Lalu,
di pelataran kenangan yang panjang, aku menemukanmu berdiri begitu lusuh. Aku
tak bisa menebak apa yang kamu pikirkan. Tapi kukira, kamu hanya sedang
merayakan duka atas kehilangan yang tiba-tiba, saat itu.
Ya,
kehilangan memang tak pernah mudah, terlebih kehilangan seseorang yang setiap
hari ingin kita lihat. Kini, aku mendapati tatapanmu yang kosong. Sebanyak
kenangan bertebaran di sana, dadamu mendadak sesak, dan pandanganmu semakin tidak
ada isi.
Aku ingin
melakukan sesuatu untukmu. Setidaknya, bisa mengurangi kesedihanmu. Tapi,
nyatanya aku justru mematung dari jarak yang tak terlihat olehmu. Hmm, lebih
tepatnya kamu tak peduli apakah aku ada di sana atau tidak.
Aku jadi
penasaran, jika seseorang yang tiba-tiba tak ada itu aku, apakah kamu juga akan
merasa kehilangan seperti demikian kesedihanmu? Aku bertanya-tanya, meski
sebenarnya sudah sepaket dengan jawaban yang kupunya sendiri.
Tentu
saja tidak. Aku siapa?
Hanya seorang teman yang mengosongkan pundak untuk kamu isi dengan
cerita-cerita sedihmu. Dan, hanya seorang teman yang melapangkan dadanya ketika
kamu begitu bahagia bercerita banyak hal tentang seseorang lainnya yang bukan
aku.
Ah,
mengenaskan sekali aku ini.
Hmm, jika
seseorang itu aku, apakah kamu juga akan meratapi kepergianku? Jika iya, aku
tak tahu apakah harus bersedih atau sebaliknya. Tapi, kupastikan ketika aku
pergi dari kehidupanmu, aku tak akan pernah benar-benar pergi. Meski kerapkali
kehadiranku hanya menjadi persinggahanmu ketika lelah dan pasrah karena keadaan
yang tak tertebak. Aku akan tetap tinggal dimanapun tubuhmu berada.
Kamu
melangkah, meninggalkan kenangan. Kembali, mencari-cari pundak untuk bersandar.
Ponselku bergetar, namamu terbaca di layar ponsel yang kedip-kedip.
Kendaraanmu
melaju. Aku harus lebih cepat darimu. Menyiapkan pundak atau dada, aku telah
bersiap. Dan selalu siap untuk segalamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar