Dia berbeda, tak seperti kebanyakan mahasiswi yang kuliah di kampus ini. Ada saat ketika aku harus membunuh semua khayalanku ketika mengistirahatkan badan setelah berlama-lama berkutik dengan alat-alat kebersihan. Sungguh, khayalanku terlalu kurang ajar, mimpiku terlalu tinggi. Aku benci harus mencintai seseorang yang levelnya di atas derajatku.
“Aduh, maaf banget, Mas, nggak sengaja, buru-buru banget ini.” Itu awal aku bertemu dengannya, seorang perempuan berkerudung merah. Sesingkat itu dia meminta maaf, aku belum sempat menjawab apa-apa. Aku melihatnya menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa.
Awalnya aku mengira dia seperti
kebanyakan mahasiswi di sini yang memandangku hanya sebagai seorang office boy di kampus, yang ketika mereka
tidak sengaja atau malah sengaja melakukan kesalahan padaku, mereka hanya akan
berkata ‘sorry’ lalu selesai. Padahal
lebih dari itu, ada kesensitifan sendiri pada diriku, hatiku tersinggung merasa
tidak dihargai.
***
Kantin mulai sesak dengan warga kampus
yang ingin memenuhi kebutuhan perut. Aku tengah makan nasi rames di warung
paling ujung. Kulihat perempuan berkerudung merah yang menabrakku tadi membeli
jus di warung yang sama. Aku hanya meliriknya. Kini dia duduk di kursi
sebelahku yang baru saja kosong. Sambil menunggu jus pesanannya, dia sibuk
dengan gadget-nya.
“Loh, mas yang saya tabrak tadi, ya?
Duh, maaf banget, Mas, tadi langsung nyelonong aja nggak bantuin beresin. Udah
telat tadi, kuliahnya Pak Totok, tau sendiri kan gimana Pak Totok? Jadi, maaf
banget, Mas.” Aku sedikit tersedak dengan nasi yang kukunyah. Sebegitunya dia minta maaf sama seorang OB?
Tak sampai di situ, dia rela ditinggal teman-temannya demi mengobrol denganku. Ah, barangkali aku GR, tapi dia membuat hatiku bergetar. Cara bicaranya seperti sudah mengenalku sejak lama. Aku sampai dibuatnya hanyut. Dia sederhana, apa adanya, dan yang paling penting dia tak malu duduk dan bercengkrama di kantin dengan seorang OB sepertiku.
Tak sampai di situ, dia rela ditinggal teman-temannya demi mengobrol denganku. Ah, barangkali aku GR, tapi dia membuat hatiku bergetar. Cara bicaranya seperti sudah mengenalku sejak lama. Aku sampai dibuatnya hanyut. Dia sederhana, apa adanya, dan yang paling penting dia tak malu duduk dan bercengkrama di kantin dengan seorang OB sepertiku.
***
Hujan telah menyapa langit sore. Di
ruangan khusus untuk para OB, aku menungguinya reda. Tiba-tiba saja aku benci
hujan. Bukan karena membuat jam pulangku mundur, tapi karena sekelibat pertama,
sekelibat kedua, dan sekelibat-sekelibat selanjutnya, hujan membuat sosok
perempuan berkerudung merah yang sudah kuketahui namanya –Rainy- hadir seperti
bom yang siap meledakkan pikiranku. Khayalanku tentangnya terus ada. Tsah!
“Woy!!!” Pak Maman, OB yang baru saja datang untuk shift sore membuyarkan lamunanku.
Lantas tanpa sadar aku memburu Pak Maman dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Rainy. Kumulai dengan bertanya apakah Pak Maman tau dan mengenal seorang Rainy. Aku takjub dengan jawaban Pak Maman.
“Oh, Mbak Rainy? Kenallah.”
Menurut Pak Maman, Rainy adalah satu-satunya mahasiswi yang dia anggap paling beretika, paling mengharagi orang-orang sepertiku dan Pak Maman di kampus ini. Sederhana dan tidak neko-neko. Dia adalah mahasiswi berprestasi. Seringkali almamater kampus terangkat karena namanya yang berhasil membawa pulang banyak penghargaan di berbagai kompetisi nasional yang dia wakili.
Satu kalimat yang sama dari cerita Pak Maman yang kudengar juga dari bibir Rainy. Menurut Rainy, di dunia ini profesi yang harus dihormati adalah seorang guru dan tukang kebersihan. Aku tak ingin tau alasannya, karena pasti dia memiliki alasan yang hebat.
Pak Maman yang telah mengabdi di kampus ini memang lebih tau daripada aku yang baru dua bulan menjadi OB di kampus ini.
“Kenapa? Kamu naksir, ya?” Pertanyaan Pak Maman mebuatku gugup. Detak jantung yang sedari tadi biasa saja dengan kilat berubah menjadi tak karuan. Aku jatuh cinta?
“Apa aku pantas untuk sekedar mengaguminya? Terlebih untuk mencintainya, Pak.” Suaraku meredup, hampir tak terdengar. Aku meragukan diriku sendiri.
“Apa yang membuatmu tak pantas? Sampaikan dulu apa yang kamu rasa.” Usul Pak Maman yang kuanggap hanya asal-asalan menanggapi curhatanku.
***
Pada akhirnya sampailah pada pucuk
rasa. Perasaanku tak dapat dibendung lagi. Meski gugup, meski aku tau jawaban
seperti apa yang akan kuperoleh. Aku memberanikan diri untuk mengatakan apa
yang kurasakan kepada Rainy setelah berminggu-minggu rasa itu bersarang di
hatiku.
“.... Maaf, lancang mengatakan semua ini,” hanya kalimat itu yang terakhir kuucap. Rainy tersenyum. Senyum yang manis. Aku tak berani berlama-lama menatapnya.
“.... Maaf, lancang mengatakan semua ini,” hanya kalimat itu yang terakhir kuucap. Rainy tersenyum. Senyum yang manis. Aku tak berani berlama-lama menatapnya.
“Mas, jangan merasa rendah di hadapan manusia. Kita semua sama di mata Allah. Ini bukan perihal siapa yang pantas atau tidak untuk mencintai. Tapi, ini masalah hati. Biarlah hati yang menjawab.”
Hening. Aku masih terdiam. Menunduk. “Kamu orang hebat, Mas, pasti Allah akan mempertemukan Mas dengan perempuan hebat juga. Tapi, itu bukan aku.” Lanjutnya sambil memperlihatkan jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin emas.
Itu sudah cukup menjawab. Tak terasa ada yang menetes dari sudut mataku. Bukan karena kecewa, tapi aku terharu, baru kali ini aku merasa jadi orang berharga hanya karena seseorang mengatakan aku hebat. Terima kasih, Rainy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar