September 02, 2016

Mencintai Sisa Kebaikanmu

Daun-daun berguguran, tiupan angin membawa mereka berterbangan ke arah yang entah. Aku percaya mereka akan menemukan tempat mereka masing-masing. Tempat terbaik.
 
Begitu juga dengan aku, kamu, dan perasaan-perasaan kita. Tawa - bahagia, menangis – sedih, cinta, dan segalanya yang berkaitan dengan hati. Aku tak tau pasti apakah mereka juga akan menemukan tempat terbaik? Tempat yang akan menyatukan kita. Atau justru mereka akan berakhir di tempat yang tak kita ingin? Memecah, lalu berjauh-jauhan.

Aku selalu mencintaimu, lebih dari perasaan-perasaan yang pernah kamu nyatakan padaku. Aku juga selalu berharap, suatu saat nanti, kamu dan aku menjadi satu, melewati kehidupan bersama tanpa rasa pilu, seperti yang pernah kamu sampaikan juga padaku. Maka dari itu, aku selalu menyematkan namamu dalam setiap doaku, meminta kepada Tuhan untuk menggariskan jodohku hanya denganmu saja.
***
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadamu. Saat semua anak-anak didikmu melempar pertanyaan mengenai sejarah islam atau ketika mereka bertanya tentang bacaan Al-Quran, dan kamu selalu bisa menjawabnya dengan bijak. Aku jatuh cinta padamu. Tapi, apa aku pantas?




Kamu pemuda, menjadi guru mengaji di sekolah sore, membuat adikku pintar beribadah, sedangkan aku hanyalah perempuan badung yang baru saja mengenal penciptaku, pencipta alam semesta ini. Apa aku masih pantas menginginkanmu? Mencintaimu meski hanya dengan diam.
***
Bagaikan bulir bening yang menjatuhkan diri dari dedaunan ke tanah yang retak setiap paginya. Seperti itulah kita. Kamu bagai embun yang selalu membuatku sejuk ketika aku merasa retak lantaran masa laluku yang kelam.

Sekali lagi, apa aku pantas jika menginginkanmu? Sedangkan di luar sana banyak perempuan-perempuan yang jauh lebih baik dariku yang juga menginginkanmu. Apa kamu tak merasa keliru jika kamu pun menginginkanku?
***
Seandainya kita bisa mengalahkan asumsi-asumsi yang kita miliki. Sendainya kamu mampu mengungkapkan perasaanmu tanpa kata ‘tapi’. Seandainya aku berani egois dengan mengabaikan masa laluku dan acuh dengan asumsi yang kamu punya, mungkin kita tak seperti ini. Terjebak dalam ruang yang tak pasti. Keraguan.

Sebelumnya, aku tak pernah membiarkan perasaanku melaju bebas ke hatimu. Karena aku pikir, aku tak pantas jika disandingkan denganmu, laki-laki yang memiliki hati sebening embun, yang parasnya memancarkan sinar.
***
Untuk pertama kalinya kudengar lantunan ayat-ayat azan dari suara yang mampu menghipnotisku. Membuatku bergegas untuk melangkah menuju musala. Entah kenapa hatiku terasa sangat damai. Ada kekuatan magis yang membuatku tertunduk, merenung, dan memikikan hal-hal bodoh yang selama ini aku lakukan.

Aku melangkah menuju musala. Awalnya memang tak berniat untuk  memenuhi panggilan-Nya, hanya saja aku penasaran dengan pemilik suara azan itu.

“Wuoh! Anak ajaib, jam segini udah jalan ke masjid,” canda Sarah – teman baikku di kampung yang sudah lama tak kujumpai.
“Sebenernya, sih, cuma pingin tau pemilik suara azan ini. Dari suaranya sih, kayaknya masih muda, dan aku baru denger. Emang ada warga baru, ya?” tanpa sadar aku membuka aibku sendiri.
“Udah kutebak, kamu itu nggak mungkin nggak ada apa-apa sampai bisa ke musala. Cieee,” ledek Sarah lagi.
“Apaan sih, cia cie cia cie. Biasa aja, kok,” elakku.
“Halah, nggak usah diumpet-umpetin, pipi udah memerah gitu. Suka ya?”
“Emang dia siapa, sih?”
“Ntar sehabis sholat, jangan langsung pulang, kita denger khutbah dulu dari mas yang punya suara azan itu. Oke?” 

Mas? Masih muda berarti. Tebakku dalam hati.
***
Aku bahkan tak berani menatapmu. Aku tertegun berada di jarak sedekat ini denganmu. Entah apa yang terjadi, hatiku mendadak kacau, degub jantungku terdengar berantakan.

“Mas, kenalin, ini Nadia, anak dari Bu Atikah. Dia mau ikut berpartisipasi dalam kepengurusan di majelis kita,” Sarah mengenalkanku dengan pemilik suara azan itu
“Ibnu,” kata pemilik suara azan memperkenalkan dirinya.

Aku mengikuti gerakan telapak tangannya yang mengatup, lalu ditempelkannya di depan dada. Ah, ternyata pemilik suara itu guru mengaji adikku di sekolah sore. Dan konyolnya aku baru saja mengetahui tempat tinggalnya sekarang.

Aku tak pernah tau sejak kapan di kampungku ada kumpulan majelis remaja seperti ini. Tapi yang pasti, kepulanganku ke kampung halaman adalah untuk memperbaiki diri agar aku segera dipertemukan dengan jodohku.
***
Sejak aku masuk dalam majelis remaja, intensitas pertemuanku dengan Ibnu semakin sering. Kami banyak berdiskusi tentang banyak hal. Dari situ aku mengerti kenapa warga kampung mempercayainya. Dia datang membawa berjuta berkah, memberi dampak positif untuk para remaja di kampung ini. Dia mampu menjadikan remaja di kampung menjadi lebih baik, menjadi lebih religius. Jadi, meskipun dia warga baru yang di tinggal di kosan Pak Wahdi, dia dipercaya untuk membentuk majelis remaja.

Banyak diantara remaja-remaja lain yang menjodoh-jodohkanku dengannya. Semakin sering semakin membuat perasaanku menjadi mengembang. Aku tak begitu mengerti kenapa perasaanmu juga demikian. Padahal, kamu tau bagaimana kelamnya masa laluku.

Iya, demi mendekatiku kamu memberanikan diri untuk mencari tahu tentang pribadiku, kehidupanku. Kamu langsung mendatangi sumber yang menjadi kunci kehidupanku. Ibuku. Kamu memohon kepada ibu agar ibu menceritakan apa yang menjadikanku merasa tak pantas jika disandingkan denganmu.
***
“Apa yang membuatmu memilihku untuk kamu jadikan sebagai pendamping hidup?” tanyaku untuk memastikan kalau dia memang benar tau tentang masa laluku. Aku hanya tak ingin itu semua terungkit jika suatu saat nanti ada kesalahanku yang membuat dia marah.

"Aku tidak punya alasan apa pun. Tapi, yang pasti hatiku selalu tertuju padamu. Dan aku percaya, ketika hati sudah mengambil andil, mencoba untuk berbicara, dia tak mungkin salah,” penjelasannya membuatku semakin hanyut pada hati beningnya. Dia berhasil meyakinkanku.


Aku menatap mata ibuku. Ada harap di mata beningnya. Aku tau ibu, beliau hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ibu menyerahkan keputusan sepenuhnya padaku.

Orang tua Ibnu, mereka tak banyak kata, hanya seulas senyum yang tersungging di bibir mereka. Mereka hanya mendukung apa yang menjadi keputusan anaknya untuk memilihku. 

Ya Allah, apa aku pantas menerima ini? Aku gelisah. Aku mencintainya, tapi aku masih terperangkap dalam kotoran-kotoran hidup yang tak pantas ia miliki.
Dia suci, aku kotor. Jika semua ini yang terbaik untukku, izinkan aku menerimanya atas nama-Mu.

Dan pada akhirnya kalimat itu kudengar, “Saya terima nikahnya Nadia Sabila bin Mahmud dengan seperangkat uang tunai tersebut.” Ada haru ketika suara-suara ‘sah’ kudengar dari mereka yang menjadi saksi.
***
Dua hari kita menjalin ikatan suci, ikatan yang di dalamnya terdapat janji Allah. Harusnya aku bisa merasakan kebahagiaan bersamamu. Seutuhnya. Selamanya. Tapi, ketika seorang perempuan datang ke rumah kita dan menggandeng seorang bocah, rasanya aku tak pantas mendapatkan kebahagiaan darimu seterusnya.

Lihatlah, keluarga kecilmu yang tak pernah kutahu. Mereka mencarimu bertahun-tahun, mengharapkan kehadiranmu, pertanggungjawabanmu sebagai nahkoda keluarga.

Jangan kamu tebak, pastilah perasaanku terluka. Apalagi ketika melihat kesedihan ibuku. Hatiku kelu. Rasanya ingin berontak, tak terima dengan kisah yang kamu torehkan di kehidupanku yang mulai membaik. Padahal kamu tahu, butuh waktu yang lama untukku memberanikan diri menjadi seorang istri. Tak singkat untuk memikirkan kelangsungan hidup bersamamu, meskipun pada akhirnya aku bersanding denganmu.

“Apa yang bisa kamu jelaskan pada ibuku?” tanyaku meminta penjelasan. Aku sudah kebal dengan kisah kasih dusta seperti ini. Ditipu, dipermainkan, ditinggalkan. Tapi tidak dengan ibuku.

“Maaf telah berdusta,” jawabnya menunduk. Bocah yang dipangku olehnya mematung, seolah ingin mengerti apa yang sedang terjadi di ruang tamu rumahku ini.
***
Kini aku tau, perasaan-perasaan itu menemukan tempat yang memang bukan untuk kita. Mereka berjauh-jauhan. Tapi, tengoklah pada sisi positif. Kebohongan dan segala tipu dayanya telah mengantarku ke dalam kebaikkan, meskipun lagi-lagi hatiku kembali menjadi kepingan perih.

Dia kembali kepada keluarga kecilnya, satu-satunya keluarga yang masih membutuhkan dan peduli dengannya. Istri ke lima yang menjadi satu-satunya istri sah sebelum aku dan seorang anak perempuan yang memiliki rupa manis dan fisik yang kurus.

Orang tua yang menjadi saksi di lamaran kemarin, kini tak lagi terlihat, aku percaya mereka hanyalah orang-orang sewaan.


KAMUFLASE CERPEN#2
Penerbit   : Pena House
Cetakan I   : Mei 2014
ISBN   : 978-602-70477-4-7

Tidak ada komentar: