April 12, 2019

Perpustakan Punya Cerita

Oleh: Isnani Qistiyah

Aku membenci hujan. Aku mencintai hujan. Hujan membuatku tak bisa memandangimu, tapi hujan bisa membuatku berada di jarak yang dekat denganmu, dan aku benci melihatmu, kecuali ketika kamu berjalan sendiri tanpa menggenggam jemari kekasihmu.

Di sini adalah tempat dimana aku bisa menikmatimu. Hanya dengan memandangimu secara diam-diam, itu membuatku merasa cukup. Aku tak mau terlalu berharap untuk sebuah pembalasan rasa. Tenang saja, kamu tak perlu khawatir, perasaanku tak akan melampaui batas logikaku. Tapi ingat, aku manusia biasa, aku bisa kapan saja berubah menjadi sadis seperti yang tak pernah terbayangkan olehmu.
***
Sore ini hujan begitu deras. Aku tak tau harus membencinya atau mencintainya. Karena ketika kutengok di sekitar kantin, kamu tak menampakkan batang hidungmu. Aku bisa menebaknya, kamu sedang berjalan menuju tempatku berdiri untuk menikmatimu, di balik jendela perpustakaan.

Apa aku harus mencintai hujan karena dia berhasil menggiringmu ke perpustakaan? Jadi, aku bisa menikmatimu dengan jarak yang dekat. Atau, aku harus membenci hujan? Karena dia menyuguhiku pemandangan yang indah, tapi harus kunikmati dengan sedikit rasa asam karena aku merasa cemburu. Ah! Bisakah kamu sesekali tak membawa kekasihmu kesana-kemari? Huh!

Kamu tau bagaimana aku harus membolak-balikkan hatiku ketika melihatmu duduk sejajar dengan kekasihmu tepat di hadapanku? Hatiku kelu, karena saat itu aku tak benar-benar sedang membaca buku ekonomiku, percakapanmu dengan kekasihmu membuatku ingin muntah. Ingin sekali kuteriaki kalian, “Woy! Ini perpustakaan, keluar kalau mau pacaran!” Ah, tapi itu tak mungkin kulakukan, nyaliku tak cukup mendampingiku untuk melakukan itu.

Kekasihmu bilang,
dia akan setia padamu. Kamu bilang, cuma dia yang berhasil membuatmu jatuh cinta, hanya dia yang sanggup menciptakan bahagia untukmu. Dia nafasmu, bagian dari hidupmu. Omong kosong! Aku akan buktikan kalau semua percapakanmu dengan kekasihmu saat itu hanyalah omong kosong! Aku yang akan membuatmu benar-benar jatuh cinta, dan harus hanya aku yang pantas menciptakan bahagia untukmu.
***
            Dear Viola,
         Aku cukup lama mencintaimu, hanya saja laki-laki yang kusebut sebagai budakmu itu telah menghalangi langkahku.
Yang mencintaimu,
 “O”
Aku mulai tak sabar menunjukkan perasaanku kepadamu, maka dari itu kuberanikan diri untuk mengirim sepucuk pesan yang kutulis sendiri ini dan kutaruh di loker tempatmu menaruh tas.

Hujan mulai mereda, kupastikan setelah ini kamu dan kekasihmu akan keluar dari perpustakaan, lalu menuju ke kantin, berikutnya akan mengikuti kelas yang satu ruang denganku.
***
Entah kebetulan atau memang takdir,
kamu selalu duduk satu bangku di depan deretan tempatku duduk. Aku bisa melihat ekspresi wajahmu dari samping belakangmu. Aku harap itu adalah ekspresi penasaran, lantas kamu akan mencari identitas pengirim sepucuk pesan itu, dan kamu akan menemukanku hingga pada akhirnya aku bisa mengungkapkan seberapa dalamnya aku mencintaimu di hadapanmu secara langsung.

Tapi ..., sepertinya harapanku pupus. Kamu justru menyobek sepucuk pesan dariku sebelum akhirnya dosen memulai kuliahnya. Huh! Tunggu saja kejutan-kejutan selanjutnya dariku. Kamu akan merasa tersanjung, lalu membuatmu melayang, ketika jatuhpun, kamu akan jatuh di pelukanku.
***
“Dapat kiriman lagi?” tanya kekasihmu.
"Iya, kali ini kalimatnya sedikit mengancam,” terangmu.

Aduh ..., duh ..., maaf kalau aku justru membuatmu takut, Vio. Kiriman sepucuk pesan yang kuletakkan di loker perpustakaan entah itu yang ke berapa kali, itu bukanlah ancaman. Aku hanya mempertegas agar kamu mengerti kalau ada “O” yang cintanya melebihi kekasihmu.

Aku sedih mendengarmu ketakutan karenaku. Ya, aku yang duduk di samping loker tempatmu berdiri dengan kekasihmu, yang pura-pura autis dengan notebook-ku, aku mendengarmu, Vio. Aku tak akan membuatmu ketakutan lagi. Tunggu kejutan dariku selanjutnya.
***
Aroma hujan tercium olehku. Aku menyukainya. Kuhirup dalam-dalam baunya. Kunikmati percikan airnya yang mengenaiku di teras koridor depan perpustakaan. Kamu melewatiku begitu saja dengan kekasihmu. Kamu memang tak pernah melihat keberadaanku, Vio.

Aku membuntutimu, ikut masuk ke dalam perpustakaan. Kali ini aku harus mengendap-endap untuk bisa menaruh sepucuk pesan di lokermu. Tak pernah sesulit ini sebelumnya, karena kulihat kamu tengah mengintai lokermu.

Kekasihmu meninggalkan perpustakaan, mungkin hanya sekedar membuang air kecil. Aku menunggu situasi dan kondisi sampai aman. Ketika kamu lengah, aku akan memasukkan sepucuk pesan beserta bonus sebatang cokelat ke dalam lokermu.

Tik ... tok ... tik ... tok ... Yup, aku berhasil meletakkan bingkisanku ke lokermu. Brukkk!!! Aku terjatuh di depan lokermu. Semua pasang mata yang berada di dalam perpustakaan menatapku dengan tatapan nanar.

“Oh! Ternyata cowok berkacamata inilah yang selama ini membuat Viola ketakutan. Dasar cupu! Brengsek!!!”

Prokk!!! Tubuhku tersungkur di kakimu. Kacamataku terlempar jauh dari tempatku tersungkur. Aku masih bisa melihatmu. Aku masih bisa mendengar makian dari mulut kekasihmu yang dilempar untukku. Seketika kupejamkan mataku ketika kekasihmu berniat mendaratkan kakinya di wajahku.

Sial! Harusnya aku mati seketika itu. Teriakan dari pengunjung perpustakaan dan gertakan dari penjaga perpustakaan membuat kekasihmu menahan gerakan kakinya. Ya, aku lebih baik mati daripada harus menerima rasa malu ini. Aku lebih baik mati daripada akhirnya harus melihatmu membenciku.

Kekasihmu membantuku berdiri. Prakk!!! Hantaman dari kepalan tangannya mendarat tepat di sebelah mataku. Aku terkapar di meja, kekasihmu keluar dari perpustakaan. Aku masih bisa melihatmu, kamu nampak kebingungan, mungkin diantara ingin mengejar kekasihmu atau ingin menolongku.

“Opank, kamu tak seharusnya berbuat demikian,” suaramu lirih kudengar.
“Aku ... aku cuma ingin kamu tau, kalau aku ... aku mencintaimu,” jelasku sedikit terbata.
“Caramu salah, Opank,” kamu menyalahkan caraku, padahal semua itu kulakukan hanya untukmu, hanya itu yang bisa kulakukan. Kamu keluar dari perpustakaan, meninggalkanku.
***
Sejak kejadian di perpustakaan itu, aku mengakhiri rasaku untukmu. Rasanya sangat lelah memperjuangkanmu. Aku tak membenci kekasihmu, apalagi membenci dirimu. Kamu terlalu sulit untuk kurengkuh. Hatimu terlalu lembut jika harus kamu bagi denganku – meski itu tak mungkin.
Aku berhenti mencintaimu meski aku sendiri ragu.

         Untuk, Viola.
         Terima kasih telah membuatku mengerti bagaimana harus memperlakukan rasa dengan baik. Maaf telah membuatmu takut. Aku akan belajar berhenti mencintaimu.
 Aku, yang berhenti mengharapkanmu 
“O”
Itu akan menjadi sepucuk pesan terakhir yang kutulis untukmu, menjadi sepucuk pesan terakhir yang kuletakkan di lokermu, karena aku tak akan lagi mengunjungi tempat yang membuatku merasa tak punya harga diri. Good bye, Viola.



Setiap Tempat Punya Cerita
Penerbit   : AE Publishing
Cetakan I : Malang, Juni 2014
ISBN   : 978-602-1189-01-6

Tidak ada komentar: