November 22, 2015

PATAH 2X

            Pagi yang buruk! Entah mimpi apa Vinna semalam, sepagi ini terbangun oleh suara yang melengking di depan rumahnya. Meneriakkan namanya berkali-kali. Menggedor-gedor daun pintunya tanpa henti.
            Ibu kos? Vinna terkejut mendapati seorang wanita yang tak asing baginya datang bersama lelaki jakung.
***
            Vinna, perempuan paling payah perihal kisah asmara. Beberapa kali menjadi korban bualan para lelaki tak membuatnya berhenti mencari pasangan. Satu tahun terakhir adalah masa-masa terberat untuknya. Dua kali dalam setahun, hatinya telah patah dua kali.
Lelaki kaya raya yang dia cintai dengan cinta yang paling tulus nyatanya justru membalasnya dengan menebar modus dan janji-janji yang nampak tulus kepada banyak perempuan. Hatinya terhunus. Bagaimana tidak, hubungannya hampir menginjak tahun kelima. Masa depan yang terlihat dekat di depan mata tiba-tiba sirna. Vinna tak pernah menyangka kisah asmaranya nyata sepahit itu.
Kecewa. Terluka. Kepedihannya tak cukup tertampung oleh dinding hatinya, hingga tumpah ruah di beranda sosial media. Status-status yang dibagikannya di dinding akun facebook miliknya akan membuat siapa saja yang membacanya ikut larut dalam kepedihan hatinya.
Menemani lelaki dari nol hingga dia menjadi ‘seseorang’ tak menjamin kesetiaannya akan abadi. Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak lagi menjatuhkan hati kepada lelaki kaya raya, yang lupa diri dan tidak mengenal kata terima kasih. Tulis Vinna di kolom status.
Sebenarnya, sebelum Vinna benar-benar memutuskan meninggalkan lelaki itu, perasaannya disergapi banyak keraguan. Di satu sisi dia sangat menyayangkan jika harus berpisah dengan lelaki yang telah kaya raya berkat berjuta pertolongan darinya, di sisi lain dia tak akan pernah bisa menaruh lagi kepercayaan kepada seseorang yang terbukti berdusta. Keputusannya bulat, pisah!
***
            Namanya Anggara. Datang di kehidupan Vinna atas dasar kepeduliannya terhadap luka-luka yang menyayat hati Vinna tempo hari. Berbagi bahu, menawarkan banyak waktu, juga memasang telinga dengan sangat baik.
            Hei, kamu tampak sedih sekali. Status-status yang tertulis atas namamu membuat perasaanku turut berkabung. Barangkali tak ada seorang pun yang bisa kamu ajak bicara, aku siap untuk itu. Begitulah cara Anggara mendobrak hati seorang Vinna yang tengah dilanda galau berkepanjangan. Vinna tak langsung menanggapi pesan pribadi yang nongol di inbox-nya, hingga dia merasakan kelelahan yang luar biasa karena menanggung kepedihannya sendiri, dia terpaksa menanggapinya.
***
            Lenyap sudah kepedihan Vinna. Hatinya telah terisi oleh kebahagiaan-kebahagiaan yang tercipta dari Anggara. Seorang fotografer yang sederhana dan pekerja keras asal Surabaya itu mampu menandaskan segala derita di hati Vinna. Keputusan Anggara untuk tinggal di Semarang membuat Vinna begitu yakin dengan hubungannya yang telah berjalan selama tiga bulan ini.
            Di rumah sederhana yang dihuni oleh sepasang suami istri dengan dua anak, Anggara menempati kamar kosong di sana, menjadi bagian dari mereka sebagai anak kos. Dia mengenalkan Vinna sebagai kekasihnya yang begitu dia sayangi dan dia cintai. Anggara selalu berlebihan ketika menceritakan sosok Vinna, hingga orang lain yang menyimak ceritanya akan merasa iri karena tak memiliki cinta sebesar dan setulus Anggara kepada Vinna.
            Hampir setiap pagi sebelum Vinna menemui dosen pembimbingnya, dia sempatkan mampir ke kos Anggara untuk mengajaknya sarapan. Akhir-akhir ini memang keuangan Anggara belum juga stabil. Uang hasil penjualan kameranya untuk modal hidup di Semarang mulai menipis.
            “Buka usaha, yuk! Aku nggak bisa begini melulu, kasihan kamu kalau harus terus-terusan menghidupiku,” ucap Anggara di tengah mereka menyantap sarapan. Di hadapan Vinna, Anggara hampir putus asa. Meskipun dia berusaha keras untuk mencari pekerjaan, namun surat lamaran yang dia sebar di berbagai perusahaan di Semarang tak membuahkan hasil. Mungkin belum rezeki.
            “Hayuk! Mau buka usaha apa?” tanggap Vinna bersemangat.
            “Gimana kalau buka usaha kayak aku dulu di Surabaya? Foto-foto gitu, masih inget ‘kan?” tawarnya. Anggara memang pernah bercerita tentang usahanya membuka studio foto. Tetapi bangkrut lantaran uang yang terkumpul dari tetesan keringatnya dirampas habis oleh partner kerjanya yang melarikan diri entah kemana.
            “Boleh banget, tuh. Tapi, kita ‘kan nggak ada properti. Gimana dong?” Vinna ragu mengatakannya, namun begitulah keadaannya. Anggara terdiam untuk beberapa saat. Serius memikirkan solusi untuk masalah ini. “Gimana kalau pakai tubunganku dulu? Kira-kira berapa rupiah?” pinta Vinna spontan. Ada seberkas cahaya di matanya, seperti menemukan bongkahan berlian.
            “Properti inti untuk usaha foto itu nggak murah, Sayang. Kita butuh kamera, tale, dan lain-lainnya. Bisa sampai lima juta, loh. Tabunganmu cukup?” Vinna menganggukkan kepala mantap.
            “Kamu yakin? Lima juta itu banyak, Sayang. Tapi, kalau kamu mau pinjami dulu, aku janji nanti untuk penghasilan pertama usaha kita, semuanya buat kamu. Oke?”
            “Ya, kan, berapapun penghasilannya nanti, tetep dibagi dua dong. Terus kapan kita mau beli propertinya?”
            “Betul dibagi dua, penghasilan pertama nanti sebagai ganti iuranku. Gitu loh, Sayang. Buat kapan beli propertinya, aku punya usulan. Berhubung di Semarang aku nggak tau di mana tempat beli alat-alat foto yang bermutu, gimana kalau aku beliin di Surabaya aja? Di sana aku punya banyak teman yang bisa bantu, yahhh, itung-itung nyari diskonan juga. Barangkali Ibuku juga mau nambahin uang?” Anggara tertawa renyah. Entah di bagian mana yang lucu, Vinna justru merasakan kesedihan.
            Vinna berat mendengar penjelasan Anggara. Perasaannya mendadak tak karuan resah. Dia menangkap maksud bahwa untuk beberapa hari dirinya tak akan bertemu dengan kekasihnya itu. Demi usaha bersama, Vinna mencoba mengerti, membiarkan Anggara kembali ke Surabaya untuk beberapa saat.
            “Nggak lama, kok. Dua minggu kemungkinan udah di Semarang lagi.”
***
            Pagi yang buruk! Entah mimpi apa Vinna semalam, sepagi ini terbangun oleh suara yang melengking di depan rumahnya. Meneriakkan namanya berkali-kali. Menggedor-gedor daun pintunya tanpa henti.
            Ibu kos? Vinna terkejut mendapati seorang wanita yang tak asing baginya datang bersama lelaki jakung bernama ‘Mas Ridwan’. Buru-buru dia membukakan pintu dan mempersilakan mereka duduk.
            Masih tak juga berhenti menyumpahserapahi Anggara, Ibu Kos itu tak henti-hentinya menuduh Vinna bekerjasama atas kejahatan yang Anggara lakukan terhadap keluarganya. Susah payah Vinna meredam suara Ibu Kos yang tak mau diam. Mas Ridwan tak banyak bicara, raut mukanya sama murkanya dengan Ibu Kos.
            “Mana Anggara?! Kamu jangan coba-coba sembunyikan dia, ya! Sudah dua minggu dia menghindari tagihan uang kos, tak pernah menampakkan diri ke rumah.Suara Ibu Kos mulai dipelankan, namun banyak penekanan di setiap katanya. 
            Dua minggu tidak pulang? Vinna terkejut bukan main. Padahal baru beberapa hari Anggara berpamitan meninggalkan Semarang. Fitnah macam apa ini? Vinna bergegas menghubungi nomor telepon Anggara. Tak terhubung. Lagi, lagi, dan lagi. Vinna putus asa, nomor Anggara tidak aktif. Dia sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
            “Tidak mungkin kalau Mbak Vinna tidak tau! Pacar Mbak Vinna itu, jahatnya minta ampun. Dua bulan tidak bayar kos, malah pinjem-pinjem uang anak saya, katanya buat bayarin kuliah Mbak Vinna.”
            Sial!!! Vinna kembali terkejut dengan pengakuan Ibu Kos. “Bu, yang ada justru saya membiayai kehidupan Anggara di sini. Soal tagihan uang kos, saya nggak percaya kalau sampai nunggak dua bulan, orang saya selalu ngasih dia uang buat bayar kos, kok,” jawabku sedikit emosi.
            “Kenyataannya, saya tidak pernah menerima uang itu, Mbak Vinna.”
            Vinna kembali menekan nomor-nomor yang kiranya bisa terhubung dengan Anggara. Hasilnya mengejutkan. Dia justru ditanya balik oleh orang-orang yang ditelponnya. Kemana Anggara? Di mana Anggara sekarang? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat Vinna mendadak gila.
            Menyadari Vinna benar-benar tak tau tentang apa yang sebenarnya terjadi, Ibu Kos mulai menetralkan perasaannya. Di ruang tamu telah duduk dua orang wanita yang tertipu habis oleh Anggara, dan seorang lelaki yang menjadi saksi juga korban atas kejahatan yang dilakukan Anggara.
            Anggara lenyap bersamaan dengan akun-akun sosial medianya. Dia hilang bersama uang-uang hasil ‘kerja keras’-nya.
***
            Vinna limbung. Hatinya kembali patah. Alih-alih mencari pasangan yang sederhana, menambatkan hati kepada lelaki pekerja keras, justru yang ia dapat adalah kelakuan yang tidak lebih baik dari yang kemarin. Dia tak habis pikir. Jauh-jauh ke Semarang ternyata inilah niatan Anggara, bukan untuk membuktikan cintanya kepada Vinna, namun membuktikan bahwa penampilan seorang yang sederhana pun tak selalu bertingkah laku dengan baik. Jika Vinna boleh mengira, dia kira Anggara tak pernah serius mencintainya, ada misi khusus yang Anggara rencanakan.
            Patah dua kali, sakitnya bertubi-tubi. Vinna mulai belajar atas kejadian yang menimpanya satu tahun terakhir ini. Mengintropeksi dirinya agar bisa menjadi lebih baik untuk pasangannya nanti. Dia kembali bangkit, tak mau lagi menebar kesedihannya di sosial media. Tak mau lagi dengan mudah terbawa perasaan.
***
            Vinna, Ibu Kos, Mas Ridwan serta korban-korban lainnya mengikhlaskan uang puluhan juta itu dibawa kabur oleh Anggara. Biarlah Anggara menjadi kaya dengan caranya yang bodoh. Vinna ingin melupakan semua hal tentang Anggara. Menghapus cerita-cerita buruk yang mampir ke telinganya.
            Cerita tentang   Anggara yang seringkali terlibat taruhan dengan teman-temannya di warung playstation. Anggara yang seringkali meminjam uang kepada anak Ibu Kos dengan alasan untuk membantu Vinna membayar kuliah. Anggara yang seringkali tak membayar beberapa bungkus nasi kucing di warung dekat kosnya. Dan, satu cerita yang paling gila.
            “Notebook?” Mas Ridwan dan Ibu Kos saling memandang. Vinna menangkap tanda tanya besar ketika dia menanyakan notebook miliknya sudah selesai diperbaiki atau belum. Beberapa hari sebelum Anggara kembali ke Surabaya, Vinna memang meminta Anggara untuk menyervis notebook miliknya ditempat Mas Ridwan bekerja.
            “Iya, notebook. Saya nggak enak juga kalau kelamaan pinjem saudara.”
            Ibu Kos dan Mas Ridwan amat terkejut, kemudian menertawakan Vinna sejadi-jadinya. “Jadi, itu notebook sebenernya mau diservis?” Tanya Mas Ridwan, aku hanya bisa mengangkat bahu. “Dia menjualnya kepadaku,” lanjutnya.
            “Serius?” Ibu Kos menyahut. “Notebook warna hitam itu? Anggara menggadaikannya kepada Ibu, tapi waktu itu dia pinjam lagi, katanya mau dipakai sama kamu, Vin. Sampai sekarang pun belum kembali, ya, kemungkinan memang dijual di kamu, Ridwan.”
            “Dengan alasan yang sama, notebook itu ada di tangan Anggara saat ini,” lanjut Mas Ridwan.
Kepala Vinna keliyengan mendengar percakapan mereka. Pandangannya mengabur. Semuanya menjadi gelap di mata Vinna. Aku memilihmu karena cinta, kamu memilihku karena uang. Perihal cinta atau uang, kita memang ditakdirkan tidak berjodoh.
           


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.

Tidak ada komentar: