![]() |
Ilustrasi Foto |
Di Bumi bagian pindah-pindah, aku mendengar banyak cerita
yang membahagiakan dan sebaliknya. Mengharu-biru penuh drama, tapi begitulah
kenyataannya. Kenyataan yang pahit.
Ia datang sebagai perempuan lemah penuh kegelisahan. Ya,
perempuan menjadi lemah untuk beberapa hal saja. Beberapa hal saja, tidak bisa
dianggap lemah secara keseluruhan pada dirinya. Sebab kita tau, Gusti Allah
selalu memberi kelemahan sekaligus kekuatan untuk karyaNya. Perempuan itu
datang dengan mata sembab dan masih menyisakan tangis sesegukan.
Kenapa? Tanyaku yang sudah kutau pasti jawabannya apa. Benar saja
dugaanku. Ia menjawab persis seperti skenario yang seolah sudah kusiapkan. Abusive (lagi dan lagi). Mudah saja
jika kubilang “putusin aja, cari yang lain, mumpung belum sampai ke tahap
pernikahan”. Dan untuk kasus seperti ini, orang-orang yang terlibat langsung,
dalam artian menjadi korban kekerasan dalam hubungan itu sendiri, sungguh itu
menjadi pilihan yang teramat berat. Berbagai alasan terdengar klise, tapi ya
begitulah yang sebenarnya terjadi. Dari alesan yang udah cinta mati, udah nggak
ada yang laen, sampai pada alesan sayang
kalo putus, udah tahunan. Aku males kalo harus mulai njalin hubungan lagi dari
nol dengan orang lain, bla bla bla. Terusss, ngapain ngeluh muluk? Nikmatin
aja kalo nggak mau keluar dari zona ‘neraka’mu itu... KZL.
Adakah diantara kalian menemukan kasus yang sama? Apa yang
harus kita lakuin sebagai pendengar yang seringkali menasehati model gimanapun
nggak bakal mempan? Adakah saran untuk korban kekerasan, baik secara fisik
ataupun verbal ini?
Efek dari kekerasan model apa pun bisa memengaruhi psikis si
korban. Untuk perempuan yang dateng di hadapanku ini, dia mengaku kalo dia
nggak lagi percaya diri. Hidup berasa hambar. Apa-apa yang dia lakuin berasa
nggak ada gunanya sama sekali. Dia menarik diri dari lingkungannya,
temen-temennya. Dia jadi suka murung, kehilangan semangat. Dia merasa nggak
berarti buat siapa pun. Dia menjadi sangat lemah. Dia ketakutan untuk sekedar
membaca pesan yang datang dari pasangannya sendiri, parno kalo pesan yang ia
terima berupa umpatan. Apalagi kalo layar henpon
udah kedip-kedip ada nama pasangannya, dia pingin banget tuh banting henpon-nya.
Pernah, sekali waktu aku saranin ke dia, saran yang
terinspirasi dari temen lain yang mengalami hal sama, justru lebih parah. Dia
bukan lagi menjadi korban kekerasan secara verbal, tapi seksual. Dia sempet
merasa hancur banget. Dia punya cara buat mutus hubungan dengan pasangannya,
dia mau pulih, mau sembuh dari luka batin yang entah berapa lama menekan
dirinya. Dia, tanpa basa-basi memblokir semua komunikasi yang terhubung dengan
pasangannya. Awalnya berat, ia harus membiasakan diri buat sendiri, tanpa
pasangan. Tapi, lambat laun dia menyadari kalo dia cuma butuh penyesuaian diri.
Akhirnya, dia pulih dengan cara konsult ke psikiater, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta,
bergabung dengan komunitas-komunitas yang punya sinergi positif, berkarya, dan
dia kembali bersosialisasi kayak biasanya lagi.
Dan buat melakukan hal yang sama, perempuan yang dateng di
hadapanku ini sungguh keras kepala, dia mau terlepas dari jerat kesengsaraan,
tapi takut di langkah pertama. Dia belum bisa melepaskan pasangannya itu.
Pada akhirnya, untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik,
kita butuh sedikit keberanian untuk sebuah resiko. Adakah teman-teman di sini
memberikan saran untuk perempuan yang tengah gelisah ini? Biar nggak lagi dia bertahan di 'neraka'. Silakan tulis di
komentar. Ini akan sangat membantu dan sebelum itu, kusampaikan terima kasih
sebanyak-banyak kalian bersyukur. Semoga Gusti Allah selalu menempatkan kita di
lingkungan yang sehat! Salam #cewequat 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar