“Kau percaya keajaiban?”
Nouval
menggeleng. Terkadang dia menganggap pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan selalu
memiliki kejutan. Bagi Nouval semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir
yang tengah menjalankan perannya. Tak ada hal yang terjadi secara kebetulan,
termasuk keajaiban. Sedangkan aku menganggap apa pun yang terjadi, yang tak
pernah terpikirkan oleh otakku, itu adalah sebuah keajaiban.
“Kau
sedang mendapati keajaiban, Frey?” tanya Nouval dengan suara yang selalu
membuatku meleleh.
“Membuka
mata sepagi ini dan mendapati kedua tangan kekarmu melingkar di tubuhku adalah
keajaiban, Val. Kamu tau? Aku masih saja tak percaya jika Tuhan memberikan
perempuan buruk sepertiku untuk lelaki sesempurna dirimu.”
“Tak
ada yang sempurna, Frey. Kita hanya perlu memperbaiki diri agar menjadi lebih
pantas untuk satu dengan yang lainnya. Aku mencintaimu lengkap dengan masa
lalumu. Berhentilah beranggapan bahwa kamu tak layak untukku,” Nouval
mendaratkan ciuman di bibir mungilku. Kami tenggelam dalam pelukan-pelukan yang
memabukkan.
***
April 8, 2013
Menghabiskan
Sabtu malam bersama Darla dan Jovita. Dua orang yang akhir-akhir ini menjadi
teman dekatku di perkuliahan. Hari ini saatnya Darla dan Jovita beraksi. Kali
pertama aku mengikuti permainan mereka. Masih tak mengerti dengan apa yang akan
mereka lakukan. Aku hanya bisa melihat dan dimintai mereka untuk mempelajari.
“Kau
mengerti, Frey?” Darla memastikan aku paham dengan apa yang dia lakukan.
“Ini
cara kami untuk bertahan hidup, Frey. Kalau kamu mau, kami bisa mengajarimu
lebih dari ini. Sekarang giliranmu.” Jovita memintaku untuk melakukan hal yang
sama dengan apa yang baru saja dia lakukan bersama Darla.
“Tapi,
Jo, aku tak biasa dengan hal semacam itu.” Perasaanku mendadak gelisah. Pakaian
mini yang tak biasa melekat di tubuhku membuatku risih.
“Ini
demi kamu, Freya. Uang semesteran harus dibayarkan besok, kalau malam ini tak
dapat uang, kamu bakal di drop out
dari kampus.” Darla kembali
mengingatkanku. Memilih hidup jauh dari orang tua dan memutuskan mandiri
membuatku agak kerepotan.
Hatiku
tak karuan. Di satu sisi aku memang sedang membutuhkan uang untuk melunasi biaya
semesteran, aku tak lagi mengandalkan orangtuaku di kampung. Di sisi lain
sebenarnya bukan cara seperti Darla dan Jovita yang aku mau, menghabisi
lembar-lembar rupiah dari kantong pria-pria tua berkumis atau mengosongkan
dompet para lelaki labil yang doyan hura-hura. Tapi, aku tak juga menemukan
cara lain untuk berterima kasih kepada Darla dan Jovita yang selama ini menampungku
di kontrakan mereka. Jadi, aku terpaksa mengikuti permainan-permainan mereka.
***
Juni 8, 2013
Hujan
tak bosannya mengepungku di kafe. Aku baru saja menyepikan diri di dalam perpustakaan
yang berada di lantai dua kafe. Membaca-baca buku referensi untuk tugas yang
tak benar-benar kupahami isinya. Ketika jenuh menyapa, aku memutuskan turun dan
menikmati moccachino coffee di sini.
Di luar hujan masih begitu deras.
Bukan
hanya mengepungku, aku percaya hujan memiliki rencana lain, mempertemukanku
dengan lelaki cool yang membuatku
sempat maju-mundur untuk menguras uangnya. Ya, aku sudah khatam perihal
kuras-menguras isi dompet para kaum adam –tanpa merasa gelisah-. Jadi, tak
melulu harus di dampingi Darla dan Jovita.
“Sori,
boleh duduk di sini?” tanya lelaki tadi yang memperkenalkan dirinya dengan nama
Nouval.
Aku
mendongak, menatap Nouval penuh tanya.
“Cuma
kursi ini yang kosong,” terang Nouval seperti menjawab apa yang kupertanyakan
dalam hati.
Aku
menelusuri sekitarku. Hujan membuatku duduk bersama orang asing.
***
8 Agustus 2013
Hari
ini aku, Darla dan Jovita menemui seseorang. Kami memang lebih sering beraksi
di tanggal tua seperti ini. Mencari mangsa untuk memenuhi kebutuhan dan naluri shopping perempuan.
Namanya
Sandi, dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah gelap dan menutupi
kepalanya yang plontos dengan topi news
boy. Kabarnya dia adalah pemilik distro terkenal di Kota Atlas ini. Di
sampingnya terlihat lelaki lain yang tak asing bagiku.
“Kenalin,
ini teman seperjuanganku, Nouval.” Sandi mengenalkan Nouval pada Darla, Jovita
juga denganku. Ini memang jadwal Darla. Aku dan Jovita hanya sebagai setan yang
biasanya akan menyebutkan daftar kebutuhan kami kepada Darla agar terpenuhi
oleh mangsa-mangsa kami. Ya, begitulah kegilaan anak rantau macam kami yang
ditertawakan oleh kemiskikan kala tanggal tua menyapa.
Nouval
menatapku. Seperti ada keterikatan batin, masing-masing dari kami sepakat berpura-pura
belum pernah bertemu sebelumnya. Ah, ternyata Nouval dari kalangan orang
berdompet tebal, klop sekali kalau dikatakan teman seperjuangan dengan Sandi.
Hanya saja ada yang membedakan Sandi dengan Nouval. Kepribadian.
Nouval
lebih cuek, sedangkan Sandi terlalu agresif. Ini menjadi tugasku dan Jovita,
berjaga-jaga agar Darla tetap dalam batas yang wajar. Dan ternyata Nouval
berperan menjadi pengingat Sandi agar tak terlewat batas.
***
Setelah
pertemuan itu, Nouval seringkali mengajakku kencan. Tanpa Darla dan Jovita.
Hanya berdua. Entahlah apa yang membuat dia seperti itu. Sampai pada waktu
ketika aku merasa dijebak olehnya. Kini aku berada satu ruang dengan Nouval,
juga Sandi. Di tempat karaoke.
“Apa
yang kau mau dariku?”
“Berapa
bayaranmu?”
Sial! “Aku tak seperti apa yang ada di
otak kotormu!”
Sandi
tertawa. Tawa yang pecah dan menggelagar. Membuat hatiku begitu ngilu. Aku tak
pernah merasa dilecehkan seperti ini sebelumnya. Atau bisa jadi ini hanya
perasaanku? Aku tak mungkin pernah tau apakah yang kupikirkan akan sama dengan
pikiran orang lain. Juga dengan penilaian orang lain yang tak akan melulu sama
dengan apa yang sebenarnya kulakukan.
Aku
memaksa keluar dari ruangan itu. Tak peduli berapa banyak tetes air mataku yang
jatuh. Ternyata aku sebegitu hina di mata orang lain. Amat pilu.
“Kau
tak apa?” Nouval tiba-tiba duduk di sampingku. Di kafe pertama kali aku dan dia
dipertemukan oleh hujan.
“Kau
puas?!”
“Maaf,
aku terlalu buruk menilaimu. Dan itu kesalahan terbesarku.”
***
8 Desember 2013
Aku
selalu menganggap waktu adalah pemilik kejutan yang paling dahsyat. Seperti
hari ini ketika Jovita dan Darla tiba-tiba menyumpahserapahi kehidupanku dengan
begitu murka. Aku dianggap tak tau malu, tak punya harga diri, tak pantas untuk
dijadikan teman.
“Mana
terima kasihmu pada kami?!” Darla menatapku tajam.
“Tak
tau malu! Sudah dibantu malah seenaknya sendiri. Kau pikir kau siapa, heh?! Kau
tak seharusnya mendekati Nouval. Nouval itu sudah jadi milikku,” pengakuan
Jovita membuat perasaanku sesak, membuatku sadar seketika bahwa diam-diam
Nouval membangun cinta di hatiku. Kalau tidak, hatiku tak akan sesesak ini
mendengar hal demikian.
Ada
yang tersembunyi. Atau memang disembunyikan? Aku tak tau pasti tentang hubungan
Jovita dan Nouval. Pertemuan Sandi dan Darla beberapa bulan lalu membuat Jovita
takluk dengan Nouval yang memang terlihat berbeda dengan lelaki lain. Ah, semua
perempuan yang bertemu dengannya pasti akan merasa penasaran.
Hari
ini hubunganku berhenti. Hubunganku dengan Nouval yang ternyata selama ini
dimata-matai oleh Sandi dan dibeberkan ke Darla dan Jovita. Hubunganku dengan
Darla dan Jovita karena menurut mereka aku tak layak dijadikan teman. Semuanya
berhenti dan aku kembali sendiri.
***
Sendiri,
kata itu sama sekali tak buruk bagiku. Sendiri bisa membuatku berlama-lama berdiskusi
dengan Tuhan. Sendiri bisa menjadikanku pribadi yang lebih baik karena di sana
aku bisa puas mengintropeksi diri. Sendiri kutemukan keajaiban. Nouval.
Maret 8, 2014
Nouval
kembali masuk di kehidupanku. Setelah lama tak bertatap muka. Segala hal yang
sebenarnya terjadi baru saja kudengar. Nouval tak pernah memiliki hubungan
dengan Jovita. Sandi tak lagi menjadi temannya karena Nouval dianggap menjadi
penghianat. Aku tak tau pasti seperti apa penghianatan yang terjadi diantara
mereka. Aku enggan menanyakannya.
“Kau
mau menikah denganku?” ucap Nouval yang membuatku mataku terbelalak.
“Permainan
apalagi yang tengah kaurancang?” sinisku.
“Positiflah,
Frey. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan. Kali ini izinkan aku
mengenalmu lebih dalam. Ya, dengan menikahimu.” Tajam tatapan Nouval memohon
padaku.
“Apa
tak ada perempuan lain yang lebih layak untuk mendampingimu, Val? Kau tau
kehidupanku begitu buruk. Aku belum tuntas untuk memperbaikinya. Pikirkanlah!”
***
April 8, 2015
Berbahagialah
aku dan Nouval. Satu bulan setelah Nouval menyatakan ingin menikahiku dengan
segala sisa keburukanku, hari itu telah terwujud. Kami memutuskan untuk
menikah. Membangun cinta dengan kebahagiaan yang nyata.
Kini,
satu tahun sudah bisa kunikmati wajahnya di setiap pagi. Menyecap bibirnya
setiap saat. Menatap matanya yang kerapkali menusuk hati hingga aku selalu
percaya bahwa sebentuk keajaiban telah Tuhan berikan padaku.
“Kau
percaya keajaiban?”
Nouval
menggeleng. “Kau sedang mendapati keajaiban, Frey?” tanya Nouval yang telah resmi
menjadi suamiku.
“Membuka
mata sepagi ini dan mendapati kedua tangan kekarmu melingkar di tubuhku adalah
keajaiban, Val. Kau tau? Aku masih saja tak percaya jika Tuhan memberikan
perempuan buruk sepertiku untuk lelaki sesempurna kamu.”
Hari
ini aku dan Nouval akan merayakan keajaiban. Keajaiban karena setiap momen yang
tak pernah terpikirkan olehku telah terjadi di tanggal yang sama. Mari, kita rayakan keajaiban bersama!
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan I : April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar