Juli 14, 2018

Relasi Orang Tua & Masa Lalu Terhadap Kesehatan Mental

Sumber: CeweQuat

Tarik napas panjang dulu, Gaes, sebelum lanjutin baca curhatanku yang satu ini  😊

Hmm, satu kata yang mewakili perasaan campur aduk malem ini, BAPER. Seperti yang sebelumnya udah kuceritain di tulisan ini, kali ini CeweQuat sharing tentang hubungan orangtua dengan anaknya. Gimana pengaruh hubungan tersebut terhadap mental anak. Yeah! Ternyata ada banyak banget apa yang menjadikan kita seperti hari ini, salah satunya adalah pengaruh dari pola asuh orangtua kita, dari masa lalu orangtua kita juga.


Harapan dari sharing ini supaya kita bisa memahami psikologis dari cara pola asuh, hubungan orangtua-anak dan mengenali kejadian masa lalu yang bisa membentuk karakter dan perilaku kita seperti sekarang ini. Aku coba bagi apa yang kutangkep yak! Soalnya, aku juga bukan macem psikiater gituh. Tapi setidaknya (semoga) bikin tau kulitnya dulu. Tulisanku kali ini mungkin akan berantakan dan tidak runtut, hmm, karena terlalu baper aku tuh... Jadi, terima kasih kiranya mau baca sampai akhir.



Kartadinata (1998) dalam Siahan mengartikan bahwa hubungan keakraban orangtua dalam keluarga adalah sebagai suasana psikologis yang dirasakan dan berpengaruh terhadap pola perilaku individu (anggota keluarga). Hubungan ini mengacu pada tiga aspek, yaitu:
  1. Hubungan orangtua-anak yang mengacu pada hubungan sosial yang demokratik atau otoriter, dengan indikator: penerimaan atau penolakan, perlindungan atau penelantaran orangtua terhadap anak, sikap dominatif intergratif (permisif atau sharing) dan pengembangan sikap berdiri sendiri atau ketergantungan.
  2. Hubungan intelektual keluarga, mengacu pada perkembangan berpikir logis atau rasional anak, dengan indikator: kesempatan berdialog logis, tukar pendapat atau gagasan, kegemaran membaca dan minat kultural, pengembangan hobi, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan perhatian orangtua terhadap cara belajar anak.
  3.  Hubungan emosional keluarga, mengacu pada stabilitas komunikasi keluarga dengan indikator: intensitas kehadiran orangtua, hubungan persaudaraan dan kehangatan hubungan ayah dengan ibu.
     Kita pasti tau, keluarga yang harmonis akan menransfer energi positif untuk semua anggota keluarganya. Sebaliknya, keluarga yang notabene penuh dengan drama pertengkaran atau bisa dibilang broken home, bukan tidak mungkin membuat anggota keluarga menerima dampak negatif yang bisa mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Sayangnya, masih banyak hubungan orangtua –bapak dengan ibu- yang justru terang-terangan menunjukkan ketidakharmonisan mereka di depan anak-anak. Kasus ini menjalar lebih parah ketika orangtua dengan anak mereka tidak terjalin komunikasi yang baik. Dampaknya, anak menjadi tertekan dan bisa memicu keinginan untuk bunuh diri.
-

Di kasus lainnya, ketidakharmonisan terjadi antara orangtua dengan anak. Mungkin banyak dari kita yang menemukan problem seperti, adanya ketidakcocokan pilihan orangtua dengan apa yang menjadi pilihan anak (jurusan kuliah, karir kerja, pasangan, dll). Ketidakcocokan ini kemudian tidak dikomunikasikan dengan baik, sehingga terjadi kesalahpahaman atau tekanan terhadap anak. Atau bisa juga karena pilihan orangtua adalah pilihan terbaik dan tidak terbantahkan, mau tidak mau, anak harus menurut.

-

Kasus lainnya, ketidakharmonisan dalam keluarga terjadi karena adanya kekerasan. Oleh Bunga Mega disampaikan, bahwa tidak ada kekerasan yang bisa dianggap wajar. Yang ada hanya perspektif budaya serta pelaku biasanya juga belajar dari orang tua terdahulu, nenek atau kakek. Sehingga terbentuk pola yang berulang. Itulah kenapa harus diputus.

Keterbukaan adalah awal dari pemulihan.

Memaafkan tidak bisa diharuskan. Sakit ya sakit. Ini asumsi yang mematikan sehingga korban (anggota keluarga) akan semakin merasa bersalah. Memaafkan dimulai dari kesadaran ada masalah dan cari jalan keluarnya. Bukan karena kewajiban memaafkan dalam konteks anak-orangtua.

Memaafkan atau menghormati itu bukan kewajiban anak, melainkan hak anak. Ini yang akhirnya membuat kita jika berkonflik dengan orangtua cenderung menerima dan merasa bersalah kalau merasa marah atau benci dengan hal-hal yang kasar dan abusive di rumah. Padahal layaknya orang salah ya salah aja, bukan masalah dia sudah melahirkan atau menafkahi atau menyekolahkan. Kita musti keluar dulu dari pemahaman ini, biar ngerti it is okay to feel not okay about you parents.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Sadar dulu kalau apa yang kita rasakan tidak salah. Sadar dulu ada masalah yang harus diselesaikan. Terima apa yang tidak bisa diubah dan ubah apa yang bisa diubah. Setelah aware, accept then you can forgive and manage your expectation.
Jika komunikasi dengan orangtua pun tidak bisa mengubah mereka, berarti diri kita yang harus dibenerin. Carilah bantuan supaya punya perspektif baru, berdamai, jadi bisa natural kita ngadepin mereka.

The point we cant change them, but we can always cut it off and not to pass it on the next generation.

Sekian dulu ya, Gaes. Karena tulisan kali ini kurasa berantakan, aku bakal berterimakasih banget kalau kalian mau menambahkan pengalaman, simpulan atau apa pun di kolom komentar. Semoga bisa menjadi maanfaat buat pembaca yang lain jugaa. Salam hangat. 😊


Tidak ada komentar: