Oleh: Isnani Qistiyah
Aku membenci hujan. Aku mencintai hujan. Hujan membuatku tak bisa memandangimu, tapi hujan bisa membuatku berada di jarak yang dekat denganmu, dan aku benci melihatmu, kecuali ketika kamu berjalan sendiri tanpa menggenggam jemari kekasihmu.
Aku membenci hujan. Aku mencintai hujan. Hujan membuatku tak bisa memandangimu, tapi hujan bisa membuatku berada di jarak yang dekat denganmu, dan aku benci melihatmu, kecuali ketika kamu berjalan sendiri tanpa menggenggam jemari kekasihmu.
Di sini adalah tempat dimana aku
bisa menikmatimu. Hanya dengan memandangimu secara diam-diam, itu membuatku merasa
cukup. Aku tak mau terlalu berharap untuk sebuah pembalasan rasa. Tenang saja,
kamu tak perlu khawatir, perasaanku tak akan melampaui batas logikaku. Tapi
ingat, aku manusia biasa, aku bisa kapan saja berubah menjadi sadis seperti
yang tak pernah terbayangkan olehmu.
***
Sore ini hujan begitu deras. Aku tak
tau harus membencinya atau mencintainya. Karena ketika kutengok di sekitar
kantin, kamu tak menampakkan batang hidungmu. Aku bisa menebaknya, kamu sedang
berjalan menuju tempatku berdiri untuk menikmatimu, di balik jendela
perpustakaan.
Apa aku harus mencintai hujan karena
dia berhasil menggiringmu ke perpustakaan? Jadi, aku bisa menikmatimu dengan
jarak yang dekat. Atau, aku harus membenci hujan? Karena dia menyuguhiku
pemandangan yang indah, tapi harus kunikmati dengan sedikit rasa asam karena
aku merasa cemburu. Ah! Bisakah kamu sesekali tak membawa kekasihmu kesana-kemari?
Huh!
Kamu tau bagaimana aku harus
membolak-balikkan hatiku ketika melihatmu duduk sejajar dengan kekasihmu tepat
di hadapanku? Hatiku kelu, karena saat itu aku tak benar-benar sedang membaca
buku ekonomiku, percakapanmu dengan kekasihmu membuatku ingin muntah. Ingin
sekali kuteriaki kalian, “Woy! Ini perpustakaan, keluar kalau mau pacaran!” Ah,
tapi itu tak mungkin kulakukan, nyaliku tak cukup mendampingiku untuk melakukan
itu.
Kekasihmu bilang,
dia akan setia padamu. Kamu bilang, cuma dia yang berhasil membuatmu jatuh cinta, hanya dia yang sanggup menciptakan bahagia untukmu. Dia nafasmu, bagian dari hidupmu. Omong kosong! Aku akan buktikan kalau semua percapakanmu dengan kekasihmu saat itu hanyalah omong kosong! Aku yang akan membuatmu benar-benar jatuh cinta, dan harus hanya aku yang pantas menciptakan bahagia untukmu.
dia akan setia padamu. Kamu bilang, cuma dia yang berhasil membuatmu jatuh cinta, hanya dia yang sanggup menciptakan bahagia untukmu. Dia nafasmu, bagian dari hidupmu. Omong kosong! Aku akan buktikan kalau semua percapakanmu dengan kekasihmu saat itu hanyalah omong kosong! Aku yang akan membuatmu benar-benar jatuh cinta, dan harus hanya aku yang pantas menciptakan bahagia untukmu.
***
Dear Viola,
Aku cukup lama mencintaimu, hanya
saja laki-laki yang kusebut sebagai budakmu itu telah menghalangi langkahku.
Yang mencintaimu,
“O”
Aku mulai tak sabar menunjukkan
perasaanku kepadamu, maka dari itu kuberanikan diri untuk mengirim sepucuk
pesan yang kutulis sendiri ini dan kutaruh di loker tempatmu menaruh tas.
Hujan mulai mereda, kupastikan
setelah ini kamu dan kekasihmu akan keluar dari perpustakaan, lalu menuju ke
kantin, berikutnya akan mengikuti kelas yang satu ruang denganku.
***
Entah kebetulan atau memang takdir,
kamu selalu duduk satu bangku di depan deretan tempatku duduk. Aku bisa melihat ekspresi wajahmu dari samping belakangmu. Aku harap itu adalah ekspresi penasaran, lantas kamu akan mencari identitas pengirim sepucuk pesan itu, dan kamu akan menemukanku hingga pada akhirnya aku bisa mengungkapkan seberapa dalamnya aku mencintaimu di hadapanmu secara langsung.
kamu selalu duduk satu bangku di depan deretan tempatku duduk. Aku bisa melihat ekspresi wajahmu dari samping belakangmu. Aku harap itu adalah ekspresi penasaran, lantas kamu akan mencari identitas pengirim sepucuk pesan itu, dan kamu akan menemukanku hingga pada akhirnya aku bisa mengungkapkan seberapa dalamnya aku mencintaimu di hadapanmu secara langsung.
Tapi ..., sepertinya harapanku
pupus. Kamu justru menyobek sepucuk pesan dariku sebelum akhirnya dosen memulai
kuliahnya. Huh! Tunggu saja kejutan-kejutan selanjutnya dariku. Kamu akan
merasa tersanjung, lalu membuatmu melayang, ketika jatuhpun, kamu akan jatuh di
pelukanku.
***
“Dapat kiriman lagi?” tanya
kekasihmu.
"Iya, kali ini kalimatnya sedikit
mengancam,” terangmu.
Aduh ..., duh ..., maaf kalau aku
justru membuatmu takut, Vio. Kiriman sepucuk pesan yang kuletakkan di loker
perpustakaan entah itu yang ke berapa kali, itu bukanlah ancaman. Aku hanya
mempertegas agar kamu mengerti kalau ada “O” yang cintanya melebihi kekasihmu.
Aku sedih mendengarmu ketakutan
karenaku. Ya, aku yang duduk di samping loker tempatmu berdiri dengan
kekasihmu, yang pura-pura autis dengan notebook-ku,
aku mendengarmu, Vio. Aku tak akan membuatmu ketakutan lagi. Tunggu kejutan
dariku selanjutnya.
***
Aroma hujan tercium olehku. Aku
menyukainya. Kuhirup dalam-dalam baunya. Kunikmati percikan airnya yang
mengenaiku di teras koridor depan perpustakaan. Kamu melewatiku begitu saja
dengan kekasihmu. Kamu memang tak pernah melihat keberadaanku, Vio.
Aku membuntutimu, ikut masuk ke
dalam perpustakaan. Kali ini aku harus mengendap-endap untuk bisa menaruh
sepucuk pesan di lokermu. Tak pernah sesulit ini sebelumnya, karena kulihat kamu
tengah mengintai lokermu.
Kekasihmu meninggalkan perpustakaan,
mungkin hanya sekedar membuang air kecil. Aku menunggu situasi dan kondisi
sampai aman. Ketika kamu lengah, aku akan memasukkan sepucuk pesan beserta
bonus sebatang cokelat ke dalam lokermu.
Tik ... tok ... tik ... tok ... Yup,
aku berhasil meletakkan bingkisanku ke lokermu. Brukkk!!! Aku terjatuh di depan lokermu. Semua pasang mata yang
berada di dalam perpustakaan menatapku dengan tatapan nanar.
“Oh! Ternyata cowok berkacamata
inilah yang selama ini membuat Viola ketakutan. Dasar cupu! Brengsek!!!”
Prokk!!!
Tubuhku tersungkur di kakimu. Kacamataku terlempar jauh dari tempatku
tersungkur. Aku masih bisa melihatmu. Aku masih bisa mendengar makian dari
mulut kekasihmu yang dilempar untukku. Seketika kupejamkan mataku ketika
kekasihmu berniat mendaratkan kakinya di wajahku.
Sial! Harusnya aku mati seketika
itu. Teriakan dari pengunjung perpustakaan dan gertakan dari penjaga
perpustakaan membuat kekasihmu menahan gerakan kakinya. Ya, aku lebih baik mati
daripada harus menerima rasa malu ini. Aku lebih baik mati daripada akhirnya
harus melihatmu membenciku.
Kekasihmu membantuku berdiri. Prakk!!! Hantaman dari kepalan tangannya
mendarat tepat di sebelah mataku. Aku terkapar di meja, kekasihmu keluar dari
perpustakaan. Aku masih bisa melihatmu, kamu nampak kebingungan, mungkin
diantara ingin mengejar kekasihmu atau ingin menolongku.
“Opank, kamu tak seharusnya berbuat
demikian,” suaramu lirih kudengar.
“Aku ... aku cuma ingin kamu tau,
kalau aku ... aku mencintaimu,” jelasku sedikit terbata.
“Caramu salah, Opank,” kamu
menyalahkan caraku, padahal semua itu kulakukan hanya untukmu, hanya itu yang
bisa kulakukan. Kamu keluar dari perpustakaan, meninggalkanku.
***
Sejak kejadian di perpustakaan itu,
aku mengakhiri rasaku untukmu. Rasanya sangat lelah memperjuangkanmu. Aku tak
membenci kekasihmu, apalagi membenci dirimu. Kamu terlalu sulit untuk
kurengkuh. Hatimu terlalu lembut jika harus kamu bagi denganku – meski itu tak
mungkin.
Aku berhenti mencintaimu meski aku
sendiri ragu.
Untuk,
Viola.
Terima kasih telah membuatku mengerti bagaimana harus
memperlakukan rasa dengan baik. Maaf telah membuatmu takut. Aku akan belajar berhenti
mencintaimu.
Aku, yang
berhenti mengharapkanmu
“O”
“O”
Itu akan menjadi sepucuk pesan
terakhir yang kutulis untukmu, menjadi sepucuk pesan terakhir yang kuletakkan
di lokermu, karena aku tak akan lagi mengunjungi tempat yang membuatku merasa
tak punya harga diri. Good bye,
Viola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar