Sebelumnya aku
tak pernah percaya dengan istilah “Love is Blind”. Ya, bagiku cinta itu
tidak buta, dia tak sembarangan menentukan hati. Dia melihat siapa yang
dicintainya. Sangat pemilih. Tapi, semua ketidakpercayaanku itu sirna ketika
tiba-tiba aku merasakan hatiku berdegub tak karuan.
“Itu tadi
siapa, Ay?” Aku menanyakan seorang laki-laki buncit yang berambut keriting
dengan body putih bersih kepada Ayu, teman kuliahku.
“Bapak kos,”
jawab Ayu singkat. Dia masih sibuk membereskan kamar kosnya yang telah
ditinggal pulang kampung selama tiga hari.
“Ganteng ya,”
kataku sembari memandangi Bapak kos yang tengah mencuci motornya dari balik
jendela kamar Ayu.
Ayu buru-buru
menghentikan kesibukannya. Dia menarik daguku dan mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Mimik muka Ayu seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
“Ganteng? Wah, sejak kapan lo bisa senormal ini lihat cowok?”
“Apaan sih?”
“Lo nggak
pernah nilai cowok sebelumnya, dan ini lo bilang bapak kos gue ganteng? Duh,
moga lo lagi nggak sadar deh.” Sepertinya Ayu khawatir kalau aku bakal jatuh
cinta pada bapak kosnya.
***
Siang-malam,
pagi-sore, dan perputaran-perputaran waktu yang mulai membuatku sedikit gila.
Otakku penuh dengan bayang-bayang senyum Bapak kos yang kuketahui bernama
Indra. Ini juga yang membuatku bertingkah konyol.
Ayu membuka
pintu kamarnya, “Gue nginep sini 2 malam, ya?” pintaku.
“Ha?! Ngapain
coba?” Ayu terheran-heran. Pasalnya aku tak pernah mau kalau Ayu memintaku untuk
menginap. Bukan karena apa, orangtuaku tak pernah mengizinkan. Tapi untuk kali
ini segala alasan telah kubuat untuk mendapat izin agar bisa menginap di kosan
Ayu.
“Hmm, pingin
aja. Kenapa? Nggak boleh?” kataku sambil memasukkan baju-baju yang kubawa ke
dalam almari Ayu.
Ayu bengong,
tapi akhirnya dia mulai mengerti. Mengerti kenapa aku bertingkah demikian.
“Info buat lo
aja nih, Pak Indra tuh duda anak satu loh.”
“Terus...?” Aku
pura-pura tak mengerti dengan info yang disampaikan Ayu. Lebih tepatnya, aku
tak mau peduli. Aku hanya tak ingin perasaan yang kusebut jatuh cinta pada
pandangan pertama ini rusak karena info-info yang harusnya tak perlu
kupusingkan.
“Ya, nggak
terus-terus, sih. Hmm, terserah lo deh, ya. Tapi, kalo iya lo mau ngejar cinta Pak
Indra, seorang Bapak kos berstatus duda itu, lo harus berani saingan sama Mbak
Aura, noh kamar ujung deket pintu masuk ke dapur Pak Indra.”
“Serius lo? Ada
yang suka juga selain gue?”
***
Waktu kurangkum
dengan sangat indah. Setiap pagi semangatku meluber dengan sendirinya. Semangat
yang berlebihan, karena sejak satu minggu kemarin aku berhasil tegur sapa
dengan Pak Indra. Siang-malam, pagi-sore, setiap hari. Aku memutuskan untuk
menjadi anak kos. Satu kamar berhadapan dengan kamar Mbak Aura. Ah, dia selalu
membuatku cemburu.
Ayu
geleng-geleng dengan keputusanku. Pasalnya jarak rumahku dengan kos sebenarnya
tak jauh. Hanya saja demi cintaku, aku rela melakukan apa pun untuk mendapatkan
Pak Indra. Alasan dengan orang tua, itu sudah beres.
Krek!!! Daun pintuku terbuka bersamaan dengan daun pintu kamar
Mbak Aura. Dan dengan nada yang sama, kalimat yang sama, juga sapaan yang sama
terucap begitu saja.
“Selamat pagi,
Pak Indra.” Salamku berbarengan dengan salam Mbak Aura. Pak Indra baru saja
akan mengegas kendaraannya. Kemudian menoleh diikuti juga dengan tolehan Dion,
anaknya yang sudah siap diantar ke sekolah.
“Pagi, Dion.
Mau berangkat sekolah, ya? Ini Mbak bawain cokelat buat kamu. Dimakan waktu
istirahat, ya.” Dion terlihat sumringah dengan sebatang cokelat pemberianku.
Sepertinya aku berhasil menarik perhatian Pak Indra. Tapi, sedetik kemudian aku
ragu, Mbak Aura ternyata sudah menyiapkan strategi untuk bersaing denganku. Dia
lebih lihai bagaimana cara menarik perhatian Pak Indra.
“Pak, ini ada
sedikit kue untuk sarapan,” Mbak Aura menyerahkan dua potong kue lapis berselai
stroberi kepada Pak Indra. “Dion, belajar yang rajin, ya, biar besok jadi orang
yang sukses kayak Papa kamu,” tambahnya dengan mengelus kepala Dion.
Ah, gue kalah
telak!
***
Aku memasuki
kamar Ayu. Tengah malam begini hanya kamar dia yang masih terang benderang.
Kucurahkan segala gelisah yang melilit hatiku.
“Kok belum
tidur, sih? Dari mana?” tanya Ayu yang fokus dengan layar leppy-nya.
“Hmm, gue habis
naruh sesuatu di pintu dapur Pak Indra.”
“Apaan? Lo
nggak ngirim bom, kan? Waduh, gila lo, Nad!” Ayu mendadak mondar-mandir nggak
jelas. Dia panik.
“Apa sih!
Santai, woy. Gue cuma naruh bingkisan, isinya kemeja. Pasti tambah keren deh kalau
Pak Indra yang makai. Coba kalau gue jadi is...,”
"Nggak
usah berkhayal! Kayaknya, Pak Indra itu masih sayang banget sama almarhum
istrinya. Tapi, nggak tau juga ya kalau dia nyari pendamping lagi. Yang pasti,
kalaupun Pak Indra nyari pendamping lagi, itu bukan lo,” terang Ayu. Aku
menepuk pundak Ayu dengan keras. Tak terima dengan ucapannya. “Dibandingin lo,
Mbak Aura itu lebih pantes, dia keibuan, nggak kayak lo. Labil!” lanjut Ayu.
"Jahat lo
jadi temen!” Aku keluar dari kamar Ayu. “Ini baru awal, gue nggak bakal
nyerah!” tambahku sedikit menekan.
Ah, curhat sama
Ayu bikin tambah gelisah!
***
Sore ini semua
anak kos dikumpulkan di ruang tamu oleh Pak Indra. Tak biasanya Pak Indra
mengadakan perkumpulan seperti ini. Ada Mbak Aura yang duduk tepat di samping
Pak Indra. Aku kepanasan, rasanya ingin keluar dari ruang ini. Tapi Ayu
mencegahku, juga dengan rasa penasaranku akan hal yang disampaikan oleh Pak
Indra. Aku bertahan dengan hati yang kepanasan.
“... Jadi,
intinya Pak Indra minta tolong sama kalian semua buat hadir di acara pernikahan
Pak Indra minggu depan. Pak Indra sangat berterima kasih kalau kalian bisa
hadir,” mataku mendelik. Hatiku kacau sekacau-kacaunya. Ini menyakitkan
mengingat pengorbananku untuk mendapatkan Pak Indra tak ada artinya.
Aku melirik
Mbak Aura, dia terlihat lemas, sedetik kemudian dia pingsan. Pak Indra
kebingungan, semua anak kos mencoba menyadarkan Mbak Aura. Ternyata ada dua
hati yang terluka, hatiku juga hati Mbak Aura.
***
“Gue nggak
pernah tau kalau Pak Indra punya calon istri. Padahal, selama ini gue nolak
banyak laki-laki cuma buat Pak Indra,” curahan hati Mbak Aura kudengar sangat
berat.
“Kita sama-sama
terluka, Mbak. Yeah, mungkin emang jalan kita kayak begini. Bolehlah kita memilih
jodoh, tapi pada akhirnya Tuhan juga yang akan mefinalkan.” Aku mencoba
menenagkan Mbak Aura juga dengan diriku sendiri.
Ayu hanya
cengar-cengir di ambang pintu kamar kos Mbak Aura. Dia menertawai kekonyolanku
selama ini. Jangankan Ayu, aku sendiri merasa sangat bodoh. Mengejar cinta duda
dan berakhir sebagai tamu undangan di pernikahannya nanti.
Pada akhirnya
aku hanya bisa mengucapkan, “Happy wedding, Pak Indra.”
MENGEJAR
SANG LANGIT
Penerbit : Pena House
Cetakan : Mei 2015
ISBN : 978-602-0937-97-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar