Pagi
yang buruk! Entah mimpi apa Vinna semalam, sepagi ini terbangun oleh suara yang
melengking di depan rumahnya. Meneriakkan namanya berkali-kali. Menggedor-gedor
daun pintunya tanpa henti.
Ibu kos? Vinna terkejut mendapati
seorang wanita yang tak asing baginya datang bersama lelaki jakung.
***
Vinna,
perempuan paling payah perihal kisah asmara. Beberapa kali menjadi korban
bualan para lelaki tak membuatnya berhenti mencari pasangan. Satu tahun terakhir adalah
masa-masa terberat untuknya. Dua kali dalam setahun, hatinya telah patah dua
kali.
Lelaki kaya raya yang
dia cintai dengan cinta yang paling tulus nyatanya justru membalasnya dengan
menebar modus dan janji-janji yang nampak tulus kepada banyak perempuan.
Hatinya terhunus. Bagaimana tidak, hubungannya hampir menginjak tahun kelima. Masa
depan yang terlihat dekat di depan mata tiba-tiba sirna. Vinna tak pernah menyangka
kisah asmaranya nyata sepahit itu.
Kecewa. Terluka. Kepedihannya
tak cukup tertampung oleh dinding hatinya,
hingga tumpah ruah di beranda sosial media. Status-status yang dibagikannya di
dinding akun facebook miliknya
akan membuat siapa saja yang membacanya ikut larut dalam kepedihan hatinya.
Menemani
lelaki dari nol hingga dia menjadi ‘seseorang’ tak menjamin kesetiaannya akan
abadi. Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak lagi menjatuhkan hati kepada lelaki kaya raya, yang
lupa diri dan tidak mengenal
kata terima kasih. Tulis
Vinna di kolom status.
Sebenarnya, sebelum
Vinna benar-benar memutuskan meninggalkan
lelaki itu, perasaannya disergapi banyak keraguan. Di satu sisi dia sangat
menyayangkan jika harus berpisah dengan lelaki yang
telah kaya raya
berkat berjuta pertolongan darinya, di sisi lain dia tak akan pernah bisa
menaruh lagi kepercayaan kepada seseorang yang terbukti berdusta. Keputusannya bulat, pisah!
***
Namanya
Anggara. Datang di kehidupan Vinna atas dasar kepeduliannya terhadap luka-luka
yang menyayat hati Vinna tempo hari. Berbagi bahu, menawarkan banyak waktu,
juga memasang telinga dengan sangat baik.
Hei, kamu tampak sedih sekali. Status-status
yang tertulis atas namamu membuat perasaanku turut berkabung. Barangkali tak
ada seorang pun yang bisa kamu ajak bicara, aku siap untuk itu. Begitulah
cara Anggara mendobrak hati seorang Vinna yang tengah dilanda galau
berkepanjangan. Vinna tak langsung menanggapi pesan pribadi yang nongol di inbox-nya, hingga dia merasakan kelelahan yang luar biasa
karena menanggung kepedihannya sendiri,
dia terpaksa menanggapinya.
***
Lenyap
sudah kepedihan Vinna. Hatinya telah terisi oleh kebahagiaan-kebahagiaan yang
tercipta dari Anggara. Seorang fotografer yang sederhana dan pekerja keras asal
Surabaya itu mampu menandaskan segala derita di hati Vinna. Keputusan Anggara
untuk tinggal di Semarang membuat Vinna begitu yakin dengan hubungannya yang
telah berjalan selama tiga
bulan ini.
Di
rumah sederhana yang dihuni oleh sepasang suami istri dengan dua anak, Anggara
menempati kamar kosong di sana, menjadi bagian dari mereka sebagai anak kos. Dia
mengenalkan Vinna sebagai kekasihnya yang begitu dia sayangi dan dia
cintai.
Anggara selalu berlebihan ketika menceritakan sosok Vinna, hingga orang lain
yang menyimak ceritanya akan merasa iri karena tak memiliki cinta sebesar dan
setulus Anggara kepada Vinna.
Hampir
setiap pagi sebelum Vinna menemui dosen pembimbingnya, dia sempatkan mampir ke
kos Anggara untuk mengajaknya sarapan. Akhir-akhir
ini memang keuangan
Anggara belum juga stabil. Uang hasil penjualan kameranya untuk modal hidup di
Semarang mulai menipis.
“Buka
usaha, yuk! Aku nggak bisa begini melulu, kasihan
kamu kalau harus terus-terusan menghidupiku,” ucap Anggara di tengah
mereka menyantap
sarapan. Di hadapan Vinna, Anggara hampir putus asa. Meskipun
dia berusaha keras untuk mencari pekerjaan, namun surat lamaran yang dia sebar di
berbagai perusahaan di Semarang tak membuahkan hasil. Mungkin
belum rezeki.
“Hayuk!
Mau buka usaha apa?” tanggap Vinna bersemangat.
“Gimana
kalau buka usaha kayak aku dulu di Surabaya? Foto-foto gitu, masih inget ‘kan?”
tawarnya. Anggara memang pernah bercerita tentang usahanya
membuka studio foto. Tetapi bangkrut lantaran uang yang terkumpul dari tetesan keringatnya
dirampas habis oleh partner kerjanya
yang melarikan diri
entah kemana.
“Boleh
banget, tuh. Tapi, kita ‘kan nggak ada properti. Gimana dong?” Vinna ragu
mengatakannya, namun begitulah
keadaannya. Anggara terdiam untuk beberapa saat. Serius memikirkan solusi untuk
masalah ini. “Gimana kalau pakai tubunganku dulu? Kira-kira berapa rupiah?” pinta
Vinna spontan. Ada
seberkas cahaya di matanya, seperti menemukan bongkahan berlian.
“Properti
inti untuk usaha foto itu nggak murah, Sayang. Kita butuh kamera, tale, dan lain-lainnya.
Bisa sampai lima juta, loh.
Tabunganmu cukup?”
Vinna menganggukkan kepala mantap.
“Kamu
yakin? Lima juta itu banyak, Sayang. Tapi, kalau
kamu mau pinjami dulu, aku
janji nanti untuk penghasilan pertama usaha kita, semuanya buat kamu. Oke?”
“Ya,
kan, berapapun penghasilannya nanti, tetep dibagi dua dong. Terus kapan kita
mau beli propertinya?”
“Betul
dibagi dua, penghasilan pertama nanti sebagai ganti iuranku. Gitu loh, Sayang.
Buat kapan beli propertinya, aku punya usulan. Berhubung di Semarang aku nggak
tau di mana tempat beli alat-alat foto yang bermutu, gimana kalau aku beliin di Surabaya aja? Di sana aku
punya banyak teman yang bisa bantu, yahhh, itung-itung nyari diskonan juga. Barangkali Ibuku juga mau nambahin uang?” Anggara
tertawa renyah. Entah di bagian mana yang lucu, Vinna justru merasakan
kesedihan.
Vinna
berat mendengar penjelasan Anggara. Perasaannya mendadak tak karuan resah. Dia
menangkap maksud bahwa untuk beberapa hari dirinya tak akan bertemu dengan
kekasihnya itu. Demi usaha bersama, Vinna mencoba mengerti,
membiarkan Anggara kembali ke Surabaya untuk beberapa saat.
“Nggak
lama, kok. Dua minggu kemungkinan udah di Semarang lagi.”
***
Pagi
yang buruk! Entah mimpi apa Vinna semalam, sepagi ini terbangun oleh suara yang
melengking di depan rumahnya. Meneriakkan namanya berkali-kali. Menggedor-gedor
daun pintunya tanpa henti.
Ibu kos? Vinna terkejut mendapati
seorang wanita yang tak asing baginya datang bersama lelaki jakung bernama ‘Mas Ridwan’. Buru-buru dia
membukakan pintu dan mempersilakan mereka duduk.
Masih
tak juga berhenti menyumpahserapahi Anggara, Ibu Kos itu tak henti-hentinya
menuduh Vinna bekerjasama atas kejahatan yang Anggara lakukan terhadap
keluarganya. Susah
payah Vinna meredam suara Ibu Kos yang tak mau diam. Mas Ridwan tak banyak
bicara, raut mukanya sama murkanya dengan Ibu Kos.
“Mana
Anggara?! Kamu jangan coba-coba sembunyikan dia, ya! Sudah dua minggu dia
menghindari tagihan uang kos, tak pernah menampakkan diri ke rumah.” Suara Ibu
Kos mulai dipelankan, namun banyak penekanan di setiap katanya.
Dua minggu tidak pulang? Vinna terkejut
bukan main. Padahal baru beberapa hari Anggara
berpamitan
meninggalkan Semarang. Fitnah macam apa ini? Vinna bergegas menghubungi nomor
telepon Anggara. Tak terhubung. Lagi, lagi, dan lagi. Vinna putus asa, nomor
Anggara tidak aktif. Dia sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Tidak mungkin kalau Mbak Vinna tidak
tau! Pacar Mbak Vinna itu, jahatnya minta ampun. Dua bulan tidak bayar kos,
malah pinjem-pinjem uang anak saya, katanya buat bayarin kuliah Mbak Vinna.”
Sial!!!
Vinna kembali terkejut dengan pengakuan Ibu Kos. “Bu, yang ada justru saya membiayai
kehidupan Anggara di sini. Soal tagihan uang kos, saya nggak percaya kalau
sampai nunggak dua bulan, orang saya selalu ngasih dia uang buat bayar kos,
kok,” jawabku sedikit emosi.
“Kenyataannya, saya tidak pernah
menerima uang itu, Mbak Vinna.”
Vinna kembali menekan nomor-nomor
yang kiranya bisa terhubung dengan Anggara. Hasilnya mengejutkan. Dia justru
ditanya balik oleh orang-orang yang ditelponnya. Kemana Anggara? Di mana
Anggara sekarang? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat Vinna mendadak gila.
Menyadari Vinna benar-benar tak tau tentang
apa yang sebenarnya terjadi, Ibu Kos mulai menetralkan perasaannya. Di ruang
tamu telah duduk dua orang wanita yang tertipu habis oleh Anggara, dan seorang
lelaki yang menjadi saksi juga korban atas kejahatan yang dilakukan Anggara.
Anggara lenyap bersamaan dengan
akun-akun sosial medianya. Dia hilang bersama uang-uang hasil ‘kerja
keras’-nya.
***
Vinna limbung. Hatinya kembali
patah. Alih-alih mencari pasangan yang sederhana, menambatkan hati kepada
lelaki pekerja keras, justru yang ia dapat adalah kelakuan yang tidak lebih
baik dari yang kemarin. Dia tak habis pikir. Jauh-jauh ke Semarang ternyata
inilah niatan Anggara, bukan untuk membuktikan cintanya kepada Vinna, namun
membuktikan bahwa penampilan seorang yang sederhana pun tak selalu bertingkah
laku dengan baik. Jika Vinna boleh mengira, dia kira Anggara tak pernah serius
mencintainya, ada misi khusus yang Anggara rencanakan.
Patah dua kali, sakitnya
bertubi-tubi. Vinna mulai belajar atas kejadian yang menimpanya satu tahun
terakhir ini. Mengintropeksi dirinya agar bisa menjadi lebih baik untuk
pasangannya nanti. Dia kembali bangkit, tak mau lagi menebar kesedihannya di
sosial media. Tak mau lagi dengan mudah terbawa perasaan.
***
Vinna,
Ibu Kos, Mas Ridwan serta korban-korban lainnya mengikhlaskan uang puluhan juta
itu dibawa kabur oleh Anggara. Biarlah Anggara menjadi kaya dengan caranya yang
bodoh. Vinna ingin melupakan semua hal tentang Anggara. Menghapus cerita-cerita
buruk yang mampir ke telinganya.
Cerita tentang Anggara
yang seringkali
terlibat taruhan dengan teman-temannya di warung playstation. Anggara
yang seringkali meminjam uang kepada anak Ibu Kos
dengan alasan untuk membantu Vinna membayar kuliah. Anggara yang seringkali tak
membayar beberapa bungkus nasi kucing di warung dekat kosnya. Dan, satu cerita
yang paling gila.
“Notebook?”
Mas Ridwan dan Ibu Kos saling memandang. Vinna menangkap tanda tanya besar
ketika dia menanyakan notebook
miliknya sudah selesai diperbaiki atau belum. Beberapa hari sebelum Anggara
kembali ke Surabaya, Vinna memang meminta Anggara untuk menyervis notebook miliknya ditempat Mas Ridwan
bekerja.
“Iya, notebook. Saya nggak enak juga
kalau kelamaan pinjem saudara.”
Ibu Kos dan Mas Ridwan amat terkejut,
kemudian menertawakan Vinna sejadi-jadinya. “Jadi, itu notebook sebenernya mau diservis?” Tanya Mas Ridwan, aku hanya
bisa mengangkat bahu. “Dia menjualnya kepadaku,” lanjutnya.
“Serius?” Ibu Kos menyahut. “Notebook warna hitam itu? Anggara
menggadaikannya kepada Ibu, tapi waktu itu dia pinjam lagi, katanya mau dipakai
sama kamu, Vin. Sampai sekarang pun belum kembali, ya, kemungkinan memang
dijual di kamu, Ridwan.”
“Dengan alasan yang sama, notebook itu ada di tangan Anggara saat
ini,” lanjut Mas Ridwan.
Kepala Vinna keliyengan mendengar percakapan mereka. Pandangannya
mengabur. Semuanya menjadi gelap di mata Vinna. Aku memilihmu karena cinta, kamu memilihku karena uang. Perihal cinta
atau uang, kita memang ditakdirkan tidak berjodoh.
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana:
Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com
dan Nulisbuku.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar