Aku
tak pulang, Mei. Biar saja rindu berkumpul di ruangku yang sepi.
Tak mengapa, kan? Kau di rumah saja, lebih aman. Aku tak akan sampai
jika harus seperti orang-orang bodoh yang merasa punya nyawa cadangan.
Mei,
sungguh berat menahan rasa ingin berjumpa denganmu di tengah wabah
keparat begini. Aku tak mengerti bagaimana bisa mereka merelakan orang-orang
terkasihnya yang sangat mungkin turut menjadi salah satu bagian untuk dijemput,
dipisahkan, sendirian tanpa sanak, di ruang isolasi, yang mungkin akan sama menyedihkannya
sepertiku di tanah rantau.
Sungguh
aku merasa cukup lebih baik melihatmu melalui layar ponsel saja. Mendengar
tawamu yang renyah membuat hatiku begitu bungah, meski tetap saja sebenarnya di
lubuk hatiku begitu marah karena wabah, juga orang-orang yang nuraninya entah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar