Keluarlah, pergilah,
dan bersenang-senanglah. Tak apa kamu habiskan waktu bersama teman-teman
kesayangan. Tapi sebelum itu, tengoklah ke dalam rumah terlebih dulu, adakah seseorang
yang lebih ingin bersenang-senang denganmu, menghabiskan waktu bersamamu?
***
Waktu
adalah pengingat masa lalu, perekam setiap perubahan hidup yang pernah aku lewati.
Tentang perubahan-perubahan itu sendiri, aku sadar, waktu telah menjadikanku
tumbuh ke dalam dunia yang bebas, lantas membuatku sedikit lupa dengan malaikat
yang senantiasa mengurusku, dan itu semua membuatku ingin berlari ke masa lalu.
Aku selalu berharap agar waktu bisa membawaku kembali ke masa di mana aku bisa
menghabiskan waktu hanya dengan ibu.
Ini tentang aku dan ibu, menjalani
hidup dengan penuh rasa syukur tinggal di rumah yang sederhana. Aku adalah
mahasiswi semester lima. Memiliki dunia yang luas, bergaul dengan banyak teman,
dan aktif berkegiatan di kampus. Sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah
tangga yang sedia setiap saat memberikan bantuannya untukku dan mengurus semua pekerjaan
rumah dengan sebaik mungkin.
***
Liburan
semester ada di depan mata. Aku telah menuliskan list tempat liburan yang akan
aku kunjungi bersama teman-teman kampusku.
“Duh,
serius amat, bikin apa sih?” tanya ibu ketika mendapati aku sedang menulis di
meja kamar.
“Eh,
ada ibu. Kemari, Bu,” aku mempersilakan ibu masuk ke dalam kamarku. “Hmm, gini Bu, bentar lagi kan liburan
semester, Nirina bikin list tempat plus
jadwal liburan gitu,” jawabku sembari menyodorkan list yang aku tulis. “Gimana,
Bu?”
Ibu
membaca dengan teliti, “Hmm, sebanyak ini tempat yang bakal kamu kunjungi?”
selidik Ibu.
“Ya,
nggak juga, Bu. Ini cuma buat usulan aja ke temen-temen. Nanti dipilih lagi.
Mana yang paling banyak di pilih, tempat itu yang bakal kami kunjungi,”
jelasku.
“Berapa
tempat yang akan dikunjungi? Jangan yang jauh-jauhlah, sekarang kan lagi musim
hujan, banjir dimana-mana, sikonnya lagi nggak bagus. Lagian, emang punya uang
saku?”
“Bisa
jadi tiga sampai lima tempat, Bu. Secara, liburan semesteran kan dua bulan, gak
mungkin, kan, Nirina di rumah terus? Bisa bosan, Bu. Hmm, kalau masalah uang
saku, Ibu nggak usah pikirin, Nirina udah nabung jauh-jauh hari kok. Tinggal berangkat, semua beres.”
“Ya
sudah. Tapi, dipikirin lagi ya mumpung belum sampai hari-H.” Ada setangkup
harap di mata bening ibu, entah itu apa, aku gagal menebaknya.
“Beres,
Bu,” yakinku pada Ibu. Ibu meninggalkan kecupan di keningku, lama sekali,
kemudian keluar.
Ada
perasaan aneh ketika ibu mengecup keningku, seperti ada rindu yang tersamarkan
oleh jarak. Ya, kecupan yang telah lama tak mendarat di keningku. Aku
merindukan ibu? Atau ibu yang merindukanku? Bukankah kami tinggal satu atap?
Aku bertanya pada diriku sendiri.
***
Sore
ini kusiapkan barang-barang yang kubutuhkan untuk liburan. Liburan minggu
pertama akan kuhabiskan di Kota Pelajar sesuai jadwal yang telah aku sepakati
dengan teman-teman.
“Bu,
ransel Nirina yang warna biru, Ibu simpen di mana?”
“Ada
di atas almari. Coba dicek,” jawab ibu yang tengah asyik dengan dunianya sendiri
di dapur.
Aku
meraih ransel yang ada di atas almari, sesuatu telah terjatuh bersamaan dengan ransel
yang aku ambil.
Aku
memungutnya. Buku berukuran sedang berwarna merah marun, seperti buku diary. Aku
membukanya. Ada fotoku bersama ibu di halaman depan. Aku membuka lembar
berikutnya, terus sampai pada catatan terakhir di lembar tengah buku ini. Membaca
tiap kata yang terangkai menjadi kalimat-kalimat indah. Aku yakin, ini diary
milik ibu. Catatan terakhir di dalamnya sukses menyesakkan dadaku.
***
Selamat pagi, Tuhan ...
Tuhan, sebelumnya aku
ingin berterima kasih pada-Mu. Terima kasih telah Kau hadirkan seorang buah
hati yang cerdas dan aktif seperti Nirina. Kini, Nirina telah tumbuh menjadi dewasa,
mulai berinteraksi dengan banyak orang. Tuhan, titip Nirina, jaga dia dari
pergaulan yang tidak baik. Pilihkan dia teman-teman yang tulus dengannya, yang bisa
mendukung setiap hal positif yang dia lakukan. Tuhan, beri dia semangat serta
kekuatan untuk menjalani hidup yang serba keras ini.
Tuhan, aku sangat
bersyukur memiliki Nirina. Dia selalu bisa membuatku tersenyum. Lindungi Nirina,
Tuhan. Aku selalu bangga dengan prestasi yang kerapkali dia persembahkan untukku.
Tapi, Tuhan, bolehkah aku mengadu pada-Mu?
Tuhan, sebenarnya ini
yang ingin aku sampaikan pada-Mu, bahwa aku kesepian. Semenjak Nirina masuk
dalam dunianya, aku mulai kehilangan sosoknya. Sosok Nirina yang selalu membutuhkan
batuanku, yang selalu meminta pendapatku untuk semua hal yang akan dia lakukan.
Aku rindu, Tuhan, menjadi pendengar untuk setiap cerita yang dia lontarkan,
meskipun terkadang cerita itu telah berulang-ulang dia ceritakan. Aku rindu,
Tuhan, ketika dia merengek memintaku untuk ditemani belanja di mall. Aku rindu
kecupan hangatnya setiap pagi, sebelum dia keluar rumah untuk menjalani aktivitasnya.
Tuhan, jika Kau mengizinkan,
bolehkah aku meminta kepada-Mu agar waktu Kau putar kembali ke masa di mana aku
bisa menghabiskan waktu bersama Nirina? Atau setidaknya, beri aku kesempatan
sehari saja untuk mengulang waktu yang indah itu.
Tuhan, aku hanyalah ibu
rumah tangga yang tengah merasai sepi. Yang tengah merasa bosan dengan segala
aktivitas yang itu-itu saja selama bertahun-tahun. Aku ingin, sesekali ketika
Nirina libur, dia menemaniku di rumah, membuat kue bolu bersama atau sekedar
bercerita.
Tuhan, satu yang pasti
aku minta kepada-Mu, bahagiakanlah Nirina sampai akhir hayat. Aku mencintainya,
selalu mencintainya meskipun dia tak lagi menjadi Nirina kecilku yang dulu. Semoga
kelak Kau jadikan Nirina menjadi perempuan yang tangguh.
Terima kasih, Tuhan.
***
Ada
yang hadir di pelupuk mataku. Buliran air yang tiba-tiba menetes dari sana. Buku
diary ini pasti milik ibu, catatan-catatan sederhana yang ditulis dengan hati,
yang semuanya tentang diriku. Semua hal yang dilewati bersamaku telah
ditulisnya di diary ini. Tentang prestasi yang telah kuperoleh sejak Sekolah Dasar
sampai prestasi-prestasi yang aku peroleh sampai sekarang ini. Tentang waktu
yang menjadikanku tumbuh dan perubahan-perubahan yang kualami seiring dengan bertambahnya
usiaku. Semua tertuang di diary merah marun ini.
Air
mataku semakin membanjiri pipi. Aku mulai mengingat setiap potongan waktu yang telah
kulewati bersama ibu. Tapi, sejak kapan
ada jarak yang membentengi kedekatanku dengan ibu?
Bagaimana
bisa aku merasa bosan dengan liburan semester yang hanya dua bulan, sedangkan ibu
yang bertahun-tahun mengurus pekerjaan rumah sama sekali tak pernah mengeluhkan
rasa bosannya di hadapanku. Aku bisa setiap hari mencari hiburan, berkumpul,
bercanda dengan teman-temanku, sedangkan ibu hanya di rumah sendiri, menyelesaikan
pekerjaan rumah dari sebelum aku terbangun sampai aku kembali terlelap. Tuhan, aku malu. Rasanya ingin menangis,
aku terluka oleh perlakuanku sendiri terhadap ibu.
***
Malam
terasa pekat, seperti hatiku yang terasa kian sekarat. Mendung masih
menggantung pada langit malam.
“What?! Kenapa? Kamu kan tau liburan
semester ini cuma nurutin maumu, masa batal ikut. Gimana, sih, ini bocah?” Neta
terkejut dengan pengakuanku, suaranya meninggi dibalik speaker HP-ku.
Rasanya
berat ketika harus membatalkan acara yang sebenarnya hanya untuk menuruti
permintaanku. Aku tau ini adalah keputusan yang menurutku sendiri sangat
mengecewakan.
“Maaf,
Net. Sampaikan juga ke teman-teman lainnya.”
***
Pagi
bernadakan hujan, suaranya gemericik di atas genteng berpenghuni karat. Aku
masih berlindung di balik selimut tebal. Aku mendengar ibu membuka pintu
kamarku.
“Nirina,
bangunlah. Janjian jam berapa berangkat ke Jogja? Ayo, jangan buat teman-temanmu
menunggu.” Ibu mencoba membangunkanku.
Ah,
bagaimana ibu bisa membangunkanku dan menanyakan jam keberangkatan liburanku,
sedangkan ibu sendiri sebenarnya menginginkanku untuk tetap tinggal.
Aku
membuka mata. Menatap mata ibu, mencari setitik rindu di mata beningnya, agar
aku yakin kalau ibu benar-benar menginginkanku berada di rumah untuk
menghabiskan waktu dengannya.
“Kenapa?”
tanya Ibu seketika. Mungkin merasa aneh melihatku menatapnya sedemikian lekat.
Lantas aku memeluknya. Sangat erat sampai hangat memeluk tubuhku yang terasa
gigil.
“Kenapa,
Sayang?” Ibu bertanya lagi. Kali ini lembut membelai rambutku. Entah kenapa aku
tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya bisa meneteskan air mata.
Entah itu air mata penyesalan atau air mata haru, aku tak mampu mengartikannya.
“Nirina
sayang ibu. Sangat menyayangi Ibu,” cuma kalimat itu yang akhirnya keluar dari
mulutku.
Aku
mengeluarkan diary merah marun milik ibu yang aku ambil semalam ketika ibu
tengah terlelap. Mengendap seperti pencuri, hanya untuk membaca ulang
catatan-catatan ibu. Ingin mengerti apa yang benar-benar dirindukan oleh ibu
dariku.
Ibu
tersenyum. Memelukku. “Bagaimana diary itu bisa ada di tanganmu, Sayang?”
“Maaf,
Bu. Ternyata selama ini Nirina terlalu egois untuk menjadi anak kebanggaan Ibu.
Nirina ...” aku tak melanjutkan kalimatku. Terlampau sulit untuk mengungkapkan
apa yang tengah terjadi dengan perasaanku.
“Jadi
liburan ke Jogja?” Ibu menanyakan liburanku lagi. Aku menggeleng. Ibu kembali
bertanya, “Kenapa? Jangan karena habis baca diary ibu yaaa.”
“Hmm,
bukan kok. Tiba-tiba aja Nirina lebih
ingin bikin kue bolu bareng Ibu. Dan, ada banyak hal yang ingin Nirina
ceritakan ke Ibu,” aku tersenyum.
***
Kini
aku tak lagi khawatir akan dihinggapi rasa bosan ketika melewati liburan. Karena
telah kutemukan obat penghilang rasa bosan itu. Ibu, seorang wanita yang selalu
menungguku untuk menghabiskan waktu dengannya di rumah yang sederhana ini. Akan
kucipta hari yang indah untuk ibu tuliskan lagi di diary merah marunnya.
BULETIN MANTRA EDISI 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar