Juni 02, 2018

Kita adalah Perancang Masa Depan yang Terlalu Berani

dok. pribadi: Pantai Marina Semarang
Matahari pamit pulang, Tuan.
Sedang ombak masih menekuni ibadahnya dengan tenang.


Kita telah tenggelam pada cerita-cerita nostalgia. Entahlah, aku merasa ada yang berbeda dengan pertemuan kita kali ini. Aku tidak benar-benar ingat kapan terakhir kali kita bertemu dan berceloteh banyak hal seperti ini. Tiga atau empat tahun yang lalu, mungkin. Dan aku merasakan arah celoteh kita tidak lagi sama dengan celoteh kita jaman dulu. Berat dan memaksa otak kita untuk berpikir lebih keras dengan apa yang keluar dari mulut kita masing-masing. Maklumi saja, Tuan, sebab kita sedang berada dalam fase kehidupan yang terasa absurd.


Boleh aku mengingat, Tuan?

Dulu, kita adalah perancang masa depan yang ulet. Hampir setiap sore kita merancang masa depan yang manis, masa depan yang hebat dan membanggakan, kemudian kita menuliskannya ke daftar capaian kita masing-masing. Kita sangat bersemangat untuk mewujudkan capaian-capaian itu. Kita bergerak. Mencari network kesana kemari meskipun bidang yang kita geluti berbeda. Kita optimis bahwa apa yang telah kita usahakan akan terwujud dengan cara kita masing-masing. Kita saling mendukung, kita saling membantu, kita saling mengingatkan ketika satu dari kita mulai keluar dari jalur kefokusan, kita saling mendoakan. Selalu dan terus begitu. Kita teramat percaya diri kala itu, terlalu berani untuk merancang masa depan yang wah! Sampai kita lupa, ada yang terlewat dari prediksi kita, bahwa kehidupan bukan hanya tentang keinginan kita pribadi, bukan tentang cara yang kita buat sendiri, bahwa ada waktu di mana kita tidak bisa lagi menjadi diri sendiri sepenuhnya. Kemudian aku mendengar dan menyaksikan kegelisahanmu hari ini. Pun sebaliknya. Kita saling menertawakan diri sendiri. Betapa payahnya kita.

Semakin lanjut usia kita, semakin banyak tekanan-tekanan yang menyapa, semakin beraneka tuntutan yang mengakrabi kita. Memaksa kita untuk merancang ulang dan sedikit melupakan apa yang pernah kita tulis sebelumnya. Kita merasa kalah dengan keadaan yang minim kemungkinan untuk kita ubah. Betapa lemahnya kita, Tuan.


Tuan, bolehkah aku menyampaikan sesuatu? Aku merasa beruntung memiliki kawan dekat sepertimu. Sebagaimananya kehidupan menggerus kewarasanmu, kamu tetap berusaha bersikap tenang. Aku melihatmu berpikiran lebih dewasa sekarang ini. Mampu mengurangi ego yang seringkali meletup-letup. Aku bangga, meskipun masih secuil saja capaianmu yang terwujud, kamu tidak berhenti berusaha. Itu lebih baik daripada aku. Dan lagi-lagi, aku harus belajar banyak darimu.


Tuan, di mataku kamu telah berhasil mencapai apa yang pernah kamu tulis. Meskipun selalu kamu bilang belum, belum, dan belum. Ingat, Tuan, sejatinya manusia adalah makhluk yang selalu merasa kurang, hanya rasa syukur yang akan menghentikan semua itu.


Jalan masih panjang, Tuan, seperti kepulangan matahari yang kita nikmati sore ini.

Tidak ada komentar: