Februari 12, 2017

HATI BAPAK TUKANG PARKIR

Kita, atau bisa jadi cuma aku, terkadang spontanitas dengan entengnya menilai orang-orang secara fisiknya saja, dari luaran mereka yang nampak sekilas oleh pandangan kita atau bisa jadi cuma pandanganku yang seringkali bodoamat dengan apa yang sebenarnya telah dialami, sedang dialami, atau mungkin justru sedang akan dialami dari sisi-sisi lain kehidupan mereka. Kita, atau bisa jadi cuma aku tidak pernah bisa menerka dengan tepat seperti apa model hati dari masing-masing orang. Dan, barangkali dengan hal seperti inilah sudut pandangku dan sudut pandangmu menjadi berbeda. Cara pikirku dan cara pikirmu menjadi tidak sama. Juga, rasa syukurku dan rasa syukurmu tidak pernah setara.

Jadi, lewat artikel yang terbaca di timeline fesbuk ini, aku dipaksa untuk mengingat kembali sebuah tragedi tentang Bapak Tukang Parkir yang memiliki tatto di lengan kiri dan di kedua kakinya yang berbulu. Tindik di salah satu telinganya. Tidak memiliki rambut di kepalanya. Pakai kalung rantai. Dan raut muka yang memang sadis. #sambilbayanginpreman.

Sembari mengeluarkan motorku dari deretan motor lain yang terparkir, Bapak Tukang Parkir itu menegurku.


“Tadi itu temennya, Mbak?” nunjuk perempuan cantik yang baru saja melenggang dari tempat parkiran di tempat nongkrong yang ngehitz.

“Bukan, Pak, kenapa memang?”

Sebelumnya aku memang melihat Bapak Tukang Parkir membantu perempuan tadi yang susah payah mengeluarkan motornya di ujung parkiran. Kemudian ...

“Angkuh banget. Kalo emang nggak mau bayar, seenggaknya bilang terima kasih ‘kan bisa. Sudah dibantu main nyelonong aja. Mampu makan enak, bayar parkir aja nggak bisa.”

Aku tertegun. Tertegun antara membaca plang bertuliskan “Parkir Gratis” di sana dan membaca apa gerangan yang membuat mata Bapak Tukang Parkir berkaca-kaca. Bapak Tukang Parkir menunduk. Kemudian secepat kilat menyeka kedua sudut matanya. Barangkali dia membaca pikiranku.

Dia melanjutkan celotehnya, seperti menjawab pertanyaan dalam kepalaku, ”Parkir di sini emang gratis, Mbak, saya di sini cuma perbantuan dari kampung belakang, gantian sama warga lain, berharap dapet uang tambahan dari sini. Pihak sini emang nggak minta bantuan, tapi ngasih ijin buat saya dan warga lain buat nyari duit dari sini, toh mereka nggak gaji kami. Sakit hati saya, Mbak, digituin sama mbak yang tadi.” Kini suaranya terdengar berat.

Aku menelan ludah. Tidak berkata apa-apa. Melempar senyum. Memberi tarif parkir yang Bapak Tukang Parkir bilang seikhlasnya saja. Kemudian berlalu diiringi gerimis yang mulai menyentuhi kulit. Merangkum tragedi di tempat parkir tadi. Entah kenapa hati ini jadi ngilu. 

Oh, ternyata dengan ucapan terima kasih saja, seseorang bisa merasa sangat dihargai. Uang (mungkin) bukanlah satu-satunya properti untuk sebuah penghargaan.
Oh, ternyata penampilan sepreman begitu memiliki hati yang jauh lebih sensitif ya.
Apalagi yang bisa aku atau kamu simpulkan?
 

Tidak ada komentar: