Kita,
atau bisa jadi cuma aku, terkadang spontanitas dengan entengnya menilai
orang-orang secara fisiknya saja, dari luaran mereka yang nampak sekilas oleh
pandangan kita atau bisa jadi cuma pandanganku yang seringkali bodoamat
dengan apa yang sebenarnya telah dialami, sedang dialami, atau mungkin justru
sedang akan dialami dari sisi-sisi lain kehidupan mereka. Kita, atau bisa
jadi cuma aku tidak pernah bisa menerka dengan tepat seperti apa model hati
dari masing-masing orang. Dan, barangkali dengan hal seperti inilah sudut
pandangku dan sudut pandangmu menjadi berbeda. Cara pikirku dan cara pikirmu
menjadi tidak sama. Juga, rasa syukurku dan rasa syukurmu tidak pernah setara.
Jadi,
lewat artikel yang terbaca di timeline
fesbuk ini, aku dipaksa untuk mengingat kembali sebuah tragedi tentang Bapak Tukang
Parkir yang memiliki tatto di lengan kiri dan di kedua kakinya yang berbulu. Tindik
di salah satu telinganya. Tidak memiliki rambut di kepalanya. Pakai kalung
rantai. Dan raut muka yang memang sadis. #sambilbayanginpreman.
Sembari
mengeluarkan motorku dari deretan motor lain yang terparkir, Bapak Tukang
Parkir itu menegurku.
“Tadi
itu temennya, Mbak?” nunjuk perempuan cantik yang baru saja melenggang dari
tempat parkiran di tempat nongkrong yang ngehitz.
“Bukan,
Pak, kenapa memang?”
Sebelumnya
aku memang melihat Bapak Tukang Parkir membantu perempuan tadi yang susah payah
mengeluarkan motornya di ujung parkiran. Kemudian ...
“Angkuh
banget. Kalo emang nggak mau bayar, seenggaknya bilang terima kasih ‘kan bisa. Sudah dibantu main nyelonong aja.
Mampu makan enak, bayar parkir aja nggak bisa.”
Aku
tertegun. Tertegun antara membaca plang bertuliskan “Parkir Gratis” di sana dan membaca apa gerangan yang membuat mata
Bapak Tukang Parkir berkaca-kaca. Bapak Tukang Parkir menunduk. Kemudian secepat
kilat menyeka kedua sudut matanya. Barangkali dia membaca pikiranku.
Dia
melanjutkan celotehnya, seperti menjawab pertanyaan dalam kepalaku, ”Parkir di
sini emang gratis, Mbak, saya di sini cuma perbantuan dari kampung belakang, gantian
sama warga lain, berharap dapet uang tambahan dari sini. Pihak sini emang nggak
minta bantuan, tapi ngasih ijin buat saya dan warga lain buat nyari duit dari
sini, toh mereka nggak gaji kami. Sakit hati saya, Mbak, digituin sama mbak
yang tadi.” Kini suaranya terdengar berat.
Aku
menelan ludah. Tidak berkata apa-apa. Melempar senyum. Memberi tarif parkir yang
Bapak Tukang Parkir bilang seikhlasnya saja. Kemudian berlalu diiringi gerimis
yang mulai menyentuhi kulit. Merangkum tragedi di tempat parkir tadi. Entah
kenapa hati ini jadi ngilu.
Oh, ternyata
dengan ucapan terima kasih saja, seseorang bisa merasa sangat dihargai. Uang (mungkin)
bukanlah satu-satunya properti untuk sebuah penghargaan.
Oh,
ternyata penampilan sepreman begitu memiliki hati yang jauh lebih sensitif ya.
Apalagi
yang bisa aku atau kamu simpulkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar