Mei 28, 2015

Happy Wedding


Sebelumnya aku tak pernah percaya dengan istilah “Love is Blind”. Ya, bagiku cinta itu tidak buta, dia tak sembarangan menentukan hati. Dia melihat siapa yang dicintainya. Sangat pemilih. Tapi, semua ketidakpercayaanku itu sirna ketika tiba-tiba aku merasakan hatiku berdegub tak karuan.
 
“Itu tadi siapa, Ay?” Aku menanyakan seorang laki-laki buncit yang berambut keriting dengan body putih bersih kepada Ayu, teman kuliahku.
“Bapak kos,” jawab Ayu singkat. Dia masih sibuk membereskan kamar kosnya yang telah ditinggal pulang kampung selama tiga hari.
“Ganteng ya,” kataku sembari memandangi Bapak kos yang tengah mencuci motornya dari balik jendela kamar Ayu. 

Ayu buru-buru menghentikan kesibukannya. Dia menarik daguku dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. Mimik muka Ayu seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. 

“Ganteng? Wah, sejak kapan lo bisa senormal ini lihat cowok?”
“Apaan sih?”
“Lo nggak pernah nilai cowok sebelumnya, dan ini lo bilang bapak kos gue ganteng? Duh, moga lo lagi nggak sadar deh.” Sepertinya Ayu khawatir kalau aku bakal jatuh cinta pada bapak kosnya.
***
Siang-malam, pagi-sore, dan perputaran-perputaran waktu yang mulai membuatku sedikit gila. Otakku penuh dengan bayang-bayang senyum Bapak kos yang kuketahui bernama Indra. Ini juga yang membuatku bertingkah konyol.

Ayu membuka pintu kamarnya, “Gue nginep sini 2 malam, ya?” pintaku.

“Ha?! Ngapain coba?” Ayu terheran-heran. Pasalnya aku tak pernah mau kalau Ayu memintaku untuk menginap. Bukan karena apa, orangtuaku tak pernah mengizinkan. Tapi untuk kali ini segala alasan telah kubuat untuk mendapat izin agar bisa menginap di kosan Ayu.

“Hmm, pingin aja. Kenapa? Nggak boleh?” kataku sambil memasukkan baju-baju yang kubawa ke dalam almari Ayu.

Ayu bengong, tapi akhirnya dia mulai mengerti. Mengerti kenapa aku bertingkah demikian.
“Info buat lo aja nih, Pak Indra  tuh duda anak satu loh.”

“Terus...?” Aku pura-pura tak mengerti dengan info yang disampaikan Ayu. Lebih tepatnya, aku tak mau peduli. Aku hanya tak ingin perasaan yang kusebut jatuh cinta pada pandangan pertama ini rusak karena info-info yang harusnya tak perlu kupusingkan.

“Ya, nggak terus-terus, sih. Hmm, terserah lo deh, ya. Tapi, kalo iya lo mau ngejar cinta Pak Indra, seorang Bapak kos berstatus duda itu, lo harus berani saingan sama Mbak Aura, noh kamar ujung deket pintu masuk ke dapur Pak Indra.” 

“Serius lo? Ada yang suka juga selain gue?”
***
Waktu kurangkum dengan sangat indah. Setiap pagi semangatku meluber dengan sendirinya. Semangat yang berlebihan, karena sejak satu minggu kemarin aku berhasil tegur sapa dengan Pak Indra. Siang-malam, pagi-sore, setiap hari. Aku memutuskan untuk menjadi anak kos. Satu kamar berhadapan dengan kamar Mbak Aura. Ah, dia selalu membuatku cemburu.

Ayu geleng-geleng dengan keputusanku. Pasalnya jarak rumahku dengan kos sebenarnya tak jauh. Hanya saja demi cintaku, aku rela melakukan apa pun untuk mendapatkan Pak Indra. Alasan dengan orang tua, itu sudah beres.

Krek!!! Daun pintuku terbuka bersamaan dengan daun pintu kamar Mbak Aura. Dan dengan nada yang sama, kalimat yang sama, juga sapaan yang sama terucap begitu saja.

“Selamat pagi, Pak Indra.” Salamku berbarengan dengan salam Mbak Aura. Pak Indra baru saja akan mengegas kendaraannya. Kemudian menoleh diikuti juga dengan tolehan Dion, anaknya yang sudah siap diantar ke sekolah.

“Pagi, Dion. Mau berangkat sekolah, ya? Ini Mbak bawain cokelat buat kamu. Dimakan waktu istirahat, ya.” Dion terlihat sumringah dengan sebatang cokelat pemberianku. Sepertinya aku berhasil menarik perhatian Pak Indra. Tapi, sedetik kemudian aku ragu, Mbak Aura ternyata sudah menyiapkan strategi untuk bersaing denganku. Dia lebih lihai bagaimana cara menarik perhatian Pak Indra.

“Pak, ini ada sedikit kue untuk sarapan,” Mbak Aura menyerahkan dua potong kue lapis berselai stroberi kepada Pak Indra. “Dion, belajar yang rajin, ya, biar besok jadi orang yang sukses kayak Papa kamu,” tambahnya dengan mengelus kepala Dion.

Ah, gue kalah telak!
***
Aku memasuki kamar Ayu. Tengah malam begini hanya kamar dia yang masih terang benderang. Kucurahkan segala gelisah yang melilit hatiku.
“Kok belum tidur, sih? Dari mana?” tanya Ayu yang fokus dengan layar leppy-nya.

“Hmm, gue habis naruh sesuatu di pintu dapur Pak Indra.”

“Apaan? Lo nggak ngirim bom, kan? Waduh, gila lo, Nad!” Ayu mendadak mondar-mandir nggak jelas. Dia panik.

“Apa sih! Santai, woy. Gue cuma naruh bingkisan, isinya kemeja. Pasti tambah keren deh kalau Pak Indra yang makai. Coba kalau gue jadi is...,”

"Nggak usah berkhayal! Kayaknya, Pak Indra itu masih sayang banget sama almarhum istrinya. Tapi, nggak tau juga ya kalau dia nyari pendamping lagi. Yang pasti, kalaupun Pak Indra nyari pendamping lagi, itu bukan lo,” terang Ayu.  Aku menepuk pundak Ayu dengan keras. Tak terima dengan ucapannya. “Dibandingin lo, Mbak Aura itu lebih pantes, dia keibuan, nggak kayak lo. Labil!” lanjut Ayu.

"Jahat lo jadi temen!” Aku keluar dari kamar Ayu. “Ini baru awal, gue nggak bakal nyerah!” tambahku sedikit menekan.

Ah, curhat sama Ayu bikin tambah gelisah!
***
Sore ini semua anak kos dikumpulkan di ruang tamu oleh Pak Indra. Tak biasanya Pak Indra mengadakan perkumpulan seperti ini. Ada Mbak Aura yang duduk tepat di samping Pak Indra. Aku kepanasan, rasanya ingin keluar dari ruang ini. Tapi Ayu mencegahku, juga dengan rasa penasaranku akan hal yang disampaikan oleh Pak Indra. Aku bertahan dengan hati yang kepanasan.

“... Jadi, intinya Pak Indra minta tolong sama kalian semua buat hadir di acara pernikahan Pak Indra minggu depan. Pak Indra sangat berterima kasih kalau kalian bisa hadir,” mataku mendelik. Hatiku kacau sekacau-kacaunya. Ini menyakitkan mengingat pengorbananku untuk mendapatkan Pak Indra tak ada artinya.

Aku melirik Mbak Aura, dia terlihat lemas, sedetik kemudian dia pingsan. Pak Indra kebingungan, semua anak kos mencoba menyadarkan Mbak Aura. Ternyata ada dua hati yang terluka, hatiku juga hati Mbak Aura.
***
“Gue nggak pernah tau kalau Pak Indra punya calon istri. Padahal, selama ini gue nolak banyak laki-laki cuma buat Pak Indra,” curahan hati Mbak Aura kudengar sangat berat.

“Kita sama-sama terluka, Mbak. Yeah, mungkin emang jalan kita kayak begini. Bolehlah kita memilih jodoh, tapi pada akhirnya Tuhan juga yang akan mefinalkan.” Aku mencoba menenagkan Mbak Aura juga dengan diriku sendiri.

Ayu hanya cengar-cengir di ambang pintu kamar kos Mbak Aura. Dia menertawai kekonyolanku selama ini. Jangankan Ayu, aku sendiri merasa sangat bodoh. Mengejar cinta duda dan berakhir sebagai tamu undangan di pernikahannya nanti.

Pada akhirnya aku hanya bisa mengucapkan, “Happy wedding, Pak Indra.”


MENGEJAR SANG LANGIT
Penerbit   : Pena House
Cetakan    : Mei 2015
ISBN         : 978-602-0937-97-7



Tidak ada komentar: