Januari 03, 2016

Sengsara Sepaket Bahagia

Tadi pagi begitu aku buka mata, menatap layar hape yang pengisi dayanya tinggal 11 persen dan di sana nunjukkin pukul 8:48, lalu tertera 4 panggilan tak terjawab dari Kanca RocknRoll, juga 5 pesan singkat dari nama yang sama.

Mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi semalam. Dan udah bisa ketebak kalo aku ketiduran di tengah-tengah ia berceloteh. Hahaha. Masih bisa kuingat apa aja obrolanku sama dia yang menyita waktu hingga ratusan menit itu. Banyak absurdnya, tapi aku rasa ada juga yang bisa dishare. Begini obrolan kami.

Jadi, bagaimana menurutmu tentang ‘kebahagiaan yang kamu dapat akan setara dengan kesengsaraan yang kamu lewati.’ Entah, pertanyaan macem apa yang tiba-tiba terlintas di otakku itu. Lalu obrolan kami menjadi begitu formal.

+ Itu tidak terlepas dari hukum timbal balik. Kata temenku.

^ Apa itu berarti kalau ingin bahagia, kita harus siap menyambut kesengsaraan lebih  dulu?

+ Definisi bahagia itu apa? Tiap orang pasti punya bahagianya masing-masing. Bahagia itu ‘kan pilihan, dan capaian bahagia tiap orang itu beda-beda.  Misal nih, kamu bahagia dengan status jomblo, tapi, di luar sana banyak orang jomblo yang sengsara. Ya, mungkin karena merasa kesepian. Pilihan ‘kan? Sama-sama jomblo, tapi berbeda dalam pencapaiannya.

^ Contohnya harus kayak gitu, ya? Hmm, terus... bagaimana dengan sengsara?

+ Sengsara itu lebih kepada masalah. Kamu tau, ya, Tuhan tidak akan memberikan masalah melampaui kapasitas kemampuan hamba-Nya. Mainstreamnya orang-orang, masalah itu dipandang sebagai hal negatif. Itu kembali ke statmen masing-masing orang.

^ Bisa kasih contoh sengsara atau masalah yang memberi dampak positif itu seperti apa?

+ Contoh nih, jomblo-jomblo di luar sana yang sengsara karena kesepian, harusnya mereka tidak menjadikan masalah dengan kesendiriannya. Positif aja, barangkali dengan status jomblo Tuhan sedang memberikan kesempatan buat berbenah diri? Tidak harus dipermasalahkan, bukan?

^ Ada contoh lain nggak? Yang nggak nyinggung status jomblo gitu.

+ Kamu baper, ya? Aku juga baper kalik (dia yang ngasih contoh, dia sendiri yang baper -__-). Contoh lain ya. Hmm, gimana ya.

Kan, jadi baper sendiri akunya. Pokoknya tuh gitu. Terus, yang masih bisa kuingat dari obrolan lintas malam itu tadi, adalah:
Setiap perjalanan kita adalah masalah. Masalah yang kadang bikin sengsara. Dan itu lebih baik daripada kita berdiam diri. Kalo kita berjalan atau bergerak, berarti kita berpikir dong. Dalam perjalanan itu kita pasti ketemu masalah. Lah, kita tinggal milih nih, masalah ini mau kita cariin solusi lewat mana. Lewat lintasan yang ada bahayanya, atau justru lewat lintasan yang mulus-mulus aja. Kalo kita meyakini bahwa lintasan yang kita pilih ternyata tetap salah dan justru nambain masalah, kita nggak mungkin balik ke titik awal dong. Udah kejauhan. Ya, pilihan akhirnya kita tetep jalan terus sampai akhirnya kita nemuin lintasan yang bener. Ya, kan? Toh lintasan-lintasan yang sesat udah kita lewatin gitu.

Jadi, barangkali aku boleh menyimpulkan, bahwa Tuhan ngasih masalah atau kesengsaraan itu sepaket dengan solusi serta kebahagiannya masing-masing. Seperti pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, suatu saat kita bakal jadian. #ehhh. Tinggal kitanya aja mampu atau enggak. Gitu kali ya. Udahan ah curcolnya, mau nengok jemuran.

Semarang dengan langitnya yang gelap,

Januari 2016

Tidak ada komentar: