Januari 23, 2021

Hari Ulang Tahun Nenek

Membuka mata di awal Februari yang masih basah oleh hujan. Rentetan momen bahagia di hari ulang tahun ibu bertebaran di langit-langit kamar. Bermula dari tiga tahun lalu ketika Nesha, anak semata wayangku, tiba-tiba saja memintaku untuk memberi sebuah kejutan di hari ulang tahun neneknya. Entah anak berumur empat tahun itu dapat ide dari siapa.

Kini, tiga tahun terlewat, Nesha menjadikan momen itu seperti sebuah kultur di keluarga kami. Meski dirayakan dengan sederhana, tapi selalu menyisakan kehangatan di antara personil keluarga kami. Ah, aku rindu sekali dengan ibu. Rasanya sudah lama tidak berkunjung ke rumah ibu.

“Ibu, besok ulang tahun nenek, kan?” Nesha memelukku, suaranya masih bercampur kantuk.

“Iya, Sayang. Hmmm, Nesha mau kasih kejutan lagi?” tanyaku ragu.

"Masih boleh, kan, Bu?”

Ah, pertanyaan yang lugu, batinku. “Tentu saja boleh. Nenek pasti bakalan seneng.”

“Terima kasih, Ibu. Nanti kita belanja yang banyak, yaaaa,” Nesha merekatkan pelukannya.

***

Selepas subuh tadi, Nesha begitu bersemangat mengajakku berbelanja untuk keperluan ulang tahun neneknya. Sekarang, dia sudah standby di dapur dengan bermacam bumbu masakan beserta ‘teman-temannya’ yang telah dikeluarkan dari keranjang belanjaan.

Ulang tahun ibu kali ini terasa berbeda. Tidak ada kue ulang tahun seperti yang biasa Nesha request. Nesha hanya ingin dimasakkan masakan kesukaan neneknya. Semacam ingin berbagi rejeki yang akan kami bagikan ke para tetangga. Sementara itu, sebenarnya aku tidak yakin ibu akan datang seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, karena Nesha terlihat begitu antusias, aku percaya ada chemistry yang sudah terbentuk di antara Nesha dan ibu. Aku menangkap keyakinan di mata Nesha bahwa ibu akan datang untuk merayakan ulang tahunnya bersama kami.

***

“Ibu! Ibu! Nenek sudah datang. Ayo, nyalakan lilin,” Nesha kegirangan mengetahui neneknya sudah sampai di depan rumah. Aku pun tidak sabar dengan respon ibu yang untuk kali pertama diberi kejutan oleh Nesha.

Pintu terbuka, Nesha berteriak mengucapkan selamat kepada neneknya, “Selamat ulang tahun, Nenekkkk. Tiup lilinnya, tiup lilinnya...” Mata ibu berkaca-kaca. Mencium Nesha, si balita yang berlagak seperti orang gedhe, terus-menerus. Hatiku meleleh melihat keromantisan mereka.

Ah, hanya kenangan!

***

Sssssstttt, Ibu jangan bilang-bilang ke nenek, yaaa,” Nesha berbisik, seolah tahu kalau neneknya turut terlibat dengan kesibukan kami di dapur. Aku tertawa melihat ekspresi Nesha yang benar-benar khawatir, takut kalau neneknya benar-bener mendengar pengakuannya ketika sengaja menghabiskan kue kesukaan neneknya tanpa ijin.

Aku akui, ibu menjadi penyelamatku. Semenjak suamiku meninggal, tepat satu bulan setelah Nesha terlahir, ibulah yang menguatkanku. Ibu membantuku mengasuh Nesha, satu-satunya cucu yang ibu dambakan kehadirannya di dunia ini. Ibu pula yang akhirnya merawat Nesha ketika aku harus keluar mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga kami. Meski begitu, ibu tidak pernah mengeluh.

Nesha bercerita banyak hal tentang ibu. Meski alur ceritanya tidak runtut, aku kira mereka telah menghabiskan banyak waktu dengan penuh sukacita. Sampai hari ini, aku melihat Nesha tumbuh sebagai anak yang lembut dan ceria, aku menemukan ibuku di diri Nesha. Ah, semakin rindu saja dengan ibu!

***

Waktunya telah tiba. Doa-doa kami panjatkan dengan banyak semoga. Nesha begitu khusuk mendoakan neneknya. Doa dari anak yang belum dewasa secara wujud, lirih kudengar kalimatnya, “... Tuhan, mungkin nenek sedang sibuk, aku akan mengunjungi rumahnya besok. Sama ibu. Jangan kasih hujan dulu, ya. Aamiin.”

Cepat-cepat kualihkan pandanganku ketika Nesha mengakhiri doanya.

“Bu, sepertinya nenek tidak datang. Besok kita saja yang mengunjungi nenek. Bagaimana?” Tidak ada kecewa di diri Nesha. Beberapa bulan terlewat, Nesha sangat mengerti apa yang terjadi terhadap neneknya. 

“Pasti dong, sayang,” jawabku sembari mengecup kening Nesha, berharap apa yang aku lakukan mampu membesarkan hatinya.

Selesai mendoakan neneknya, Nesha bergegas membagikan makanan yang sudah kami bungkus. Katanya, biar dia saja yang keliling membagikan bungkusan-bungkusan tersebut ke para tetangga, takut kalau ibunya capek.

***

Pagi itu, aroma tanah basah mengawal perjalananku bersama Nesha. Hujan telah berhenti seperti memenuhi doa Nesha semalam. Kami menuju rumah ibuku, nenek kesayangan Nesha yang semalam absen merayakan ulang tahun bersama kami.

Nesha menabur bunga di pusara ibu. Anak itu matanya sembab setelah mengucapkan selamat ulang tahun dan panjang mendoakan neneknya. Aku tidak tahu, pemikiran Nesha terkadang seperti orang dewasa. Tidak rumit, hanya tidak mudah ditebak. Aku tahu Nesha sedang merindukan neneknya.

Di perjalanan pulang, aku sempat bertanya kepada Nesha, dan aku terkejut mendengar jawabannya. “Nesha, Ibu boleh tahu, tadi Nesha berdoa apa buat nenek? Habisnya lama banget.”

Nesha tidak langsung menjawab, dia justru merasa geli dengan dirinya sendiri. “Nesha berdoa banyak buat Nenek. Ibu tahu tidak kenapa semalam Nesha aja yang minta bagikan bungkusan buat tetangga?”

Aku menggeleng.

“Nesha bilang kalo hari ini nenek ulang tahun. Nesha minta doa dari tetangga-tetangga kita buat doain nenek. Terus tadi Nesha sampaikan semua, deh, ke nenek. Pasti sekarang nenek lagi seneng banget,” terang Nesha dengan senyum sumringah.

Aku tertegun sekejap. Ibu pasti suka dengan kejutan Nesha kali ini. Semoga senantiasa damai di kehidapanmu sekarang, Ibu. Selamat ulang tahun...

*****

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi "Ulang Tahun" yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.



Tidak ada komentar: