Membuka mata di awal Februari yang masih basah oleh hujan.
Rentetan momen bahagia di hari ulang tahun ibu bertebaran di langit-langit
kamar. Bermula dari tiga tahun lalu ketika Nesha, anak semata wayangku,
tiba-tiba saja memintaku untuk memberi sebuah kejutan di hari ulang tahun
neneknya. Entah anak berumur empat tahun itu dapat ide dari siapa.
Kini, tiga tahun terlewat, Nesha menjadikan momen itu seperti sebuah kultur di keluarga kami. Meski dirayakan dengan sederhana, tapi selalu menyisakan kehangatan di antara personil keluarga kami. Ah, aku rindu sekali dengan ibu. Rasanya sudah lama tidak berkunjung ke rumah ibu.
“Ibu, besok
ulang tahun nenek, kan?” Nesha memelukku, suaranya masih bercampur kantuk.
“Iya, Sayang.
Hmmm, Nesha mau kasih kejutan lagi?” tanyaku ragu.
"Masih boleh,
kan, Bu?”
Ah, pertanyaan yang lugu, batinku.
“Tentu saja boleh. Nenek pasti bakalan seneng.”
“Terima
kasih, Ibu. Nanti kita belanja yang banyak, yaaaa,” Nesha merekatkan pelukannya.
***
Selepas subuh
tadi, Nesha begitu bersemangat mengajakku berbelanja untuk keperluan ulang
tahun neneknya. Sekarang, dia sudah standby
di dapur dengan bermacam bumbu masakan beserta ‘teman-temannya’ yang telah
dikeluarkan dari keranjang belanjaan.
Ulang tahun
ibu kali ini terasa berbeda. Tidak ada kue ulang tahun seperti yang biasa Nesha
request. Nesha hanya ingin dimasakkan
masakan kesukaan neneknya. Semacam ingin berbagi rejeki yang akan kami bagikan
ke para tetangga. Sementara itu, sebenarnya aku tidak yakin ibu akan datang
seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, karena Nesha terlihat begitu antusias,
aku percaya ada chemistry yang sudah
terbentuk di antara Nesha dan ibu. Aku menangkap keyakinan di mata Nesha bahwa
ibu akan datang untuk merayakan ulang tahunnya bersama kami.
***
“Ibu! Ibu!
Nenek sudah datang. Ayo, nyalakan lilin,” Nesha kegirangan mengetahui neneknya
sudah sampai di depan rumah. Aku pun tidak sabar dengan respon ibu yang untuk
kali pertama diberi kejutan oleh Nesha.
Pintu
terbuka, Nesha berteriak mengucapkan selamat kepada neneknya, “Selamat ulang
tahun, Nenekkkk. Tiup lilinnya, tiup lilinnya...” Mata ibu berkaca-kaca.
Mencium Nesha, si balita yang berlagak seperti orang gedhe, terus-menerus. Hatiku meleleh melihat keromantisan mereka.
Ah, hanya kenangan!
***
“Sssssstttt, Ibu jangan bilang-bilang ke
nenek, yaaa,” Nesha berbisik, seolah tahu kalau neneknya turut terlibat dengan kesibukan
kami di dapur. Aku tertawa melihat ekspresi Nesha yang benar-benar khawatir,
takut kalau neneknya benar-bener mendengar pengakuannya ketika sengaja
menghabiskan kue kesukaan neneknya tanpa ijin.
Aku akui, ibu
menjadi penyelamatku. Semenjak suamiku meninggal, tepat satu bulan setelah Nesha
terlahir, ibulah yang menguatkanku. Ibu membantuku mengasuh Nesha, satu-satunya
cucu yang ibu dambakan kehadirannya di dunia ini. Ibu pula yang akhirnya
merawat Nesha ketika aku harus keluar mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga
kami. Meski begitu, ibu tidak pernah mengeluh.
Nesha
bercerita banyak hal tentang ibu. Meski alur ceritanya tidak runtut, aku kira mereka
telah menghabiskan banyak waktu dengan penuh sukacita. Sampai hari ini, aku
melihat Nesha tumbuh sebagai anak yang lembut dan ceria, aku menemukan ibuku di
diri Nesha. Ah, semakin rindu saja dengan
ibu!
***
Waktunya
telah tiba. Doa-doa kami panjatkan dengan banyak semoga. Nesha begitu khusuk
mendoakan neneknya. Doa dari anak yang belum dewasa secara wujud, lirih
kudengar kalimatnya, “... Tuhan, mungkin nenek sedang sibuk, aku akan
mengunjungi rumahnya besok. Sama ibu. Jangan kasih hujan dulu, ya. Aamiin.”
Cepat-cepat
kualihkan pandanganku ketika Nesha mengakhiri doanya.
“Bu,
sepertinya nenek tidak datang. Besok kita saja yang mengunjungi nenek.
Bagaimana?” Tidak ada kecewa di diri Nesha. Beberapa bulan terlewat, Nesha
sangat mengerti apa yang terjadi terhadap neneknya.
“Pasti dong,
sayang,” jawabku sembari mengecup kening Nesha, berharap apa yang aku lakukan
mampu membesarkan hatinya.
Selesai
mendoakan neneknya, Nesha bergegas membagikan makanan yang sudah kami bungkus.
Katanya, biar dia saja yang keliling membagikan bungkusan-bungkusan tersebut ke
para tetangga, takut kalau ibunya capek.
***
Pagi itu,
aroma tanah basah mengawal perjalananku bersama Nesha. Hujan telah berhenti
seperti memenuhi doa Nesha semalam. Kami menuju rumah ibuku, nenek kesayangan
Nesha yang semalam absen merayakan ulang tahun bersama kami.
Nesha menabur
bunga di pusara ibu. Anak itu matanya sembab setelah mengucapkan selamat ulang
tahun dan panjang mendoakan neneknya. Aku tidak tahu, pemikiran Nesha terkadang
seperti orang dewasa. Tidak rumit, hanya tidak mudah ditebak. Aku tahu Nesha
sedang merindukan neneknya.
Di perjalanan
pulang, aku sempat bertanya kepada Nesha, dan aku terkejut mendengar
jawabannya. “Nesha, Ibu boleh tahu, tadi Nesha berdoa apa buat nenek? Habisnya
lama banget.”
Nesha tidak
langsung menjawab, dia justru merasa geli dengan dirinya sendiri. “Nesha berdoa
banyak buat Nenek. Ibu tahu tidak kenapa semalam Nesha aja yang minta bagikan
bungkusan buat tetangga?”
Aku
menggeleng.
“Nesha bilang
kalo hari ini nenek ulang tahun. Nesha minta doa dari tetangga-tetangga kita
buat doain nenek. Terus tadi Nesha sampaikan semua, deh, ke nenek. Pasti sekarang nenek lagi seneng banget,” terang
Nesha dengan senyum sumringah.
Aku tertegun
sekejap. Ibu pasti suka dengan kejutan Nesha kali ini. Semoga senantiasa damai di kehidapanmu sekarang, Ibu. Selamat ulang
tahun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar