Tak ada yang bisa Farisya lakukan selain
merapalkan doa-doa setiap detiknya.
Berkali-kali. Berhari-hari. Setiap waktu hingga Allah merasa bosan
mendengar permintaannya, dengan begitu Dia akan mengabulkan semua doa Farisya. Seandainya
diminta untuk memilih hidup atau mati, Farisya akan memilih untuk mati atau
kalau ada pilihan lain, dia akan memilih untuk tidak dilahirkan. Sebab baginya,
dihadirkan di dunia hanya untuk menyaksikan kesedihan Ibunya dan menjadi
pribadi yang tak berguna adalah hal buruk. Tapi, bukankah hidup memang perihal
menerima? Dan meminta adalah satu-satunya cara Farisya untuk menolak
kesengsaraan hidup. Dia percaya akan keajaiban Sang Ilahi.
***
Senja
yang lara. Kepedihan terlukis pada hati yang terluka oleh hidup yang lunta.
Sebentar lagi azan Maghrib terdengar. Pada waktu seperti ini Farisya mengalami
ketakutan yang luar biasa. Dia tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di
luar kamarnya. Sebagian tubuhnya yang lumpuh akibat kecelakaan memaksanya agar
tetap berbaring. Tak bisa kemana-mana kecuali kalau Ibunya membawa Farisya
keluar.
Kerapkali
Farisya berontak karena merasa terkekang oleh Ibunya. Pikiran-pikiran negatif
seperti ibunya yang malu karena memiliki anak yang lumpuh sepertinya membuat
Farisya begitu sedih. Berbeda dengan Ibunya, dia memiliki alasan kuat mengapa
tak selalu mengizinkan Farisya keluar, sebab di luar sana ocehan para tetangga
akan membuatnya lebih sakit dan sedih. Ibu Farisya terperangkap oleh keadaan
yang ambigu.
Untuk
kesekian kalinya azan Maghrib mengudara. Seseorang mengetuk daun pintu rumah
Farisya. Pria yang berbeda dari hari-hari sebelumnya telah datang, pria yang
mengaku sebagai teman Bapak. Kedatangannya membuat Farisya tak bisa mendengarkan
indahnya suara Ibu melantunkan ayat-ayat Al Qur’an karena harus menjamu tamu.
“Mas
Didi sedang keluar, Mas,” terang Ibu kepada tamu bapak.
“Oh,
tak apa, Mbak. Mas Didi memang menyuruh saya ke sini untuk bertemu dengan Mbak
Maisya.”
“Tapi,
maaf, Mas Didi tak berpesan apa-apa. Silakan duduk dulu, Mas.” Ibu Farisya bimbang.
Mempersilakan pria lain kala Maghrib untuk duduk di ruang tamu dengan keadaan
rumah yang tanpa suami atau membiarkannya menunggu di luar? Perasaannya tak
nyaman, risih karena tetangga yang lewat akan berpikiran negatif. Ibu Farisya
tau betul orang-orang di kampungnya. Kalau tidak dipersilakan, dengan cara
seperti apa Ibu menghormati tamu?
Ibu
masuk ke dalam kamar untuk melepas mukena dan menggantinya dengan jilbab yang
menjuntai sampai ke dada. Dibuatkannya secangkir kopi untuk teman bapak. Ibu
mendengar pria itu berbincang melalui ponsel. Suaranya keras. Lantang. Penuh
emosi. Lalu sunyi. Pria itu sudah tak ada di ruang tamu ketika Ibu Farisya kembali
keluar.
***
Plak!!!
Suara
itu mantap terdengar oleh Farisya. Hatinya tersentak. Suara tamparan yang lebih
keras dari biasanya. Dia melihat wajah Bapaknya begitu marah ketika melewati
kamarnya. Sekuat tenaga dia ingin keluar untuk mengetahui apa yang tengah
terjadi. Tapi yang ada justru suara paraunya yang keluar hingga membuat
Bapaknya semakin murka.
Ibu
Farisya menghapus air matanya. Menahan isak tangisnya. Mencoba terlihat tegar.
Ah, Ibu! Farisya tau Ibu sama rapuhnya seperti Farisya, bedanya hanya Ibu mampu
menguatkan Farisya sedangkan Farisya tidak. Seandainya Farisya memiliki tubuh
yang kembali normal, dia tak akan hanya diam melihat Ibu diperlakukan sebegitu
hinanya oleh Bapak. Air mata yang bisa saja membanjiri seisi kamar Farisya juga
tak mampu mengubah apa pun.
“Berisik
kamu! Bisa diam tidak, ha?!” amuk Bapak yang masih bisa menguasai tangannya
agar tidak memukul Farisya. Kemudian Bapak keluar dan akan kembali dengan hal
remeh temeh untuk dijadikan masalah. Selalu begitu.
Didekaplah
tubuh Farisya oleh Ibu. Tangan lembutnya membelai kepala Farisya untuk sekedar
menenangkannya dan memastikan semua akan baik-baik saja. Ya, begitulah Ibu Farisya,
menganggap semua kejadian akan tetap baik-baik saja, sebab dia percaya, apa pun
yang dipasrahkan kepada Allah, Allah akan membantu.
***
Di
sepertiga malam Ibu Farisya merintih. Dia tengah bersujud mengadu kepada Sang
Ilahi. Bapak Farisya sedang tak ada di rumah. Memang jarang di rumah. Air mata
Ibu tumpah ruah ke tangan yang ditengadahkannya. Meminta dan terus meminta. Kuatkan aku dan matikan kesedihanku, Ya
Allah. Lirihnya.
Farisya
merengek. Itu pertanda dia membutuhkan Ibu. Seketika itu Ibunya segera datang ke
kamar Farisya. Dipeluknya Ibu dengan erat, seperti ada penekanan dalam pelukan
Farisya yang berarti lelah. Farisya tau betul bagaimana remuknya hati Ibu.
Berita tentang keluarga Farisya yang dia dengar dari gosipan ibu-ibu di kampungnya
membuat Farisya ingin membunuh semua teman bapak yang pernah datang. Bahkan,
kalau tak berlaku dosa dan dia mampu, Farisya ingin dari semua pria itu Bapak
menjadi pertama yang dia bunuh.
“Kasian
ya, Mbak Maisya. Dijual ke pria lain oleh suaminya sendiri.”
Farisya
hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya ketika menikmati udara sore di
teras rumah. Ibu-ibu yang berkumpul di samping rumahnya dengan ringan membicarakan
keluarganya. Tak ingin kalap dengan berita yang didapatnya, Farisya meminta
lebih keras kepada Allah untuk diberi pentunjuk agar mengetahui pasti kebenarannya.
Segerakan keajaibanmu, Ya Rabb...
***
Diam-diam
ada yang menghancurkan hati Farisya. Jaraknya dengan Sang Ilahi terukur jauh. Farisya
merasa Allah memberikan cobaan diluar kemampuannya. Dia membenci bapaknya,
membenci hidupnya, juga membenci dirinya sendiri. Farisya gagal membesarkan
hatinya. Kalut. Hidup terlalu kejam untuk Ibunya yang baik hati.
“Apa
pun yang Bapak lakukan terhadap Ibu, kamu tak boleh membencinya, Nak.” Farisya
tak suka Ibu membela Bapak yang jelas-jelas melakukan kesalahan besar. Sangat
buruk!
“Farisya
tak mau membebani Ibu. Anak mana yang tega ketika mengetahui ibunya dijual oleh
bapaknya sendiri dengan alasan untuk melunasi hutang? Sedangkan Ibu tau
sendiri, hutang bapak larinya tak pernah untuk keluarga kita, Bu. Bapak
memakainya untuk membeli barang-barang mewah yang sebenarnya tak perlu.” Farisya
sekuat tenaga melembutkan suaranya. Menahan amarahnya terhadap diri sendiri
karena merasa tak bisa berbuat banyak.
Ibu
Farisya terdiam, seperti membenarkan ucapan Fariysa. Di mata Ibu, Farisya menemukan
pancaran cahaya yang redup. Hati Farisya tak karuan merasakan kegelisahannya.
Seketika membenci Allah, selebihnya sangat membutuhkan bantuan Allah. Saat
itulah kekuatan Farisya untuk berdoa semakin besar, sehingga dia tak terlalu
jauh membenci Sang Pencipta.
***
Sayup-sayup
terdengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an pada derasnya hujan di luar sana.
Betapa tenangnya hati Farisya setelah berjamaah dengan Ibunya. Memohon ampun
kepada Allah, saling melengkapi doa, kemudian memasrahkan segalanya yang terjadi.
Brak!!!
Pintu
rumah Farisya terbuka lebar setelah bunyi keras itu terdengar. Bapak Farisya
dengan keadaan mabuk menyeret Ibu agar segera keluar. Di ruang tamu telah duduk
dua pria yang kemarin-kemarin bertandang ke rumah.
“Istri
tak tau diri! Keluar, temui teman-temanku!” Bapak Farisya meneriaki Ibu sambil
memaksanya keluar ke ruang tamu. Ibu Farisya tak berdaya, dia pasrah dengan apa
yang akan dilakukan kedua teman suaminya.
Teman-teman
Bapak yang kemarin datang ternyata tak mendapatkan apa yang telah disepakati.
Beberapa dari mereka tak tega dengan Ibu karena dijual sendiri oleh Bapak.
Sebagian lagi kalah karena Ibu berhasil berontak. Sisanya masih mengejar-ngejar
Bapak untuk menagih.
“Tiga
ratus ribu buat melunasi hutangku kemarin,” kata Bapak dengan mendorong tubuh
Ibu kepada temannya.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar. Keras-keras
Farisya menyebut asma Allah. Suaranya tak kalah dengan derasnya air hujan.
Kepercayaan Farisya tentang datangnya keajaiban menjadi nyata. Kali ini Allah mengabulkan
doanya. Kekuatan doa dari Farisya dan Ibunya.
Sebagian
tubuh Farisya yang lumpuh bisa digerakkan kembali. Farisya memukul teman
bapaknya dengan alat keras didekatnya. Menarik Ibunya dan memeluknya dalam
ketakutan. Bapak hampir saja menghantam wajah Farisya dengan kepalan tangannya
kalau saja teman bapak Farisya yang satunya tak menahan. Terjadilah baku hantam
bapak dengan temannya.
Maha Segalanya Allah. Mampu membolak-balikkan
hati orang dengan seketika. Mengubah orang jahat menjadi baik seketika. Kini,
teman Bapak justru meminta maaf kepada Farisya dan ibunya. Menaruh simpatik
kepada mereka.
***
Mentari
pagi mengiri langkah Farisya menuju sekolah. Sudah dua minggu ini dia kembali
ke sekolah setelah beberapa bulan vakum mengajar. Ada banyak syukur karena
Farisya bisa beraktifitas seperti sedia kala, bertemu dengan murid-muridnya di
Sekolah Menengah Pertama. Dan ketakutan-ketakutan yang menyergapnya di setiap
azan Maghrib kini tak lagi ditemuinya.
Hanya
saja ada yang kurang dari keluarga kecilnya. Bapak tak juga kelihatan batang
hidungnya. Bagi Farisya itu hal yang tak terlalu penting. Ada atau tak ada
Bapak di rumah itu bukanlah masalah. Tapi, bagi Ibunya justru itu adalah hal
penting yang memaksa untuk dipikirkan.
“Bapak
kemana ya, Sya. Sudah dua minggu nggak pulang kerumah. Ibu khawatir terjadi
apa-apa sama Bapakmu.” Farisya tak mengerti mengapa Ibunya masih mengharapkan
Bapak pulang kerumah setelah perlakuan Bapak terhadap Ibu yang begitu keji.
Farisya hening, tak menanggapi omongan Ibunya. Mata Farisya menatap ibunya, mengharapkan
ada penjelasan sebagai alasan.
“Sya,
Ibu tau kamu masih marah dengan Bapakmu. Kamu pasti bertanya kenapa ibu masih
mau menunggu Bapak pulang?”
“Bukan,
Bu. Farisya ingin tau kenapa Ibu mampu bertahan dengan kezaliman Bapak terhadap
Ibu. Farisya tak pernah melihat Ibu bersedih, tapi bisa merasakan bagaimana
pedihnya hati ibu.”
“La
Tahzan. Jangan bersedih. Ingat Farisya, seberat apa pun beban hidup yang kita
hadapi, sesungguhnya Allah sedang menunjukkan cinta-Nya kepada kita.”
“Farisya
tau, tapi sampai kapan? Farisya sudah tidak sanggup.”
“Begini,
kalau pun tidak sanggup, bersedihlah untuk sedetik saja, setelah itu jadilah
orang paling bahagia selamanya. Larut dalam kesedihan ketika menghadapi cobaan
dari Allah, itu tidak mengubah apa pun, Sayang, kecuali kalau ingin memperkeruh
keadaan.”
“Ibu
tak ingin meninggalkan Bapak?” selidik Farisya. Di umur Farisya yang sudah
berkepala dua, ada kekhawatiran tentang masa depannya kelak. Takut jikalau
mendapatkan pasangan seperti Bapaknya. Tapi, ibu masih mempertahankan.
“Kamu
pasti tau alasan Ibu, Farisya. Menjadi seorang istri yang sholehah itu tidak
mudah, Nak. Kamu harus bisa menjaga aib suamimu nanti. Yang membuat ibu
bertahan adalah kamu. Ibu tak pernah terlihat sedih karena kamu. Dan itu tak
akan bertahan kalau tak ada campur tangan Tuhan.”
***
Menyantap
kesedihan berkali-kali hingga jatah kesedihan Farisya dan ibunya habis. Kala
azan Maghrib kembali berkumandang, mengudara ke rongga-rongga kehidupan. Sosok
pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah Farisya. Ibu Farisya bergegas
membukakan pintu. Terkesiap ketika mendapati sosok pria yang belakangan telah
ditunggu kehadirannya.
Pria
itu memohon ampun. Air mata yang terlalu mahal untuk dikeluarkan oleh sosok
pria itu telah meluap dengan sendirinya. Berulang kali mengutuk dirinya
sendiri, mencaci tingkah lakunya sendiri selama ini.
“Tenanglah.
Kamu tak perlu mohon ampun padaku, Mas Didi. Allah akan lebih senang kalau kamu
bersujud di hadapanNya.” Ibu Farisya membawa suaminya masuk untuk berjamaah
Maghrib bersama.
Entah
apa yang menyihir hati Farisya. Dia luluh. Tak ada dendam yang digenggam, tak
ada benci karena tersakiti. Semua telah sirna. Berakhir dengan sendirinya.
Kekuatan Ibu membuat Farisya mengerti bahwa kesedihan jangan dibiarkan lama bersemayam, sebab menjadi
bahagia akan mempermudah segalanya.
Penerbit : Kinomedia
Cetakan I : Agustus 2015
ISBN : 978-602-0859-11-8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar