Desember 28, 2017

DI MATAMU, AKU BUKANLAH AKU SEUTUHNYA




 
Belum bisa tidur. Seseorang berhasil membuatku resah. Tujuh hari, bagiku bukan waktu yang pendek untuk menunggu sebuah keputusan besar. Pergerakan waktu mendadak amat lambat. Kurasa memang seharusnya begitu, barangkali Tuhan memberiku kesempatan untuk merapalkan doa dengan lebih khusyu’ dan lebih memelas lagi agar hal terbaik versiku terijabah.

Dari seseorang itu aku jadi tau, bahwa ternyata selama ini, entah sadar atau tidak, kita memandang seseorang dari kulitnya saja. Tanpa seluk-beluk masa lalunya. Yang terlihat baik, belum tentu masa lalunya jernih, pun sebaliknya. Dan, untuk tujuan mengenal seseorang lebih jauh, itu teramat penting, agar dikemudian hari tidak ada kecewa karena menaruh ekspektasi yang tinggi.

Baru kemaren seseorang mengalaminya. Aku mendengar celotehnya yang penuh semangat. Menawarkan diri untuk menggantikan dia yang memutuskan pergi. Tapi dalam konteks yang lebih serius dan matang. Tawanya renyah sekali kala itu. “Kalo nggak serius, ngapain ngajakin ke sini,” katanya diselingi tawa.

Hmm. Seseorang yang jarang sekali kutemui, chat cuma sesekali waktu, tiba-tiba minta ketemu, kemudian menawarkan diri untuk serius. Aku? Jelas tidak menduga. Sederet pertanyaan kulontarkan, tujuanku jelas untuk mengulik seberapa jauh keseriusan seseorang ini. Lalu cukup. Napasku mendadak berat. Terbayang bagaimana seseorang sebaik ini harus berjodoh denganku yang punya masa lalu begitu awul-awulan dan semrawut.

Kemudian aku menyesali buanyak hal. Andai saja aku menjadi sebaik apa yang seseorang lihat dari sisi luaranku saja, tentu akan sangat mudah untukku berkata “YA” atas tawarannya. Hal itu justru menjadi masalah yang kompleks bagiku. Dan, untuk menjadi egois bukanlah sikap yang tepat saat itu. Akhirnya aku menggelontorkan banyak kekuranganku. Seseorang mendengarkanku dengan serius dan ... ragu. Tapi pada akhirnya, seseorang percaya.

Untuk menatap matanya, aku sangat takut. Embusan napasnya yang panjang, seperti mengalirkan rasa kecewa yang dalam. Seseorang terdiam beberapa saat. Ah, aku merasakan sekali guncangan hatinya. Apa yang terjadi selanjutnya?

“Kasih aku waktu tujuh hari,” suaranya terdengar parau. Aku tidak masalah atas permintaannya. Seseorang punya hak untuk memilih, bukan? Sekalipun awalnya seseorang sangat yakin, kemudian menjadi ragu karena suatu hal. Bagiku itu menjadi bagian dari proses dalam memilih. Apalagi untuk urusan masa depan. Ya, 'kan?

Tujuh hari kedepan dan hari-hari selanjutnya, kurasa ini waktuku untuk lebih sering merayu Gusti Allah. Memulai lagi untuk lebih sering berdialog denganNya. Tawar-menawar takdir, mungkin. Yang pasti, yang sedang gencar kuminta padaNya adalah ... semoga seseorang tidak berubah pikiran, serta hatinya lebih yakin daripada sebelumnya. Aamiin.

Point dari cerita ini adalah ...
Pertama, don't judge a book by its cover. Jelas, ibarat buku, cover yang bagus belum tentu isinya bagus, pun sebaliknya. Jangan terkecoh. Jangan menaruh ekspektasi berlebihan sebelum benar-benar mengerti bagaimana intim dari buku itu. Jatuhnya jadi PHP.
Di matamu, aku bukanlah aku seutuhnya. Jauh di dalamnya, banyak lubang-lubang tidak berbentuk karena digerogoti keabsurdan hidup.

Kedua, penyesalan selalu datang belakangan. Itu pasti! Jadi, biasakanlah untuk selalu menimbang keputusan-keputusan besar yang akan kamu lakukan jika memiliki pengaruh jangka panjang. Sebab, kalau sudah terlanjur, dampaknya bukan hanya pada satu titik, tapi bisa melebar ke titik-titik lain. Dan itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Menjadi bom waktu.

Ketiga, lebih baik jujur meskipun ada pihak tertentu yang tersakiti. Satu kata tapi memiliki pengaruh besar. Jujur. Dengan kejujuran, akan ada sedikit penghargaan menghampirimu. Setidaknya tidak menimbulkan problematik dikemudian hari. Itu sangat membantu.

Keempat, boleh kok kalau kalian mau nambahin pointnya.


Semarang, 12.11 am.
Dalam pengharapan yang besar.
Semoga seseorang tidak mengubah tawarannya.

Tidak ada komentar: