Agustus 22, 2015

Kala Azan Maghrib Berkumandang



Tak ada yang bisa Farisya lakukan selain merapalkan doa-doa setiap detiknya.  Berkali-kali. Berhari-hari. Setiap waktu hingga Allah merasa bosan mendengar permintaannya, dengan begitu Dia akan mengabulkan semua doa Farisya. Seandainya diminta untuk memilih hidup atau mati, Farisya akan memilih untuk mati atau kalau ada pilihan lain, dia akan memilih untuk tidak dilahirkan. Sebab baginya, dihadirkan di dunia hanya untuk menyaksikan kesedihan Ibunya dan menjadi pribadi yang tak berguna adalah hal buruk. Tapi, bukankah hidup memang perihal menerima? Dan meminta adalah satu-satunya cara Farisya untuk menolak kesengsaraan hidup. Dia percaya akan keajaiban Sang Ilahi.
***
Senja yang lara. Kepedihan terlukis pada hati yang terluka oleh hidup yang lunta. Sebentar lagi azan Maghrib terdengar. Pada waktu seperti ini Farisya mengalami ketakutan yang luar biasa. Dia tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar kamarnya. Sebagian tubuhnya yang lumpuh akibat kecelakaan memaksanya agar tetap berbaring. Tak bisa kemana-mana kecuali kalau Ibunya membawa Farisya keluar.


Kerapkali Farisya berontak karena merasa terkekang oleh Ibunya. Pikiran-pikiran negatif seperti ibunya yang malu karena memiliki anak yang lumpuh sepertinya membuat Farisya begitu sedih. Berbeda dengan Ibunya, dia memiliki alasan kuat mengapa tak selalu mengizinkan Farisya keluar, sebab di luar sana ocehan para tetangga akan membuatnya lebih sakit dan sedih. Ibu Farisya terperangkap oleh keadaan yang ambigu.

Untuk kesekian kalinya azan Maghrib mengudara. Seseorang mengetuk daun pintu rumah Farisya. Pria yang berbeda dari hari-hari sebelumnya telah datang, pria yang mengaku sebagai teman Bapak. Kedatangannya membuat Farisya tak bisa mendengarkan indahnya suara Ibu melantunkan ayat-ayat Al Qur’an karena harus menjamu tamu.
“Mas Didi sedang keluar, Mas,” terang Ibu kepada tamu bapak.
“Oh, tak apa, Mbak. Mas Didi memang menyuruh saya ke sini untuk bertemu dengan Mbak Maisya.”
“Tapi, maaf, Mas Didi tak berpesan apa-apa. Silakan duduk dulu, Mas.” Ibu Farisya bimbang. Mempersilakan pria lain kala Maghrib untuk duduk di ruang tamu dengan keadaan rumah yang tanpa suami atau membiarkannya menunggu di luar? Perasaannya tak nyaman, risih karena tetangga yang lewat akan berpikiran negatif. Ibu Farisya tau betul orang-orang di kampungnya. Kalau tidak dipersilakan, dengan cara seperti apa Ibu menghormati tamu?

Ibu masuk ke dalam kamar untuk melepas mukena dan menggantinya dengan jilbab yang menjuntai sampai ke dada. Dibuatkannya secangkir kopi untuk teman bapak. Ibu mendengar pria itu berbincang melalui ponsel. Suaranya keras. Lantang. Penuh emosi. Lalu sunyi. Pria itu sudah tak ada di ruang tamu ketika Ibu Farisya kembali keluar.
***
Plak!!!
Suara itu mantap terdengar oleh Farisya. Hatinya tersentak. Suara tamparan yang lebih keras dari biasanya. Dia melihat wajah Bapaknya begitu marah ketika melewati kamarnya. Sekuat tenaga dia ingin keluar untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Tapi yang ada justru suara paraunya yang keluar hingga membuat Bapaknya semakin murka.

Ibu Farisya menghapus air matanya. Menahan isak tangisnya. Mencoba terlihat tegar. Ah, Ibu! Farisya tau Ibu sama rapuhnya seperti Farisya, bedanya hanya Ibu mampu menguatkan Farisya sedangkan Farisya tidak. Seandainya Farisya memiliki tubuh yang kembali normal, dia tak akan hanya diam melihat Ibu diperlakukan sebegitu hinanya oleh Bapak. Air mata yang bisa saja membanjiri seisi kamar Farisya juga tak mampu mengubah apa pun.

“Berisik kamu! Bisa diam tidak, ha?!” amuk Bapak yang masih bisa menguasai tangannya agar tidak memukul Farisya. Kemudian Bapak keluar dan akan kembali dengan hal remeh temeh untuk dijadikan masalah. Selalu begitu.

Didekaplah tubuh Farisya oleh Ibu. Tangan lembutnya membelai kepala Farisya untuk sekedar menenangkannya dan memastikan semua akan baik-baik saja. Ya, begitulah Ibu Farisya, menganggap semua kejadian akan tetap baik-baik saja, sebab dia percaya, apa pun yang dipasrahkan kepada Allah, Allah akan membantu.
***
Di sepertiga malam Ibu Farisya merintih. Dia tengah bersujud mengadu kepada Sang Ilahi. Bapak Farisya sedang tak ada di rumah. Memang jarang di rumah. Air mata Ibu tumpah ruah ke tangan yang ditengadahkannya. Meminta dan terus meminta. Kuatkan aku dan matikan kesedihanku, Ya Allah. Lirihnya.

Farisya merengek. Itu pertanda dia membutuhkan Ibu. Seketika itu Ibunya segera datang ke kamar Farisya. Dipeluknya Ibu dengan erat, seperti ada penekanan dalam pelukan Farisya yang berarti lelah. Farisya tau betul bagaimana remuknya hati Ibu. Berita tentang keluarga Farisya yang dia dengar dari gosipan ibu-ibu di kampungnya membuat Farisya ingin membunuh semua teman bapak yang pernah datang. Bahkan, kalau tak berlaku dosa dan dia mampu, Farisya ingin dari semua pria itu Bapak menjadi pertama yang dia bunuh.

“Kasian ya, Mbak Maisya. Dijual ke pria lain oleh suaminya sendiri.”
Farisya hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya ketika menikmati udara sore di teras rumah. Ibu-ibu yang berkumpul di samping rumahnya dengan ringan membicarakan keluarganya. Tak ingin kalap dengan berita yang didapatnya, Farisya meminta lebih keras kepada Allah untuk diberi pentunjuk agar mengetahui pasti kebenarannya. Segerakan keajaibanmu, Ya Rabb...
***
Diam-diam ada yang menghancurkan hati Farisya. Jaraknya dengan Sang Ilahi terukur jauh. Farisya merasa Allah memberikan cobaan diluar kemampuannya. Dia membenci bapaknya, membenci hidupnya, juga membenci dirinya sendiri. Farisya gagal membesarkan hatinya. Kalut. Hidup terlalu kejam untuk Ibunya yang baik hati.

“Apa pun yang Bapak lakukan terhadap Ibu, kamu tak boleh membencinya, Nak.” Farisya tak suka Ibu membela Bapak yang jelas-jelas melakukan kesalahan besar. Sangat buruk!

“Farisya tak mau membebani Ibu. Anak mana yang tega ketika mengetahui ibunya dijual oleh bapaknya sendiri dengan alasan untuk melunasi hutang? Sedangkan Ibu tau sendiri, hutang bapak larinya tak pernah untuk keluarga kita, Bu. Bapak memakainya untuk membeli barang-barang mewah yang sebenarnya tak perlu.” Farisya sekuat tenaga melembutkan suaranya. Menahan amarahnya terhadap diri sendiri karena merasa tak bisa berbuat banyak.

Ibu Farisya terdiam, seperti membenarkan ucapan Fariysa. Di mata Ibu, Farisya menemukan pancaran cahaya yang redup. Hati Farisya tak karuan merasakan kegelisahannya. Seketika membenci Allah, selebihnya sangat membutuhkan bantuan Allah. Saat itulah kekuatan Farisya untuk berdoa semakin besar, sehingga dia tak terlalu jauh membenci Sang Pencipta.
***
Sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an pada derasnya hujan di luar sana. Betapa tenangnya hati Farisya setelah berjamaah dengan Ibunya. Memohon ampun kepada Allah, saling melengkapi doa, kemudian memasrahkan segalanya yang terjadi.

Brak!!!
Pintu rumah Farisya terbuka lebar setelah bunyi keras itu terdengar. Bapak Farisya dengan keadaan mabuk menyeret Ibu agar segera keluar. Di ruang tamu telah duduk dua pria yang kemarin-kemarin bertandang ke rumah.

“Istri tak tau diri! Keluar, temui teman-temanku!” Bapak Farisya meneriaki Ibu sambil memaksanya keluar ke ruang tamu. Ibu Farisya tak berdaya, dia pasrah dengan apa yang akan dilakukan kedua teman suaminya.

Teman-teman Bapak yang kemarin datang ternyata tak mendapatkan apa yang telah disepakati. Beberapa dari mereka tak tega dengan Ibu karena dijual sendiri oleh Bapak. Sebagian lagi kalah karena Ibu berhasil berontak. Sisanya masih mengejar-ngejar Bapak untuk menagih.

“Tiga ratus ribu buat melunasi hutangku kemarin,” kata Bapak dengan mendorong tubuh Ibu kepada temannya.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar. Keras-keras Farisya menyebut asma Allah. Suaranya tak kalah dengan derasnya air hujan. Kepercayaan Farisya tentang datangnya keajaiban menjadi nyata. Kali ini Allah mengabulkan doanya. Kekuatan doa dari Farisya dan Ibunya.

Sebagian tubuh Farisya yang lumpuh bisa digerakkan kembali. Farisya memukul teman bapaknya dengan alat keras didekatnya. Menarik Ibunya dan memeluknya dalam ketakutan. Bapak hampir saja menghantam wajah Farisya dengan kepalan tangannya kalau saja teman bapak Farisya yang satunya tak menahan. Terjadilah baku hantam bapak dengan temannya.

Maha Segalanya Allah. Mampu membolak-balikkan hati orang dengan seketika. Mengubah orang jahat menjadi baik seketika. Kini, teman Bapak justru meminta maaf kepada Farisya dan ibunya. Menaruh simpatik kepada mereka.
***
Mentari pagi mengiri langkah Farisya menuju sekolah. Sudah dua minggu ini dia kembali ke sekolah setelah beberapa bulan vakum mengajar. Ada banyak syukur karena Farisya bisa beraktifitas seperti sedia kala, bertemu dengan murid-muridnya di Sekolah Menengah Pertama. Dan ketakutan-ketakutan yang menyergapnya di setiap azan Maghrib kini tak lagi ditemuinya.

Hanya saja ada yang kurang dari keluarga kecilnya. Bapak tak juga kelihatan batang hidungnya. Bagi Farisya itu hal yang tak terlalu penting. Ada atau tak ada Bapak di rumah itu bukanlah masalah. Tapi, bagi Ibunya justru itu adalah hal penting yang memaksa untuk dipikirkan.

“Bapak kemana ya, Sya. Sudah dua minggu nggak pulang kerumah. Ibu khawatir terjadi apa-apa sama Bapakmu.” Farisya tak mengerti mengapa Ibunya masih mengharapkan Bapak pulang kerumah setelah perlakuan Bapak terhadap Ibu yang begitu keji. Farisya hening, tak menanggapi omongan Ibunya. Mata Farisya menatap ibunya, mengharapkan ada penjelasan sebagai alasan.

“Sya, Ibu tau kamu masih marah dengan Bapakmu. Kamu pasti bertanya kenapa ibu masih mau menunggu Bapak pulang?”

“Bukan, Bu. Farisya ingin tau kenapa Ibu mampu bertahan dengan kezaliman Bapak terhadap Ibu. Farisya tak pernah melihat Ibu bersedih, tapi bisa merasakan bagaimana pedihnya hati ibu.”

“La Tahzan. Jangan bersedih. Ingat Farisya, seberat apa pun beban hidup yang kita hadapi, sesungguhnya Allah sedang menunjukkan cinta-Nya kepada kita.”

“Farisya tau, tapi sampai kapan? Farisya sudah tidak sanggup.”
“Begini, kalau pun tidak sanggup, bersedihlah untuk sedetik saja, setelah itu jadilah orang paling bahagia selamanya. Larut dalam kesedihan ketika menghadapi cobaan dari Allah, itu tidak mengubah apa pun, Sayang, kecuali kalau ingin memperkeruh keadaan.”
                “Ibu tak ingin meninggalkan Bapak?” selidik Farisya. Di umur Farisya yang sudah berkepala dua, ada kekhawatiran tentang masa depannya kelak. Takut jikalau mendapatkan pasangan seperti Bapaknya. Tapi, ibu masih mempertahankan.

“Kamu pasti tau alasan Ibu, Farisya. Menjadi seorang istri yang sholehah itu tidak mudah, Nak. Kamu harus bisa menjaga aib suamimu nanti. Yang membuat ibu bertahan adalah kamu. Ibu tak pernah terlihat sedih karena kamu. Dan itu tak akan bertahan kalau tak ada campur tangan Tuhan.”
***
Menyantap kesedihan berkali-kali hingga jatah kesedihan Farisya dan ibunya habis. Kala azan Maghrib kembali berkumandang, mengudara ke rongga-rongga kehidupan. Sosok pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah Farisya. Ibu Farisya bergegas membukakan pintu. Terkesiap ketika mendapati sosok pria yang belakangan telah ditunggu kehadirannya.

Pria itu memohon ampun. Air mata yang terlalu mahal untuk dikeluarkan oleh sosok pria itu telah meluap dengan sendirinya. Berulang kali mengutuk dirinya sendiri, mencaci tingkah lakunya sendiri selama ini.

“Tenanglah. Kamu tak perlu mohon ampun padaku, Mas Didi. Allah akan lebih senang kalau kamu bersujud di hadapanNya.” Ibu Farisya membawa suaminya masuk untuk berjamaah Maghrib bersama.

Entah apa yang menyihir hati Farisya. Dia luluh. Tak ada dendam yang digenggam, tak ada benci karena tersakiti. Semua telah sirna. Berakhir dengan sendirinya. Kekuatan Ibu membuat Farisya mengerti bahwa kesedihan jangan  dibiarkan lama bersemayam, sebab menjadi bahagia akan mempermudah segalanya.



LA TAHZAN, UKHTI
Penerbit  : Kinomedia
Cetakan I : Agustus 2015
ISBN  : 978-602-0859-11-8

Tidak ada komentar: