Selamat pagi, Februari, bulan yang (katanya) penuh cinta. Semoga kasih
sayangmu bisa menyebar di seluruh Indonesia dengan adil dan beradab. Agar tak
ada lagi kekampretan-kekampretan yang membuatku terkekeh kemudian menangis
seketika.
Januari, 26 2015
Pukul 14:05, kala itu mendung menggantung di langit siang. Ada rindu yang
segera kutuntaskan. Kawan lamaku, Wanda (kawan jaman putih abu-abu) telah
menunggu di tempat yang familiar dengan sebutan 'mall'. Kurang lebih sudah seabad
kami tak bertatap muka. -__-
Bertemu, dan aku melihat kawanku itu terlihat lebih
fresh. Masih montok dan sepertinya tak seabsurd dulu. Mungkin dia sedang tak ada mood buat absurd. Hanya saja ketika kami jalan-jalan di mall itu, kami merasakan keabsurdan yang luar biasa, bolak-balik tak jelas, keluar masuk toko buku, bingung juga mau ngapain karena sebenarnya kami bukan anak mall, sehingga kami memutuskan untuk menikmati ice cream sembari berceloteh tentang banyak hal. Mulai dari nanya kabar keluarga sampai obrolan dengan tema yang romantis, yaitu revisian skripshit. Tsah! Ternyata ice cream tak cukup menemani pertemuan kami yang membutuhkan banyak waktu itu. Kami pindah ke lantai tiga, tepatnya di warung teh.
fresh. Masih montok dan sepertinya tak seabsurd dulu. Mungkin dia sedang tak ada mood buat absurd. Hanya saja ketika kami jalan-jalan di mall itu, kami merasakan keabsurdan yang luar biasa, bolak-balik tak jelas, keluar masuk toko buku, bingung juga mau ngapain karena sebenarnya kami bukan anak mall, sehingga kami memutuskan untuk menikmati ice cream sembari berceloteh tentang banyak hal. Mulai dari nanya kabar keluarga sampai obrolan dengan tema yang romantis, yaitu revisian skripshit. Tsah! Ternyata ice cream tak cukup menemani pertemuan kami yang membutuhkan banyak waktu itu. Kami pindah ke lantai tiga, tepatnya di warung teh.
Di sana ada lebih banyak cerita-cerita yang terbagi. Tentang kesibukan, aku cuma sedang sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa skripsi adalah pacar yang harusnya kugauli setiap waktu, juga lagi senang-senangnya bermain-main dengan anak-anak di Sahabat Tenggang SMG. Di sana aku punya banyak cerita tentang anak-anak Sekolah Dasar yang menurutku minim perhatian. Beberapa kudengar cerita dari mereka yang jauh dari orang tua karena harus mencari dollar dengan menjadi TKI, korban perceraian, putus sekolah karena ekonomi, dan lain-lain.
Wanda tak sempat menjawab pertanyaanku tentang kesibukannya. Dia lebih
antusias berbagi oleh-oleh dari tempatnya KKN di Temanggung beberapa waktu
lalu, di desa apa aku lupa. Ternyata di sana sama menyedihkannya dengan
anak-anak di sini.
***
- Ini oleh-oleh dari Wanda -
- Di dalam Indonesia, khusunya Temanggung, bisa dibilang pedalaman sih, ternyata masih ada anak-anak sekolah yang nggak mampu pake sepatu. Masih ada satu sekolah yang murid-muridnya pake seragam beda-beda, ini karena beberapa nggak mampu beli seragam, jadi mereka cuma punya satu seragam yang harusnya dipakai untuk hari-hari tertentu aja.
- Ada juga, remaja yang tinggal bersama adiknya, waktu ditanya, "Emang bapak di mana?" dan remaja itu menjawab dengan senyum getirnya, "Aku nggak pernah tau."
- Ada juga seorang bapak, beliau banting tulang di Semarang buat berjuang membiayai sekolah anaknya yang udah duduk di bangku SMP. Bapak ini baik, jujur, tekun, dan bertanggung jawab atas pekerjaannya. Kerapkali atasannya ngasih kelebihan gaji, dan itu bikin temen-temennya iri. Tau apa yang beliau lakukan? Itu bapak rela keluar dari kerjaannya demi teman-temannya yang iri biar nggak terjadi masalah. Padahal, beliau lagi bersusah payah buat menghidupi keluarganya dan membiayai anaknya yang cerdas itu meskipun selalu belajar dengan cara yang seadanya.
- Di sana rumah-rumah bagus masih bisa di hitung. Kebanyakan rumah di sana punya dua lantai, tapi di lantai ke dua nggak ada atapnya, itu cuma buat tempat jemuran hasil panen.
- Buat mandi, kita harus berbagi air dengan tetangga lainnya, jadi semisal air di rumah ini habis, kita bisa mandi di tempat tetangga yang airnya masih penuh, begitu seterusnya. Jadi, di sana rasa kekeluargaannya masih ada.
- Di sana, ada sekolahan yang kekurangan guru. Guru-guru di sana hanya fokus dengan murid-murid yang bakal ngadepin ujian. Semisal di kelas 6, jadi kelas-kelas dibawahnya cuma di kasih PR tanpa pernah dikasih pengertian materi yang jelas. Bayangkan! Nggak pernah diajarin, nggak pernah dikasih materi, tiba-tiba dikasih PR, jadi PR itu bisa numpuk satu LKS sekaligus. Bayangkan! Jadi, kehadiran anak-anak KKN ini begitu dielu-elukan sama anak-anak di sini. Ternyata mereka itu sebenernya pinter kalo ditelateni. Mereka cuma nggak ada wadah buat nanya banyak hal.
- Itu bagian dari Indonesia.
***
Dengan suara yang menggebu-nggebu, dan aku memasang telinga dengan tajam,
tiba-tiba menjadi hening dan tumpul. Dari sudut mata kami masing-masing, ada buliran air
bening yang menggantung, dan kami enggan untuk menjatuhkannya.
Kami terkekeh, mengingat berita-berita yang lagi hot di Indonesia tak pernah menyentil soal itu. Masih banyak lagi cerita yang kami urai, lebih tepatnya
unek-unek yang ada di hati bagian paling sensitif. Muncul pertanyaan-pertanyaan
yang kami sendiri ragu memprediksi jawabannya. Bagaimana bisa Tuhan membuat seseorang
kaya raya hanya dengan menengadahkan tangan di pinggiran jalan? Bagaimana bisa
Tuhan membiarkan orang-orang yang bekerja keras, orang-orang yang memilih
pekerjaan mulia daripada sekedar meminta-minta, seperti bapak tua tukang becak,
nenek penjual kacang rebus yang berjalan berkilo-kilo meter, dan anak-anak
penjual koran justru dibuatNya susah mencapai kata "sederhana" dalam
hidup mereka? Juga, orang-orang sepertiku, kenapa Tuhan selalu memberiku
berbagai kenikmatan yang bertubi-tubi padahal aku terlalu sering lupa untuk
bersyukur, untuk sekedar mengucap kata "alhamdulillah", itu membuatku
merasa jadi hamba paling tengil, paling tak tau diri. Kenapa Tuhan? Tampar
aku! Agar aku tau, apa yang sedang kulalui, dan bagaimana aku seharusnya.
***
Telepon genggamku bergetar, ada nama "Babe" tertera di layar. Yup, itu berarti aku sudah diminta pulang oleh Bapak. Sebelum aku dan Wanda mengakhiri pertemuan hari ini, Wanda menutup dengan satu cerita lagi.
Kamu tau, Nen (nama panggilanku) apa yang bikin aku nggak habis pikir? Pas perpisahan, anak-anak seumuran kelas 1 Sekolah Dasar nangisin kami coba. Apa gitu yang ada di benak mereka, apa yang mereka pikirin sampe nangis gitu. Tau apa mereka tentang perpisahan? Rasanyaa, di hati tuh nggak tega buat ninggalin mereka, rasanya kayak yang udah jadi sodara. Dan gila! Aku mendadak jadi cengeng pas beberapa anak ngasih kami bungkusan, mereka udah nganggep kami kayak kakak mereka sendiri. Mereka bilang bungkusannya buat kenangan, mereka sampe tau mana yang berhijab, mana yang enggak. Meskipun cuma sebuah jepit rambut dan pin buat yang berhijab, tapi lihatlah cara mereka mengharagai kami, cara mereka berterima kasih. Mereka bilang, mereka nabung dari uang jajan mereka sendiri yang menurutku pasti pas-pasan. Cobaaa. Harusnya kami kan ya yang ngasih mereka. Kami yang musti ninggalin mereka sesuatu. Yang bikin aku kepikiran sampe sekarang, mereka nggak lagi belajar kayak pas ada anak-anak KKN, mereka masih bingung harus berdiskusi sama siapa. Itu!
Jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 19:22, aku dan Wanda keluar dari
warung teh yang beberapa pelayannya memandang kami dengan sangat sebal. Kami
membawa pulang kejutan-kejutan kehidupan di dalam hati. Biarlah nanti kami
olah, entah akan menjadi apa, tapi yang pasti hari ini begitu berarti. Reuni dua
perempuan yang dihantam dengan realita-realita yang pedih.
Terima kasih, Tuhan, Kau meluangkan lagi hari
yang membuatku lebih sadar betapa banyak hal kecil yang harus kusyukuri,
seperti bernafas.
![]() |
Selfie dulu sebelum pertemuan berikutnya terlaksana dengan cerita-cerita yang lebih kampret. |
Di Genuk, ketika
gerimis menjalani takdirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar