminta maaf karena membuat para penumpang terkejut dengan
rem dadakannya. Dalam hati, aku berterima kasih. Sopir itu telah
menyelamatkanku dari mimpi buruk. Namun, aku justru terbangun dengan rasa cemas
dan was-was. Di dalam mimpiku, seorang pria berwajah temaram telah mati. Meski
tak jelas bagaimana bentuk wajahnya, aku tak ragu kalau pria itu adalah Bapak.
Ah, aku terlalu berhalusinasi. Bapak
yang kukenal adalah seorang pria yang kasar dan penuh tuntutan. Hal itu pula
yang membuatku selalu mengalah dengan pilihan Bapak. Aku jatuh cinta dengan aksara,
Bapak memaksaku untuk masuk ke dunia angka. Meski lulus dengan nilai cumlaude, bahagiaku terasa semu. Aku
mengira cukup sampai di situ bentuk patuhku terhadap tuntutan-tuntutan Bapak. Aku
sudah membayangkan bagaimana rasanya menjadi diri sendiri. Memilih melakukan
banyak hal atas kemauan sendiri. Ternyata aku tak bisa mengambil kesempatan
itu. Bapak menuntutku untuk masuk ke perusahaan yang dipilih Bapak. Entahlah,
pilihan Bapak selalu menjelma sebuah keberuntungan bagiku, sebab sebenarnya aku
tak pernah sepenuh hati melakukan semua keinginan Bapak.
Bapak
selalu memasang wajah garang. Rena bahkan pernah bercerita kalau Bapak dicap
sebagai orang tua paling pongah ketika pengambilan raport di sekolahnya. Aku
sendiri selalu menghindari tatap muka dengan Bapak. Aku tak paham bagaimana
kerasnya hati Ibu menghadapi sikap Bapak yang kaku.
Perasaanku
memanas mengenang hal-hal demikian. Aku masih saja membenci Bapak meski tahu ia
akan mati dalam waktu dekat. Huh!
***
Gerimis
menyambutku seperti pelukan Ibu yang menyejukkan. Rena sudah menunggu di pool travel. Agaknya aku pangling dengan
Rena yang kini meremaja. Menurutku, Rena cantik, hanya saja ia nampak
menanggung beban berat di pikirannya. Lantas membuat wajahnya tak bersinar.
“Kamu
baik-baik saja?” Tanyaku khawatir.
Rena
mengangguk dengan senyum yang menarik lesung pipinya. Lanjutnya, “Ibu minta
dibelikan makan. Katanya, beli pake duit kamu, Mbak. Ada, kan?”
“Ada,”
jawabku sekenanya.
“Maaf,
merepotkanmu.”
Aku
terkesiap mendengar kata ‘maaf’’ dari Rena. Apa yang membuatnya harus melakukan
itu?
“Aku
putus sekolah, Mbak. Bapak dipecat dari kantornya karena kelepasan nggak bisa
kontrol emosi dengan atasannya. Bisnis Ibu bangkrut. Karena itu, akhir-akhir
ini kami suka minta kirim uang padamu,” Rena menceritakan hal-hal menyedihkan
yang sebelumnya tak pernah kuketahui.
Hatiku
amat sesak. Penyesalan selalu melebur tiap kali aku menyadari jalan yang
kutempuh ternyata adalah sebuah kekeliruan. Aku jadi penasaran, apakah jika
dulu aku memilih bertahan sebagai karyawan BUMN, keadaan seperti ini juga
dialami oleh keluargaku? Jika tidak, aku akan mengutuk diriku sendiri.
***
Baru
tiga hari aku kembali merasakan berkumpul dengan keluargaku yang utuh. Meskipun
Bapak belum juga bangun sejak kedatanganku ke rumah. Meskipun beberapa kali
seorang rentenir yang berbeda-beda mengetuk pintu rumah. Aku menikmatinya
dengan dada yang tegar.
Wajah
Bapak sudah jauh berbeda. Tak ada lagi semburat garang menekan wajahnya. Kini,
aku melihat temaram dalam wajah Bapak. Gelap. Tidak bercahaya. Suram. Wajah
yang mengisyaratkan butuh banyak pertolongan meski hanya dengan panjatan
doa-doa. Aku hampir tak mengenali wajah Bapakku sendiri. Sebentar lagi,
waktunya.
Ibu
menangis. Jeritannya mampu mengundang seluruh tetangga di kampungku. Rena
berkali-kali meneriakkan kata Bapak. Aku masih terdiam, di teras rumah.
Membayangkan bagaimana pria berwajah temaram itu andai ia membebaskan
anak-anaknya memilih jalannya sendiri-sendiri sejak awal. Tak akan ada
makian-makian yang menyumpahi segala kehidupannya. Namun, kini terlambat. Aku
dan Rena sudah memaafakan. Barangkali juga Ibu.
Pak, apakah kematian termasuk suatu hal yang kau sesali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar