Mei 31, 2016

MERAYAKAN KEAJAIBAN


“Kau percaya keajaiban?”

Nouval menggeleng. Terkadang dia menganggap pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan selalu memiliki kejutan. Bagi Nouval semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir yang tengah menjalankan perannya. Tak ada hal yang terjadi secara kebetulan, termasuk keajaiban. Sedangkan aku menganggap apa pun yang terjadi, yang tak pernah terpikirkan oleh otakku, itu adalah sebuah keajaiban.

“Kau sedang mendapati keajaiban, Frey?” tanya Nouval dengan suara yang selalu membuatku meleleh.

“Membuka mata sepagi ini dan mendapati kedua tangan kekarmu melingkar di tubuhku adalah keajaiban, Val. Kamu tau? Aku masih saja tak percaya jika Tuhan memberikan perempuan buruk sepertiku untuk lelaki sesempurna dirimu.”

“Tak ada yang sempurna, Frey. Kita hanya perlu memperbaiki diri agar menjadi lebih pantas untuk satu dengan yang lainnya. Aku mencintaimu lengkap dengan masa lalumu. Berhentilah beranggapan bahwa kamu tak layak untukku,” Nouval mendaratkan ciuman di bibir mungilku. Kami tenggelam dalam pelukan-pelukan yang memabukkan.
***
 April 8, 2013
Menghabiskan Sabtu malam bersama Darla dan Jovita. Dua orang yang akhir-akhir ini menjadi teman dekatku di perkuliahan. Hari ini saatnya Darla dan Jovita beraksi. Kali pertama aku mengikuti permainan mereka. Masih tak mengerti dengan apa yang akan mereka lakukan. Aku hanya bisa melihat dan dimintai mereka untuk mempelajari.

“Kau mengerti, Frey?” Darla memastikan aku paham dengan apa yang dia lakukan.

“Ini cara kami untuk bertahan hidup, Frey. Kalau kamu mau, kami bisa mengajarimu lebih dari ini. Sekarang giliranmu.” Jovita memintaku untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja dia lakukan bersama Darla.

“Tapi, Jo, aku tak biasa dengan hal semacam itu.” Perasaanku mendadak gelisah. Pakaian mini yang tak biasa melekat di tubuhku membuatku risih.

“Ini demi kamu, Freya. Uang semesteran harus dibayarkan besok, kalau malam ini tak dapat uang, kamu bakal di drop out dari kampus.” Darla kembali mengingatkanku. Memilih hidup jauh dari orang tua dan memutuskan mandiri membuatku agak kerepotan.

Hatiku tak karuan. Di satu sisi aku memang sedang membutuhkan uang untuk melunasi biaya semesteran, aku tak lagi mengandalkan orangtuaku di kampung. Di sisi lain sebenarnya bukan cara seperti Darla dan Jovita yang aku mau, menghabisi lembar-lembar rupiah dari kantong pria-pria tua berkumis atau mengosongkan dompet para lelaki labil yang doyan hura-hura. Tapi, aku tak juga menemukan cara lain untuk berterima kasih kepada Darla dan Jovita yang selama ini menampungku di kontrakan mereka. Jadi, aku terpaksa mengikuti permainan-permainan mereka.
***
Juni 8, 2013
Hujan tak bosannya mengepungku di kafe. Aku baru saja menyepikan diri di dalam perpustakaan yang berada di lantai dua kafe. Membaca-baca buku referensi untuk tugas yang tak benar-benar kupahami isinya. Ketika jenuh menyapa, aku memutuskan turun dan menikmati moccachino coffee di sini. Di luar hujan masih begitu deras.

Bukan hanya mengepungku, aku percaya hujan memiliki rencana lain, mempertemukanku dengan lelaki cool yang membuatku sempat maju-mundur untuk menguras uangnya. Ya, aku sudah khatam perihal kuras-menguras isi dompet para kaum adam –tanpa merasa gelisah-. Jadi, tak melulu harus di dampingi Darla dan Jovita.

“Sori, boleh duduk di sini?” tanya lelaki tadi yang memperkenalkan dirinya dengan nama Nouval.
Aku mendongak, menatap Nouval penuh tanya.
“Cuma kursi ini yang kosong,” terang Nouval seperti menjawab apa yang kupertanyakan dalam hati.
Aku menelusuri sekitarku. Hujan membuatku duduk bersama orang asing.
***
8 Agustus 2013
Hari ini aku, Darla dan Jovita menemui seseorang. Kami memang lebih sering beraksi di tanggal tua seperti ini. Mencari mangsa untuk memenuhi kebutuhan dan naluri shopping perempuan.

Namanya Sandi, dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah gelap dan menutupi kepalanya yang plontos dengan topi news boy. Kabarnya dia adalah pemilik distro terkenal di Kota Atlas ini. Di sampingnya terlihat lelaki lain yang tak asing bagiku.

“Kenalin, ini teman seperjuanganku, Nouval.” Sandi mengenalkan Nouval pada Darla, Jovita juga denganku. Ini memang jadwal Darla. Aku dan Jovita hanya sebagai setan yang biasanya akan menyebutkan daftar kebutuhan kami kepada Darla agar terpenuhi oleh mangsa-mangsa kami. Ya, begitulah kegilaan anak rantau macam kami yang ditertawakan oleh kemiskikan kala tanggal tua menyapa.

Nouval menatapku. Seperti ada keterikatan batin, masing-masing dari kami sepakat berpura-pura belum pernah bertemu sebelumnya. Ah, ternyata Nouval dari kalangan orang berdompet tebal, klop sekali kalau dikatakan teman seperjuangan dengan Sandi. Hanya saja ada yang membedakan Sandi dengan Nouval. Kepribadian.

Nouval lebih cuek, sedangkan Sandi terlalu agresif. Ini menjadi tugasku dan Jovita, berjaga-jaga agar Darla tetap dalam batas yang wajar. Dan ternyata Nouval berperan menjadi pengingat Sandi agar tak terlewat batas.
***
Setelah pertemuan itu, Nouval seringkali mengajakku kencan. Tanpa Darla dan Jovita. Hanya berdua. Entahlah apa yang membuat dia seperti itu. Sampai pada waktu ketika aku merasa dijebak olehnya. Kini aku berada satu ruang dengan Nouval, juga Sandi. Di tempat karaoke.

“Apa yang kau mau dariku?”
“Berapa bayaranmu?”
Sial! “Aku tak seperti apa yang ada di otak kotormu!”

Sandi tertawa. Tawa yang pecah dan menggelagar. Membuat hatiku begitu ngilu. Aku tak pernah merasa dilecehkan seperti ini sebelumnya. Atau bisa jadi ini hanya perasaanku? Aku tak mungkin pernah tau apakah yang kupikirkan akan sama dengan pikiran orang lain. Juga dengan penilaian orang lain yang tak akan melulu sama dengan apa yang sebenarnya kulakukan.

Aku memaksa keluar dari ruangan itu. Tak peduli berapa banyak tetes air mataku yang jatuh. Ternyata aku sebegitu hina di mata orang lain. Amat pilu.

“Kau tak apa?” Nouval tiba-tiba duduk di sampingku. Di kafe pertama kali aku dan dia dipertemukan oleh hujan.
“Kau puas?!”
“Maaf, aku terlalu buruk menilaimu. Dan itu kesalahan terbesarku.”
***
8 Desember 2013
Aku selalu menganggap waktu adalah pemilik kejutan yang paling dahsyat. Seperti hari ini ketika Jovita dan Darla tiba-tiba menyumpahserapahi kehidupanku dengan begitu murka. Aku dianggap tak tau malu, tak punya harga diri, tak pantas untuk dijadikan teman.

“Mana terima kasihmu pada kami?!” Darla menatapku tajam.
“Tak tau malu! Sudah dibantu malah seenaknya sendiri. Kau pikir kau siapa, heh?! Kau tak seharusnya mendekati Nouval. Nouval itu sudah jadi milikku,” pengakuan Jovita membuat perasaanku sesak, membuatku sadar seketika bahwa diam-diam Nouval membangun cinta di hatiku. Kalau tidak, hatiku tak akan sesesak ini mendengar hal demikian.
             
Ada yang tersembunyi. Atau memang disembunyikan? Aku tak tau pasti tentang hubungan Jovita dan Nouval. Pertemuan Sandi dan Darla beberapa bulan lalu membuat Jovita takluk dengan Nouval yang memang terlihat berbeda dengan lelaki lain. Ah, semua perempuan yang bertemu dengannya pasti akan merasa penasaran.
           
Hari ini hubunganku berhenti. Hubunganku dengan Nouval yang ternyata selama ini dimata-matai oleh Sandi dan dibeberkan ke Darla dan Jovita. Hubunganku dengan Darla dan Jovita karena menurut mereka aku tak layak dijadikan teman. Semuanya berhenti dan aku kembali sendiri.
***
Sendiri, kata itu sama sekali tak buruk bagiku. Sendiri bisa membuatku berlama-lama berdiskusi dengan Tuhan. Sendiri bisa menjadikanku pribadi yang lebih baik karena di sana aku bisa puas mengintropeksi diri. Sendiri kutemukan keajaiban. Nouval.
             
Maret 8, 2014
Nouval kembali masuk di kehidupanku. Setelah lama tak bertatap muka. Segala hal yang sebenarnya terjadi baru saja kudengar. Nouval tak pernah memiliki hubungan dengan Jovita. Sandi tak lagi menjadi temannya karena Nouval dianggap menjadi penghianat. Aku tak tau pasti seperti apa penghianatan yang terjadi diantara mereka. Aku enggan menanyakannya.
           
“Kau mau menikah denganku?” ucap Nouval yang membuatku mataku terbelalak.
“Permainan apalagi yang tengah kaurancang?” sinisku.
“Positiflah, Frey. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan. Kali ini izinkan aku mengenalmu lebih dalam. Ya, dengan menikahimu.” Tajam tatapan Nouval memohon padaku.
“Apa tak ada perempuan lain yang lebih layak untuk mendampingimu, Val? Kau tau kehidupanku begitu buruk. Aku belum tuntas untuk memperbaikinya. Pikirkanlah!”
***
April 8, 2015  
Berbahagialah aku dan Nouval. Satu bulan setelah Nouval menyatakan ingin menikahiku dengan segala sisa keburukanku, hari itu telah terwujud. Kami memutuskan untuk menikah. Membangun cinta dengan kebahagiaan yang nyata.
            
Kini, satu tahun sudah bisa kunikmati wajahnya di setiap pagi. Menyecap bibirnya setiap saat. Menatap matanya yang kerapkali menusuk hati hingga aku selalu percaya bahwa sebentuk keajaiban telah Tuhan berikan padaku.
            
“Kau percaya keajaiban?”
Nouval menggeleng. “Kau sedang mendapati keajaiban, Frey?” tanya Nouval yang telah resmi menjadi suamiku.
“Membuka mata sepagi ini dan mendapati kedua tangan kekarmu melingkar di tubuhku adalah keajaiban, Val. Kau tau? Aku masih saja tak percaya jika Tuhan memberikan perempuan buruk sepertiku untuk lelaki sesempurna kamu.”
             
Hari ini aku dan Nouval akan merayakan keajaiban. Keajaiban karena setiap momen yang tak pernah terpikirkan olehku telah terjadi di tanggal yang sama. Mari, kita rayakan keajaiban bersama!


SEPOTONG SENJA, SEPENGGAL SANGKA
Penerbit   : FAM Publishing
Cetakan I : April 2016 

Tidak ada komentar: