Pada akhirnya,
aku menyerah. Menyerah untuk menyimpan cerita ini lebih lama. Maka, di pagi
yang masih terguyur sisa hujan semalam ini, kucatatkan sedikit tentang kisah.
Tentang senja yang menggantung di langit mendung. Tentang hilir mudik kapal
terbang yang melintas di atas pantai tanpa karang. Tentang kemesraan yang
semoga tak terlupakan. Tentang kenyamanan yang kuharap bukan sekadar figuran.
Atau tentang apa pun yang sempat kubaca pada tulisanmu di sebuah status.
Kemudian, apa?
Aku tidak tau. Terkadang memang ada hal-hal tertentu yang tak mampu kutuliskan.
Tak sanggup kukatakan. Seperti hening sore itu. Diammu. Diamku. Barangkali riuh
justru terkepung di hati serta pikiran kita masing-masing. Hingga diam-diam
hadir si penyusup. Penyusup itu adalah mereka; hangat yang keparat, damai yang
tak tau diri, juga gelak tawa dari iblis-iblis yang bengis. Maafkan untuk itu
semua.
‘Andai’ yang kamu
ingin sempat kusemogakan agar tak jadi wacana saja. Barangkali Tuhan berbaik
hati untuk kita berceloteh lebih banyak dan lebih lama lagi. Akan ada secangkir
kopi di sana. Mungkin dua. Bisa juga tiga cangkir. Terserah berapa banyak kamu
ingin memesannya.
~
Subuh tadi, aku
merasa dibangunkan oleh ketakutan. Tiba-tiba. Ketakutan yang banyak. Bukan
takut kehilanganmu, karena itu pasti terjadi. Aku takut ada sesuatu yang
membuat kita berjarak suatu hari nanti. Seperti ... (mungkin) perasaan yang
berlebihan. Maka, untuk menghindari itu, berhentilah berasumsi bahwa aku ingin
memilikimu lebih dari seorang teman, berhentilah beranggapan bahwa aku
memintamu untuk memilih satu diantara dua (kalau kamu beneran berasumsi dan
beranggapan seperti itu), berhentilah.
Aku hanya
memintamu untuk berhenti membandingkanku dengan yang kamu miliki sekarang.
Biarlah kamu mengenalnya dengan kelebihan yang ia miliki dan mengenalku dengan
kekurangan yang kumiliki. Biarlah kamu dan Tuhan saja yang tau. Tidak denganku, pun dia.
Tetaplah saling membahagiakan.
Februari ini,
ketika Semarang bikin baper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar