Mendengar
suaramu, menatap senyumanmu, dan mengamati punggungmu meski dari kejauhan. Aku
mencintaimu dengan diam. Meski dengan diam kutemukan banyak kesedihan
dibandingkan kebahagiaan. Tapi, aku tak pernah mau egois, aku selalu turut bahagia
atas bahagiamu.
***
Namanya Della, dia satu-satunya sahabat
yang menemaniku sampai di semester lima ini. Aku dan dia menempati kamar kos
yang sama. Tawa-duka, sedih-bahagia telah kulewati bersama dengannya, termasuk
harus puasa tiga hari karena jatah dari orang tua sudah habis. Meskipun kami
begitu dekat, kami tak pernah memaksa untuk menceritakan masalah yang menurut
kami masuk kategori privasi, masing-masing dari kami saling memahami. Sampai pada
kisah dimana aku terjebak pada perasaan yang kupendam sendiri. Mencintai
diam-diam.
“Sis, akhirnya gue jadian sama
Jojo,” Della dengan sumringah menceritakan momen bahagianya padaku. Cintanya
bersambut.
“Oh, ya? Sama anak yang suka lo
ceritain itu? Udah bisa dikenalin ke gue dong?” pintaku karena memang selama ini
Della tak pernah membawa lelaki itu di hadapanku.
“Siap deh. Sebenernya lo udah kenal
sih, tapi ntar deh biar surprise gue temuin lo sama dia. Tapi, lo juga harus
ngajakin gebetan yang selama ini lo ceritain itu ya? Yang sok-sok misterius
itu. Oke?” Della menantangku.
“Wah, ngledek lo. Lo kan tau gue
cuma secret admirer, boro-boro
ngajakin nge-date, lihat dari jauh
aja bawaannya pingin pingsan. Nggak janji deh,” jawabku dengan penuh sesal. Ah, andai saja mengatakan cinta semudah membalikkan
tangan. Andai saja lelaki yang kukagumi tau bahwa ada perempuan yang selama ini
mengintainya.
***
Sabtu malam kunikmati hening di kamar
kos seorang diri. Ini menyedihkan. Penghuni kamar yang lain jelas sudah
dijemput dengan pasangan masing-masing. Della baru saja keluar, ini jadi malam
minggu pertamanya dengan Jojo. Aku senang, pada akhirnya Della bisa menaklukkan
Jojo, lelaki yang selama ini tak pernah lepas dari cerita-ceritanya yang selalu
menggebu.
Aku? Jangan tanya lagi, sudah biasa
jadi security kosan di Sabtu malam begini. Lagi-lagi karena statusku sebagai secret admirer, aku hanya bisa berkhayal
tentang dia yang tak pernah menyadari keberadaanku. Sempat kupikirkan bagaimana
agar bisa berceloteh dengan dia dalam waktu yang lama, bukan sekedar melempar
senyum ketika berpapasan, bukan hanya say
hello ketika berada di tempat yang sama. Tapi, pada akhirnya aku hanyalah
pengkhayal sejati yang tak pernah berani untuk mengakhiri mimpi dan membuatnya
menjadi nyata. Itu tak mungkin.
***
Waktu terus merangkak. Aku masih saja
bertahan dengan statusku sebagai secret
admirer. Ada cemburu yang sering menyergap, membuatku tak ingin lagi
lama-lama menatap. Tapi, aku kalah dengan pesonanya, dia selalu menarikku untuk
terus menatapnya lebih lekat. Sungguh aku melayang ketika suara lembutnya
kudengar sangat kuat.
“Sorry,” katanya ketika tak sengaja
menginjak kakiku karena berdesakan di depan warung fotocopy-an. Aku hanya tersenyum, senyum yang kubuat semenarik
mungkin. Kemudian dia berlalu begitu saja. Gagal
menarik perhatian!
Dibandingkan bahagia yang kurasa,
kesedihan lebih sering hadir. Hadir ketika aku cemburu dia jalan ke kelas
dengan teman perempuannya, cemburu karena dia bisa tertawa lepas dengan
teman-temannya. Cemburu ketika aku tau dia memutuskan untuk menikah di usia
muda. Padahal, masih satu semester lagi untuk dia wisuda. Pada cemburu-cemburu
itu kesedihanku meletup.
***
Lagi dan lagi, aku harus memasang
telinga untuk Della menceritakan tentang Jojo, itu membuatku menelan ludah. Ah,
aku harus berani menyatakan perasaanku pada lelaki yang kukagumi, agar aku juga
punya cerita seperti Della.
“Cieee, yang habis jalan-jalan,
seneng banget,” godaku ketika Della baru saja pulang malam mingguan. Dia
mengulurkan sebungkus nasi goreng untukku. Lalu mendadak termenung. “Kenapa
lo?” lanjutku.
“Jojo ngajakin gue nikah. Dia
serius, Sis. Gue baru aja dibawa ke orangtuanya. Gue bingung harus gimana.”
“Ha?! Lo serius, Dell? Bukannya dia
masih kuliah juga? Kata lo, dia cuma beda dua semester kan, ya?” Aku terkejut.
Secepat itu? Pasti dia lelaki yang bertanggungjawab, nyatanya dia mengikat
Della dengan cara yang seserius itu.
“Iya, bulan depan Jojo dan keluarganya
ke rumah gue. Pokoknya lo juga harus dateng ya di tunangan gue. Jangan lupa
tuh, gebetan lo yang sok-sok misterius itu lo bawa, nggak mau tau gimana cara
lo bisa ngedeketin dia.” Hah! Tantangan
lagi.
“Andai aku bisa, Dell, sayangnya aku
hanyalah sebutir debu di padang pasir. Nggak kelihatan. Nggak pernah bakal
kelihatan oleh dia,” aku mendadak mellow galau.
“Berjuanglah, kawan! Cinta itu harus
diperjuangkan!”
***
Tiba waktunya dimana aku bisa
melihat pasangan Della. Lelaki yang akan meminang Della di usia muda. Aku
menepati janjiku untuk menghadiri acara bahagia Della dan Jojo, meski akhirnya tidak
hadir dengan gebetan yang kukagumi.
Ada bahagia yang justru
memporaporandakan hatiku pagi itu. Jojo atau lebih kukenal dengan nama Johanes,
ternyata lelaki yang kukagumi itu meminang sahabatku sendiri. Lelaki yang
selalu masuk dalam khayalanku, lelaki yang membuatku berdegub hanya karena satu
kata yang terlontar dari mulutnya, lelaki Della yang selalu dia banggakan.
Aku tak pernah melihat mereka
bersama di kampus. Aku tak pernah menyadari Jojo yang Della ceritakan adalah
Johanes yang yang selama ini kukagumi. Hubungan mereka benar-benar tak terekam
oleh lensa mataku. Tersembunyi rapi.
Rasanya ingin pergi dari ruangan
ini. Ingin menghentikan acara yang kusaksikan langsung di depan mata. Hatiku
sangat kelu. Ada air mata yang meluber dari sudut mataku. Aku memeluk Della.
“Gue terharu. Akhirnya lo bisa sama
Jojo. Semoga terus langgeng ya, Dell.” Tipuku pada Della.
Andai kamu tau, Dell, air mata ini
bukan sekedar haru, ini adalah luka yang akan menganga di hatiku. Aku menipumu,
lepas dari bahagiaku karena kamu berhasil membuat nyata mimpimu untuk bisa
mendapatkan Johanes, ada sakit yang luar biasa. Sakitnya tuh di sini... di
relung hati paling dalam.
Lantas, apa aku harus menuruti
pesanmu untuk memperjuangkan cintaku, Dell? Ah, aku hanya bisa berdoa semoga
ada Johanes lain untukku, jodoh untuk anak-anak ngenes sepertiku.
Penerbit : Pena House
Cetakan I : Februari 2015
ISBN : 978-602-0937-38-0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar