Desember 02, 2015

Diary Merah Marun


Keluarlah, pergilah, dan bersenang-senanglah. Tak apa kamu habiskan waktu bersama teman-teman kesayangan. Tapi sebelum itu, tengoklah ke dalam rumah terlebih dulu, adakah seseorang yang lebih ingin bersenang-senang denganmu, menghabiskan waktu bersamamu?
***
Waktu adalah pengingat masa lalu, perekam setiap perubahan hidup yang pernah aku lewati. Tentang perubahan-perubahan itu sendiri, aku sadar, waktu telah menjadikanku tumbuh ke dalam dunia yang bebas, lantas membuatku sedikit lupa dengan malaikat yang senantiasa mengurusku, dan itu semua membuatku ingin berlari ke masa lalu. Aku selalu berharap agar waktu bisa membawaku kembali ke masa di mana aku bisa menghabiskan waktu hanya dengan ibu.
            Ini tentang aku dan ibu, menjalani hidup dengan penuh rasa syukur tinggal di rumah yang sederhana. Aku adalah mahasiswi semester lima. Memiliki dunia yang luas, bergaul dengan banyak teman, dan aktif berkegiatan di kampus. Sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sedia setiap saat memberikan bantuannya untukku dan mengurus semua pekerjaan rumah dengan sebaik mungkin.
***
Liburan semester ada di depan mata. Aku telah menuliskan list tempat liburan yang akan aku kunjungi bersama teman-teman kampusku.
“Duh, serius amat, bikin apa sih?” tanya ibu ketika mendapati aku sedang menulis di meja kamar.
“Eh, ada ibu. Kemari, Bu,” aku mempersilakan ibu masuk ke dalam kamarku.  “Hmm, gini Bu, bentar lagi kan liburan semester, Nirina bikin list tempat plus jadwal liburan gitu,” jawabku sembari menyodorkan list yang aku tulis. “Gimana, Bu?”
Ibu membaca dengan teliti, “Hmm, sebanyak ini tempat yang bakal kamu kunjungi?” selidik Ibu.
“Ya, nggak juga, Bu. Ini cuma buat usulan aja ke temen-temen. Nanti dipilih lagi. Mana yang paling banyak di pilih, tempat itu yang bakal kami kunjungi,” jelasku.
“Berapa tempat yang akan dikunjungi? Jangan yang jauh-jauhlah, sekarang kan lagi musim hujan, banjir dimana-mana, sikonnya lagi nggak bagus. Lagian, emang punya uang saku?”
“Bisa jadi tiga sampai lima tempat, Bu. Secara, liburan semesteran kan dua bulan, gak mungkin, kan, Nirina di rumah terus? Bisa bosan, Bu. Hmm, kalau masalah uang saku, Ibu nggak usah pikirin, Nirina udah nabung jauh-jauh hari kok. Tinggal berangkat, semua beres.”
“Ya sudah. Tapi, dipikirin lagi ya mumpung belum sampai hari-H.” Ada setangkup harap di mata bening ibu, entah itu apa, aku gagal menebaknya.
“Beres, Bu,” yakinku pada Ibu. Ibu meninggalkan kecupan di keningku, lama sekali, kemudian keluar.
Ada perasaan aneh ketika ibu mengecup keningku, seperti ada rindu yang tersamarkan oleh jarak. Ya, kecupan yang telah lama tak mendarat di keningku. Aku merindukan ibu? Atau ibu yang merindukanku? Bukankah kami tinggal satu atap? Aku bertanya pada diriku sendiri.
***
Sore ini kusiapkan barang-barang yang kubutuhkan untuk liburan. Liburan minggu pertama akan kuhabiskan di Kota Pelajar sesuai jadwal yang telah aku sepakati dengan teman-teman.
“Bu, ransel Nirina yang warna biru, Ibu simpen di mana?”
“Ada di atas almari. Coba dicek,” jawab ibu yang tengah asyik dengan dunianya sendiri di dapur.
Aku meraih ransel yang ada di atas almari, sesuatu telah terjatuh bersamaan dengan ransel yang aku ambil.
Aku memungutnya. Buku berukuran sedang berwarna merah marun, seperti buku diary. Aku membukanya. Ada fotoku bersama ibu di halaman depan. Aku membuka lembar berikutnya, terus sampai pada catatan terakhir di lembar tengah buku ini. Membaca tiap kata yang terangkai menjadi kalimat-kalimat indah. Aku yakin, ini diary milik ibu. Catatan terakhir di dalamnya sukses menyesakkan dadaku.
***
Selamat pagi, Tuhan ...
Tuhan, sebelumnya aku ingin berterima kasih pada-Mu. Terima kasih telah Kau hadirkan seorang buah hati yang cerdas dan aktif seperti Nirina. Kini, Nirina telah tumbuh menjadi dewasa, mulai berinteraksi dengan banyak orang. Tuhan, titip Nirina, jaga dia dari pergaulan yang tidak baik. Pilihkan dia teman-teman yang tulus dengannya, yang bisa mendukung setiap hal positif yang dia lakukan. Tuhan, beri dia semangat serta kekuatan untuk menjalani hidup yang serba keras ini.
Tuhan, aku sangat bersyukur memiliki Nirina. Dia selalu bisa membuatku tersenyum. Lindungi Nirina, Tuhan. Aku selalu bangga dengan prestasi yang kerapkali dia persembahkan untukku. Tapi, Tuhan, bolehkah aku mengadu pada-Mu?
Tuhan, sebenarnya ini yang ingin aku sampaikan pada-Mu, bahwa aku kesepian. Semenjak Nirina masuk dalam dunianya, aku mulai kehilangan sosoknya. Sosok Nirina yang selalu membutuhkan batuanku, yang selalu meminta pendapatku untuk semua hal yang akan dia lakukan. Aku rindu, Tuhan, menjadi pendengar untuk setiap cerita yang dia lontarkan, meskipun terkadang cerita itu telah berulang-ulang dia ceritakan. Aku rindu, Tuhan, ketika dia merengek memintaku untuk ditemani belanja di mall. Aku rindu kecupan hangatnya setiap pagi, sebelum dia keluar rumah untuk menjalani aktivitasnya.
Tuhan, jika Kau mengizinkan, bolehkah aku meminta kepada-Mu agar waktu Kau putar kembali ke masa di mana aku bisa menghabiskan waktu bersama Nirina? Atau setidaknya, beri aku kesempatan sehari saja untuk mengulang waktu yang indah itu.
Tuhan, aku hanyalah ibu rumah tangga yang tengah merasai sepi. Yang tengah merasa bosan dengan segala aktivitas yang itu-itu saja selama bertahun-tahun. Aku ingin, sesekali ketika Nirina libur, dia menemaniku di rumah, membuat kue bolu bersama atau sekedar bercerita.
Tuhan, satu yang pasti aku minta kepada-Mu, bahagiakanlah Nirina sampai akhir hayat. Aku mencintainya, selalu mencintainya meskipun dia tak lagi menjadi Nirina kecilku yang dulu. Semoga kelak Kau jadikan Nirina menjadi perempuan yang tangguh.
Terima kasih, Tuhan.
***
Ada yang hadir di pelupuk mataku. Buliran air yang tiba-tiba menetes dari sana. Buku diary ini pasti milik ibu, catatan-catatan sederhana yang ditulis dengan hati, yang semuanya tentang diriku. Semua hal yang dilewati bersamaku telah ditulisnya di diary ini. Tentang prestasi yang telah kuperoleh sejak Sekolah Dasar sampai prestasi-prestasi yang aku peroleh sampai sekarang ini. Tentang waktu yang menjadikanku tumbuh dan perubahan-perubahan yang kualami seiring dengan bertambahnya usiaku. Semua tertuang di diary merah marun ini.
Air mataku semakin membanjiri pipi. Aku mulai mengingat setiap potongan waktu yang telah kulewati bersama ibu. Tapi, sejak kapan ada jarak yang membentengi kedekatanku dengan ibu?
Bagaimana bisa aku merasa bosan dengan liburan semester yang hanya dua bulan, sedangkan ibu yang bertahun-tahun mengurus pekerjaan rumah sama sekali tak pernah mengeluhkan rasa bosannya di hadapanku. Aku bisa setiap hari mencari hiburan, berkumpul, bercanda dengan teman-temanku, sedangkan ibu hanya di rumah sendiri, menyelesaikan pekerjaan rumah dari sebelum aku terbangun sampai aku kembali terlelap. Tuhan, aku malu. Rasanya ingin menangis, aku terluka oleh perlakuanku sendiri terhadap ibu.
***
Malam terasa pekat, seperti hatiku yang terasa kian sekarat. Mendung masih menggantung pada langit malam.
What?! Kenapa? Kamu kan tau liburan semester ini cuma nurutin maumu, masa batal ikut. Gimana, sih, ini bocah?” Neta terkejut dengan pengakuanku, suaranya meninggi dibalik speaker HP-ku.
Rasanya berat ketika harus membatalkan acara yang sebenarnya hanya untuk menuruti permintaanku. Aku tau ini adalah keputusan yang menurutku sendiri sangat mengecewakan.
“Maaf, Net. Sampaikan juga ke teman-teman lainnya.”
***
Pagi bernadakan hujan, suaranya gemericik di atas genteng berpenghuni karat. Aku masih berlindung di balik selimut tebal. Aku mendengar ibu membuka pintu kamarku.
“Nirina, bangunlah. Janjian jam berapa berangkat ke Jogja? Ayo, jangan buat teman-temanmu menunggu.” Ibu mencoba membangunkanku.
Ah, bagaimana ibu bisa membangunkanku dan menanyakan jam keberangkatan liburanku, sedangkan ibu sendiri sebenarnya menginginkanku untuk tetap tinggal.
Aku membuka mata. Menatap mata ibu, mencari setitik rindu di mata beningnya, agar aku yakin kalau ibu benar-benar menginginkanku berada di rumah untuk menghabiskan waktu dengannya.
“Kenapa?” tanya Ibu seketika. Mungkin merasa aneh melihatku menatapnya sedemikian lekat. Lantas aku memeluknya. Sangat erat sampai hangat memeluk tubuhku yang terasa gigil.
“Kenapa, Sayang?” Ibu bertanya lagi. Kali ini lembut membelai rambutku. Entah kenapa aku tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Entah itu air mata penyesalan atau air mata haru, aku tak mampu mengartikannya.
“Nirina sayang ibu. Sangat menyayangi Ibu,” cuma kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
Aku mengeluarkan diary merah marun milik ibu yang aku ambil semalam ketika ibu tengah terlelap. Mengendap seperti pencuri, hanya untuk membaca ulang catatan-catatan ibu. Ingin mengerti apa yang benar-benar dirindukan oleh ibu dariku.
Ibu tersenyum. Memelukku. “Bagaimana diary itu bisa ada di tanganmu, Sayang?”
“Maaf, Bu. Ternyata selama ini Nirina terlalu egois untuk menjadi anak kebanggaan Ibu. Nirina ...” aku tak melanjutkan kalimatku. Terlampau sulit untuk mengungkapkan apa yang tengah terjadi dengan perasaanku.
“Jadi liburan ke Jogja?” Ibu menanyakan liburanku lagi. Aku menggeleng. Ibu kembali bertanya, “Kenapa? Jangan karena habis baca diary ibu yaaa.”
“Hmm, bukan kok. Tiba-tiba aja Nirina lebih ingin bikin kue bolu bareng Ibu. Dan, ada banyak hal yang ingin Nirina ceritakan ke Ibu,” aku tersenyum.
***
Kini aku tak lagi khawatir akan dihinggapi rasa bosan ketika melewati liburan. Karena telah kutemukan obat penghilang rasa bosan itu. Ibu, seorang wanita yang selalu menungguku untuk menghabiskan waktu dengannya di rumah yang sederhana ini. Akan kucipta hari yang indah untuk ibu tuliskan lagi di diary merah marunnya. 

 BULETIN MANTRA EDISI 08


Tidak ada komentar: